Views: 17
Solidernews.com – Skizofrenia menyebabkan seseorang yang mengalaminya menjadi difabel, sebab meningkatkan ketergantungan kepada orang lain dalam jangka waktu lama, sebelum menemukan pengobatan yang benar dengan berbagai dukungan sosial, keluarga dan masyarakat hingga mencapai pulih dan mandiri. Berbagai terapi bisa dipergunakan misalnya kombinasi antara farmasi dan rehabilitasi.
Dalam sebuah talkshow yang dihelat Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Soeharto Herrdjan Jakarta, Osse Kiki, orang dengan skizofrenia, sehari-hari aktif di Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI), bertanggung jawab di bagian program dan kegiatan, mengatakan dibanding 15 tahun lalu kondisinya jelas berbeda. Ia yang didiagnosa pada 2008 awalnya disebabkan oleh multfaktor dan tidak tiba-tiba muncul. Menurut riset juga ada faktor genetik sebab mendiang ayahnya pernah menjadi pasien psikiatri. Ayahanda Kiki seorang pelukis dan mengalami gangguan kecemasan dengan tanda-tanda tidak nyaman di keramaian.
Pada tahun 2008, Kiki mengalami pemicu yakni batal menikah lalu ia depresi dan berhalusinasi. Dari pengalaman keagamaan, dulu Kiki pernah ingin menjadi pastur. Bahkan ingin jadi seorang Paus dari Indonesia.
Gejala-gejala yang dialami Kiki pada tahun 2008 di usia 30 tahun itu saat ia bekerja sebagai agen asuransi. Pada waktu itu ia tidak merasa kalau ada sesuatu gangguan. Ia hanya berpikir bahwa “mungkin ini panggilan Tuhan nantinya akan jadi Paus. saya mengobati orang-orang.”
Seorang pastor muda datang ke rumah Kiki dan memberi catatan-catatan padanya. Ia disuruh masuk kamar dan pastor muda itu bilang kalau mungkin Kiki kena gangguan jiwa. Apalagi waktu kecil ada cerita bahwa ia sangat penakut. Pastor muda itu lama berbincang dengan orangtua Kiki.
Lalu bagaimana pemulihannya? apa beda pulih dan sembuh? Menurut Kiki yang namanya sembuh ya sudah. Tetapi kalau pulih itu adalah satu perjalanan. yang membutuhkan waktu jangka panjang dan bisa memakan waktu seumur hidup. Beda dengan penyakit fisik seperti Demam Berdarah (DB) kalau trombosit membaik dan gejala-gejala lain membaik maka akan sembuh.
Kiki menambahkan kalau skizofrenia itu dikatakan sembuh kalau gejalanya sudah tertangani. Lalu apakah ada jaminan kalau itu sudah maka boleh putus obat? tidak ada jaminan. Bisa jadi misal 8 bulan tidak minum obat kemudian alami stres, lalu merembet berakibat buruk ke pekerjaan dan di relasi maka kambuh lagi. Kiki yang pernah menjalani pulih itu pun pernah mengalami juga dua kali kekambuhan. Artinya walaupun sudah minum obat pun ya bisa kambuh lagi.
Jadi menurutnya ini suatu perjalanan. Pulih itu ada dua, pulih secara clinical. obat cocok itu satu pemulihan. Kata dokter ia ada skizofrenia afektif atau gangguan mood yakni manic. Maka pada pagi hari ia minum mood stabilizer sedangkan malam hari obat psikotik.
Ada satu recovery lagi yakni personal recovery, bagaimana Kiki menerima dirimya karena skizofrenia bagian dari diri dia. Dia menyadari bahwa tidak bisa kembali seperti sebelumnya tapi ke depan dia masih punya harapan. “Saya tata lagi hidup saya. Saya belajar lebih cepat melalui ketertinggalan, bagaimana saya menemukan lagi hidup yang saya cita-citakan sebelumya yang sudah hancur. Rehabilitasi sosial dan farmasi memberi dampak positif pada saya.”
Bagaimana Kiki Mendapatkan Akses ke Personal Recovery
Kiki menambahkan selain dukungan keluarga, ia ternyata tidak bisa berjuang sendirian. Ia butuh suatu wadah bernama komunitas, di mana orang-orang yang bergabung di komunitas itu sama dengan dia. Jawabannya adalah KPSI.
Waktu Kiki keluar dari rawat inap tahun 2017, di usia 40 tahun, ayahnya sudah aktif sebagai Caregiver. Baru setelahnya ia masuk sebagai relawan dan ia dilihat oleh Bagus Utomo, Ketua KPSI sebagai orang yang memiliki potensi dalam diri sehingga diberi tanggung jawab mengelola siaran radio. Awalnya dari situ kemudian diberi tanggung jawab lebih besar, lebih banyak tugas yang didelegasikan padanya. Waktu itu ada penelitian antara KPSI dengan Universitas Indonesia dan pernah ikut workshop di Jakarta juga di Manchester.
Di RSJ Soeharto Heerdjan Ada Layanan Rehabilitasi
Ngatiman,seorang ayah sekaligus caregiver anaknya yang skizofrenia menceritakan awal masalahnya (gejala_red) yang menimpa sang anak. Anak perempuannya tiba-tiba berperangai beda, rambut sering menutupi muka, lebih pendiam tetapi masih mau mengerjakan pekerjaan rumah tangga karena ibunya mengalami stroke.Lalu terlihat kamarnya acak-acakan, tidak teratur dan tidak terawat. Terakhir waktu kuliah semester IV, ternyata tidak lebih baik kondisinya.
Kemudian ada keponakan yang menelpon Ngatiman dan menyuruh dibawa ke dokter umum di rumah sakit. Lalu Ngatiman dibuatkan surat rujukan untuk anaknya ke RSJ. Dengan diantar oleh keluarga, Ngatiman mendaftar terus ke poli jiwa dan memeriksakan anaknya kemudian diberi obat selama beberapa tahun. Seiring berjalannya waktu, anak Ngatiman berangkat sendiri kontrol ke RSJ tanpa diantar Setelah itu si anak berangkat sendiri. Mereka tinggal di Ciledug Tangerang.
Di rumah si anak juga belum mau ikut kegiatan berkumpul dengan teman-temannya dan masih tetap mengurung. Lalu saat kontrol berikutnya ada dokter menyarankan untuk ikut rehabilitasi. Terus ikutlah anak Ngatiman pelatihan rias hingga ikut pelatihan di sentra pelatihan di luar RSJ.
Karena ada hambatan lokasi pelatihan yang jauh, maka Ngatiman berinisiatif untuk nge-kostkan di anak, kebetulan securty gedung punya kos-kosan maka ngekoslah selama 1,5 bulan. Setelah itu si anak melamar-melamar pekerjaan dan banyak yang diterima.
Saat ini si anak sudah bekerja setelah mendapat sertifikat pelatihan nasional. Ia juga masih tetap kontrol karena kebetulan hari liburnya hari Jumat bisa dipergunakan untuk mencari rujukan dan kontrol.[]
Reporter: Astuti Parengkuh
Editor : Ajiwan