Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol bagian kanan bawah sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Penyakit Tropis itu Kusta, Jika Terabaikan Picu Disabilitas Fisik

Views: 16

Solidernews.com. KUSTA! Adalah penyakit infeksi kronis pada kulit dan saraf tepi yang dapat berujung pada disabilitas fisik. Diperkirakan, kusta sudah ada sejak 600 tahun sebelum Masehi. Namun, penyebab kusta yaitu Mycobacterium leprae (M. leprae), baru ditemukan 151 tahun yang lalu. Hal ini disampaikan guru besar bidang dermatologi dan venereologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) Prof. Sri Linuwih Susetyo Wardhani Menaldi.

 

Dalam orasi ilmiahnya pada Rabu, 6 Maret 2024, Sri menjelaskan bahwa kusta termasuk dalam Penyakit Tropis Terabaikan (PTT) atau Neglected Tropical Diseases (NTDs).

 

NTDs merupakan sekelompok penyakit yang berada di daerah tropis dan subtropis. Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO), terdapat 20 jenis penyakit yang digolongkan dalam PTT. Delapan di antaranya berada di Indonesia.

 

NTDs yang terkait kulit ialah kusta dan frambusia di mana Indonesia merupakan negara dengan kasus kusta terbanyak ketiga di dunia. Pada 2022, kasus yang terdaftar berjumlah 15.052 dengan kasus baru sebanyak 12.095.

 

Pada 1982, WHO merekomendasikan paduan obat Rifampisin, Dapson, dan Clofazimine sebagai multidrug therapy untuk pengobatan kusta yang terbukti efektif. Meskipun penyebab kusta sudah diketahui dan obatnya telah tersedia, kusta belum dapat dimusnahkan sampai saat ini.

 

Bertepatan dengan World’s NTDs Day yang tahun ini jatuh pada tanggal 28 Januari, Sri mengangkat topik kusta atau lepra sebagai salah satu NTDs yang hingga kini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia.

 

Stigma hambat pengobatan

Sejalan dengan tema Hari Kusta tahun 2024 yang dicanangkan WHO yaitu “Beat Leprosy: Ending Stigma, Embracing Dignity” Indonesia menetapkan target nihil kusta pada tahun 2030.

 

Pada 2023, Kementerian Kesehatan RI melaporkan tujuh provinsi di Indonesia belum mencapai eliminasi kusta. Ketujuh provinsi itu adalah: Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Gorontalo, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat, serta Papua.

 

“Kendala dalam pencapaian eliminasi cukup banyak, salah satunya adanya stigma kusta, baik stigma diri maupun stigma sosial,” kata Sri dalam orasi ilmiahnya mengutip laman resmi UI, Senin (11/3/2024).

 

“Stigma dan diskriminasi terhadap kusta menyebabkan para penyandangnya tidak mendapatkan kesempatan belajar di sekolah, tidak mampu bekerja, atau tidak mendapatkan pekerjaan dan terlambat mendapat pengobatan sehingga memungkinkan terjadinya disabilitas,” tambahnya.

 

Terjerat masalah ekonomi

 

Disabilitas yang disandang akibat kusta yang tidak ditangani pada akhirnya membuat para penyandang terjerat masalah ekonomi. Mereka tidak mampu pergi ke layanan kesehatan, tidak mendapat obat, dan penularan akan terus berlangsung.

 

“Untuk menyelesaikan hambatan tersebut, diperlukan kerja bersama yang terkoordinasi dengan baik. Sebab, hanya tersisa kurang dari enam tahun untuk mencapai target nihil kusta,” kata Sri.

 

Strategi eleminir kusta

 

Dalam Rencana Aksi Nasional (RAN) Eliminasi Kusta 2023-2027, telah disusun empat strategi utama untuk mencapai eliminasi kusta, yaitu: 1) menggerakkan masyarakat’ 2) meningkatkan kapasitas sistem pelayanan; 3) meningkatkan integrasi dan koordinasi, serta 4) menguatkan komitmen, kebijakan dan manajemen program.

 

Menurut Sri, upaya menurunkan stigma melalui edukasi sebaiknya dilakukan sejak usia dini karena edukasi pada anak akan memberikan retensi yang lebih meresap untuk waktu yang panjang.

 

Pada 2023, Sri memberikan edukasi terhadap murid-murid di SDK 1,2 Waimahu Latuhalat Ambon, Maluku bersama Kelompok Studi Dermatologi Sosial (PERDOSKI) dan KATAMATAKU. Berbagai upaya yang dilakukan Sri bersama KATAMATAKU membawanya meraih penghargaan Bidang Riset dan Inovasi Kategori “Program Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat Terbaik” UI.

 

Sri menekankan bahwa penanggulangan kusta sangat kompleks dan tidak dapat diselesaikan hanya oleh sektor kesehatan saja. Upaya perlu dilakukan oleh tiga sektor, yaitu pemerintah dan DPR, profesi, serta masyarakat.

 

Selain itu, Sri mengatakan, kusta adalah salah satu contoh yang baik untuk digunakan sebagai pemicu dalam berbagai jenjang pendidikan dan penelitian kedokteran untuk melatih pemahaman dan penerapan softskill seperti empati dan komunikasi efektif.[]

 

Reporter: Harta Nining Wijaya

Editor     : Ajiwan

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content