Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol bagian kanan bawah sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Peran Pers dalam Pemberitaan terhadap Tindakan dan Upaya Bunuh Diri

Views: 11

Solidernews.com, Yogyakarta. Bunuh diri adalah salah satu kasus serius yang sering diabaikan. Entah karena dianggap sebagai sesuatu yang terlalu ekstrem, atau karena tidak paham akan tindakan bunuh diri. Bunuh diri adalah ekspresi dari hilangnya harapan yang dicetuskan oleh ketidakmampuan individu dalam mengatasi stress. Terkhusus dalam tulisan ini adalah bagi difabel mental.

Sejumlah teori psikologi menghubungkan bunuh diri dengan persepsi tentang hidup yang sudah tidak mempunyai harapan atau tidak mempunyai tujuan yang pasti. Hampir 90 persen individu yang melakukan bunuh diri dan usaha bunuh diri, mempunyai kemungkinan mengalami gangguan mental yaitu depresi.

Banyak teori yang menjelaskan tentang depresi, dan semua sepakat keadaan depresi merupakan indikasi terjadinya bunuh diri. Sering kali diagnosis psikiatri baru muncul setelah seorang individu melakukan bunuh diri. Para pakar berpendapat bahwa kasus bunuh diri disebabkan oleh banyak faktor yang saling berkelindan, tidak pernah disebabkan oleh faktor tunggal.

Angka kematian bunuh diri

Bunuh diri bukan hal yang bisa disepelekan. Bila melihat angka bunuh diri akan tampak, misalnya pada sepanjang 2005 sebanyak 30.000 kasus bunuh diri di Indonesia. Ini pun baru angka yang dilaporkan saja. Ada banyak kejadian bunuh diri yang ditutup-tutupi, entah karena rasa malu keluarganya, atau demi menjaga kehormatan almarhum. Risiko bunuh diri terkadang juga dikaitkan kasus alkoholik dan penyalahgunaan narkoba.

Secara global, WHO menyatakan lebih dari 800.000 orang di seluruh dunia meninggal akibat bunuh diri setiap tahun. Tingkat bunuh diri di Indonesia berada pada peringkat ke-6 di Asia. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2018, 6.1% penduduk usia lebih dari 15 tahun mengalami depresi, hanya 9%  yang menjalani pengobatan atau perawatan medis. Sisanya, 91%, tidak menjalani tindakan yang memadai untuk kesembuhannya.

Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2015 mencatat 812 kasus bunuh diri di seluruh Indonesia. Jawa Tengah dengan 331 kasus (terbanyak), disusul oleh Jawa Timur (119 kasus), Bali, DIY, Jawa Barat dan DKI Jakarta. Ada indikasi, dari satu orang yang meninggal akibat bunuh diri, ada lebih dari 20 orang melakukan percobaan bunuh diri. Sebagai contoh, data American Foundation for Suicide Prevention menunjukkan, pada tahun 2017, sebanyak 47.173 warga AS meninggal karena bunuh diri atau 129 kasus bunuh diri setiap hari, dengan rata-rata 14 per 100.000. Angka itu di luar perkiraan 1.400.000 lainnya yang melakukan percobaan bunuh diri. Korban laki-laki 3,54 kali lebih besar dari perempuan atau 77,97 persen.

Peran pers?

Berbagai pemberitaan pers memperlihatkan, kasus bunuh diri kerap diperlakukan sebagaimana halnya sebuah peristiwa kriminal. Banyak wartawan kurang memiliki sensitivitas dalam melaporkan aksi maupun upaya percobaan bunuh diri. Identitas korban, alamat tinggal, dan juga keluarganya diungkap secara gamblang, termasuk modus, peralatan maupun cairan yang digunakan. Pemberitaan tersebut berpotensi mengundang aksi peniruan.

Memperhatikan bahwa pers nasional harus menjalankan fungsi pendidikan dan kontrol sosial, serta pers tidak kebal hukum, maka pers perlu mematuhi norma-norma dalam masyarakat untuk ikut mengurangi dan mencegah tindak bunuh diri.

Dalam webinar bertajuk Stop the Stigma: Bunuh Diri bukan Tindak Pidana, Ketua Dewan Pers DR. Ninik Rahayu, mengemukakan pedoman pemberitaan terkait tindak dan upaya bunuh diri.  Secara tegas dikatakannya, bahwa dalam penulisan berita, pers hendaknya memberitakan kasus bunuh diri tanpa stigma.

Terdapat 20 pedoman yang disusun dewan pers, ujar Ninik, Pedoman tersebut di antaranya:

  1. Wartawan mempertimbangkan secara seksama manfaat sebuah pemberitaan bunuh diri. Kalau pun berita dibuat, harus diarahkan kepada concern atas permasalahan yang dihadapi orang yang bunuh diri yang sekaligus adalah korban, bukan justru mengeksploitasi kasus tersebut sebagai berita yang sensasional.
  2. Pemberitaan bunuh diri sebaiknya diletakkan atau diposisikan sebagai isu kesehatan jiwa dan bukan isu kriminalitas karena kasus bunuh diri bukan disebabkan oleh faktor tunggal.
  3. Wartawan menyadari bahwa pemberitaan kasus bunuh diri dapat menimbulkan perasaan traumatik kepada keluarga pelaku, teman, dan orang-orang yang mengenal pelaku.
  4. Wartawan menghindari pemberitaan yang bermuatan stigma kepada orang yang bunuh diri ataupun orang yang mencoba melakukan bunuh diri.
  5. Wartawan menghindari penyebutan identitas pelaku (juga lokasi) bunuh diri secara gamblang untuk menghindari aib atau rasa malu yang akan diderita pihak keluarganya. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri sesorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.
  6. Wartawan menghindari penyebutan lokasi tertentu seperti jembatan, tebing, gedung tinggi yang pernah dijadikan lokasi bunuh diri untuk menghindari aksi pengulangan.
  7. Dalam melakukan wawancara terkait aksi bunuh diri, wartawan harus mempertimbangkan pengalaman traumatis keluarga atau orang terdekat.
  8. Dalam mempublikasikan atau menyiarkan berita yang menayangkan gambar, foto, suara atau video tentang kasus bunuh diri, wartawan perlu mempertimbangkan dampak imitasi atau peniruan (copycat suicide) dimana orang lain mendapat inspirasi dan melakukan aksi peniruan, terutama terkait tindakan bunuh diri yang dilakukan pesohor, artis, atau tokoh idola.
  9. Wartawan menghindari ekspos gambar, foto, suara atau video korban bunuh diri maupun aksi bunuh diri yang dapat menimbulkan perasaan traumatik bagi masyarakat yang melihat atau menontonnya.

10.Wartawan pers penyiaran menghindari siaran langsung terhadap orang yang sedang berniat melakukan aksi bunuh diri.

11.Wartawan menghindari penyiaran secara detil modus dari aksi bunuh diri, mulai dari cara, peralatan, jenis obat atau bahan kimia, maupun teknik yang digunakan pelaku. Termasuk tidak mengutip secara detil informasi yang berasal dari dokter maupun penyidik kepolisian ataupun membuat sketsa dan bagan terkait hal tersebut.

12.Wartawan menghindari pengambilan bahan dari media sosial, baik foto, tulisan, suara maupun video, dari korban bunuh diri untuk membuat berita bunuh diri.

13.Wartawan menghindari berita ulangan terkait riwayat seseorang yang pernah melakukan upaya bunuh diri.

14.Wartawan menghindari pemberitaan yang menggambarkan perilaku bunuh diri sebagai respons “alami” atau “yang dapat dipahami” terhadap masalah, misalnya, kegagalan mencapai tujuan penting, kesulitan hubungan atau krisis keuangan. Wartawan tidak menguraikan perilaku bunuh diri sebagai tindakan tragis sekaligus heroik oleh seseorang yang memiliki segala sesuatu dalam hidup, seperti karier, posisi, kekayaan.

15.Pers menghindari eksploitasi pemberitaan kasus bunuh diri antara lain dengan cara mengulang-ulang pemberitaan kasus bunuh diri yang terjadi atau yang pernah terjadi.

16.Wartawan menggunakan secara hati-hati diksi serta istilah, dan menghindari penggambaran yang hiperbolik. Data statistik, harus diperlakukan hati-hati, dengan sumber yang jelas.

17.Pers menghindari pemuatan atau penayangan berita mengenai bunuh diri pada halaman depan, kecuali penulisan mendalam mengenai situasi kesehatan masyarakat dan bunuh diri hanya ditulis sebagai salah satu misal.

18.Wartawan diperbolehkan menulis atau menyiarkan berita lebih detil dengan fokus untuk pengungkapan kejahatan di balik kematian yang semula diduga sebagai kasus bunuh diri, karena berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas.

19.Dalam hal pers atau wartawan memutuskan untuk memberitakan kasus bunuh diri, maka berita yang ada harus diikuti dengan panduan untuk mencegah pembaca, pendengar, atau pemirsa melakukan hal serupa seperti referensi kepada kelompok, alamat, dan nomer kontak lembaga dimana orang-orang yang mengalami keputusasaan dan berniat bunuh diri bisa memperoleh bantuan. Wartawan harus meminta pendapat para pakar yang relevan dan memiliki empati untuk pencegahan bunuh diri.

20.Pemberitaan tentang bunuh diri tidak boleh dikaitkan dengan hal-hal gaib, takhyul atau mistis.

“Sesuai Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers, pers yang tidak melayani Hak Jawab selain melanggar Kode Etik Jurnalistik juga dapat dijatuhi sanksi hukum pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah),” terang DR. Ninik Rahayu.[]

 

Reporter: Harta Nining Wijaya

Editor     : Ajiwan

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content