Views: 16
Solidernews.com – Indonesia merupakan wilayah yang rentan terkena bencana (alam, non alam, maupun bencana sosial). Sebagian besar korban dari bencana tersebut masuk dalam kategori kelompok rentan. Kelompok rentan yang terdiri dari perempuan, termasuk remaja perempuan, perempuan hamil, perempuan menyusui, penyandang disabilitas, serta anak perlu dibekali kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Sebagaimana kita ketahui bersama kesiapsiagaan sangat diperlukan sebagai upaya penting dalam meminimalisasi risiko bencana terhadap kelompok rentan.
Perkumpulan Wallacea dan Formasi Disabilitas mengadakan webinar dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional dengan tema “Perempuan, Disabilitas dan Bencana” dengan menghadirkan narasumber Purwanti – Sigab Indonesia, Tifani Eunike Makassar – Perkumpulan Wallacea, serta Ribkhatun Nikmah selaku moderator. Sabtu, 23 Maret 2024 melalui zoom meeting pada waktu 14.00-16.30 WIB dihadiri 35 peserta yang terdiri dari berbagai organisasi difabel dan penggiat lingkungan.
Pemapar pertama yakni Purwanti, menyampaikan tentang pentingnya pengorganisasian perempuan difabel yang mana konsep inklusi harus melekat di dalamnya. Ada sembilan langkah penegakan hak perempuan difabel dilakukan dengan cara : pengorganisasian , pemberdayaan, kepemimpinan, jaringan stakeholder strategis, kampanye publik, advokasi dan aksi kolektif berkelanjutan, reformasi hukum dan kebijakan, dan penegakan hukum berkeadilan serta pemanfaatan media.
Sementara Tifani dari Wallacea menitikberatkan pada peran serta dan pemberdayaan yang dilakukan oleh Wallacea di daerah dampingan. Menurutnya tantangan perempuan dalam menghadapi bencana ialah pelibatan kelompok perempuan secara langsung yang terkadang masih dianggap sebelah mata, minimnya dukungan pemerintah desa tentang keberadaan perempuan apalagi perempuan dengan difabel, dan pemahaman mitigasi bencana bagi perempuan yang masih belum merata diberikan di desa-desa.
“Saat bencana terjadi, pertolongan kepada perempuan juga harus memastikan keamanan kepada difabel perempuan, misalnya saat mitigasi dilakukan jangan sampai bagian tubuh terbuka, kemudian cara strategi penanganan ialah mengurangi tingkat kecacatan ringan atau berat yang mungkin akan terjadi”, ungkap Purwanti.
Arjun peserta webinar dari kabupaten Luwu Utara juga menyampaikan praktik baik yang telah dilakukan di desa dampingan dengan keterlibatan perempuan dalam menghadapi bencana. Perempuan difabel masuk dalam organisasi kelompok perempuan desa dan mendapatkan informasi serta pengetahuan terkait bencana.
Untuk mendukung keterlibatan perempuan difabel di isu bencana, Purwanti mengakui bahwa koalisi aksi organisasi isu perempuan sangat dibutuhkan, sinergitas lintas lembaga perlu diadakan untuk menggerakkan praktik-praktik baik dalam menghadapi bencana. Dari kolaborasi aksi ini nantinya dapat menemukan suatu inovasi atau metode mitigasi bencana yang tepat dan tentu ramah terhadap difabel sejak dari pra, saat dan pasca bencana terjadi.
“Selama ini di pengungsian yang diprioritaskan adalah ketersediaan makanan di dapur umum, tapi melupakan apakah ada obat, pakaian dalam hingga pembalut bagi perempuan”, terang Purwanti.
Tifani juga menambahkan bahwa keterlibatan perempuan dapat dimulai di desa-desa dengan mengakomodir tantangan dan hambatan yang dihadapi. Perempuan di desa bisa sangat berperan dalam kebencanaan yang selama ini hanya didominasi laki-laki.
“Ruang gerak perempuan, anak-anak dan perempuan difabel juga harus dicanangkan di desa-desa, bagi mereka mitigasi kebencanaan tidak hanya milik laki-laki, perempuan juga bisa mengambil bagian”, jelas Tifani
Berbicara tentang perempuan atau perempuan dengan difabel sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari, saat ini masih muda sehat namun nantinya akan memasuki usia lansia dengan berbagai hambatan. Dari diskusi ini dapat disimpulkan bahwa pertama melihat sosok perempuan difabel sebagai bagian anggota masyarakat yang bermartabat, mereka memiliki hak yang sama. Memenuhi hak dan kesempatan bagi perempuan difabel agar dapat mandiri. Kedua, masih ditemukannya diskriminasi pada perempuan difabel maka langkah dan program yang dilakukan harus sudah memiliki perspektif pada perempuan difabel. Ketiga, kedudukan difabel perempuan sebagai aktor kunci serta yang keempat dengan membangun jaringan kepada pemerintah atau lembaga non pemerintah dalam menghadapi isu kebencanaan dengan tetap menitikberatkan pada perspektif perempuan.[]
Reporter: Erfina
Editor : Ajiwan