Views: 14
Solidernews.com – Kusta atau leprosy merupakan masalah kesehatan yang sudah lama muncul dan masih ada di beberapa provinsi di Indonesia. Peneliti kusta, Hana Krismawati, menyampaikan bahwa kusta itu terabaikan dan terlupakan tapi tak kunjung tersingkirkan. Hal yang dihadapi OYPMK (Orang Yang Pernah Mengalami Kusta) tidak hanya soal sakit dan pengobatannya namun juga perihal stigma. Stigma dan diskriminasi di masyarakat muncul karena pemahaman yang kurang tepat tentang kusta. Cerita diskriminasi pernah dialami oleh Rudi (bukan nama sebenarnya) yang tinggal di perbukitan di Jawa Tengah dan tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah meskipun dirinya hidup dalam keterbatasan ekonomi.
Kenyataannya, saat ini Indonesia menempati urutan ketiga pada kasus kusta di dunia, setelah India dan Brazil. Data yang dimiliki oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan WHO (Weekly Epidemiological Record) Menurut hasil validasi data kriteria prevalensi (per 10.000 penduduk), jumlah kasus terdaftar yaitu kasus kusta yang tercatat pada akhir tahun 2023 (31 Desember 2023) yakni provinsi yang melapor 38, dari 502 kabupaten kota dan 8 Rumah Sakit. Jumlah kasus Kusta terdaftar pada akhir tahun 2023 sebanyak 17.251. Sebanyak 122 Kabupaten kota masih endemis (prevalensi lebih dari 10.000 penduduk), sehingga kabupaten/kota eliminasi menurut prevalensi kusta terdaftar sebanyak 380 kabupaten kota sebesar 78,84 persen (sumber dari Surat Edaran : Evaluasi Program Pencegahan dan Pengendalian Kusta Tahun 2023, Nomor : PM.03.03/C.III/2734/2024).
Dalam acara “Tropmed Talk On Stage: Apa Kabar Kusta Pasca Pandemi?” yang diselenggarakan oleh Pusat Kedokteran Tropis Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan NLR Indonesia pada hari Rabu, 15 Mei 2024 lalu menyampaikan bahwa hasil penelitian tentang kusta di Indonesia masih adanya stigma yang diterima oleh pasien kusta.
Untuk memutus rantai stigma, sensitivitas isu kusta perlu diadakan di tingkat sekolah agar anak-anak di tingkat dasar hingga menengah mulai aware dengan penyakit kusta dan memiliki pemahaman yang tepat tentang kusta. Jalur pendidikan dapat dipilih untuk memerangi ketidaktahuan atau citra kusta yang dicap sebagai kutukan atau dosa masa lalu. Penyakit kusta dapat sembuh dengan pengobatan yang tepat secara medis dan obat kusta dapat diperoleh secara gratis di setiap Puskesmas/PKM (Pusat Kesehatan Masyarakat).
“Isu kusta harus dibincangkan sejak di tingkat pendidikan dasar. misalnya ketika membahas mengenai Pola Hidup Bersih dan Sehat, serta kenapa hal itu penting karena ada korelasinya dengan kesehatan. Penyuaraan isu kusta sejak dini penting untuk meluruskan kesalahpahaman dan membantu menggerus stigma kusta. Kalau pemahaman yang keliru soal kusta sudah tertanam sejak dini, sulit untuk mengedukasi masyarakat luas. Makanya kita memotong generasi saja agar lebih optimal dalam kampanye-kampanye yang membantu penurunan angka kusta hingga kita bebas dari kusta”, ungkap Anjar S Masiga (Pelaksana Program Zero Leprosy Project di Bulukumba).
Mengintegrasikan pendidikan penyakit kusta dalam kurikulum sekolah, anak usia sekolah terlebih yang berada di wilayah endemis kusta, mendapatkan informasi yang benar tentang kusta. Memiliki kepedulian bagi OYPMK, memposisikan OYPMK sebagai bagian masyarakat yang juga memiliki hak yang sama dengan lainnya. Sensitisasi tentang kusta juga berfungsi untuk meningkatkan empati dan toleransi karena dengan menguak sebuah kasus atau cerita, kemudian mendiskusikannya, dan yang tak kalah penting adalah pelibatan langsung OYPMK untuk bercerita, supaya tidak ada penghakiman berdasarkan penampilan atau kondisi fisik saat bertemu OYPMK.
Langkah implementasi sensitivitas isu kusta di sekolah dapat diupayakan melalui program kampanye atau sosialisasi yang bekerjasama dengan Dinas Kesehatan, Dinas Sosial serta kelompok organisasi OYPMK (Permata Indonesia atau Kelompok Perawatan Diri). Hal yang tak kalah penting dari sosialisasi yakni dengan integrasi kurikulum, dengan memasukkan materi kusta di pelajaran seperti Olahraga, IPA, IPS, Agama, bahkan Kewarganegaraan. Kedepan, anak usia sekolah yang telah teredukasi baik tentang kusta mampu menjadi agen perubahan di lingkungan terkecil mereka. Informasi yang tepat disebarluaskan kepada keluarga hingga teman-teman sebaya.
“Data dari Kemenkes menyebutkan masih banyak daerah dengan kasus kusta baru pada anak, maka dari pertimbangan tersebut bahwa edukasi kusta di masyarakat, termasuk kepada anak-anak menjadi sangat penting. Untuk menghentikan mata rantai penularan, menemukan kontak erat, dan pengobatan (MDT) sebagai bagian pencegahan kusta pada anak (dan keluarganya) perlu mendapatkan edukasi pencegahan, perawatan dan pengobatan. apalagi jika berada pada daerah dengan endemis/beban kusta tinggi”, jelas Fahmi Arizal selaku DEI- Diversity Equity Inclusion Coordinator NLR Indonesia.
“Sensitivitas kusta (serta penyakit tropis terabaikan lainnya) dimasukan menjadi bahan ajar, dimasukan dalam materi pelajaran IPA atau ekstra kurikuler (PMR, Pramuka, dokter kecil) atau bahkan bisa juga diberikan dalam masa MPLS (Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah)”, tambah Fahmi Arizal.
Sensitivitas isu kusta di sekolah menjadi langkah strategis untuk mengurangi stigma dan diskriminasi. Penyampaian informasi yang tepat tentang orang dengan kusta diharapkan terbentuk situasi yang lebih inklusif. Tidak akan ada lagi OYPMK yang diasingkan dan dicabut hak-haknya sebagai manusia, maka pendidikanlah langkah tepat untuk memulainya.[]
Reporter: Erfina Cahya
Editor : Ajiwan Arief