Views: 4
Solidernews.com – Penyintas difabel mental psikososial dan caregiver-nya atau pendampingnya sangat memerlukan pelatihan kegawatdaruratan psikiatri. Selain untuk membekali diri sebagai pengetahuan, mereka yang sudah dapat meminimalkan hambatan pada diri mereka, akan sangat mendapat kesadaran sehingga menghindari perilaku kegawatdaruratan. Bagi awam pun, pengetahuan tersebut juga merupakan bekal yang bisa digunakan ketika hidup di tengah masyarakat. Seperti yang dilakukan oleh RSJD dr. Arif Zainudin yang pada Jumat (11/7), memberikan pelatihan pertolongan pertama kegawatdaruratan psikiatri kepada kader kesehatan jiwa di Kecamatan Jebres dan anggota Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) Solo Raya. Peserta paling banyak dari Kecamatan Jebres sebab wilayah tersebut yang menaungi lokasi rumah sakit.
Dedy Ariwidiyanto, S.Kep, Ns., dari RSJD dr. Arif Zainudin yang memberikan materi tentang Manajemen Krisis Pada ODGJ dengan Fiksasi Mekanik mengatakan pentingnya untuk meng-update keilmuan terkait pertolongan kegawatdaruratan psikiatri, saat menangani Orang Dengan Disabilitas Psikososial (ODDP) gaduh gelisah, yakni tidak boleh melepas bajunya baju pasien. Aturan lainnya yakni tidak boleh mengikat dengan tali tangan dan kakinya sebab harusnya memakai kain dan dengan baju yang dirancang khusus. Kain yang dimaksud adalah mitela. Sebab kalau memaksa mengikat dengan tali kepada pasien, maka itu akan berefek menyakiti bahkan komplikasi. Komplikasi yang dapat terjadi akibat fiksasi mekanik adalah trauma psikologis pasien, dehidrasi, fraktur ekstremitas, depresi napas bahkan kematian mendadak.
Lalu bagaimana dengan pasien dengan kegawatdaruratan krisis? Yang dipegang adalah bahu dan siku. Durasi waktunya 5 detik untuk fiksasi (menali). Pengikatan ini digunakan tidak pada semua pasien yang mengalami kegawatdaruratan. Pengikatan digunakan jika pasien sangat berbahaya bagi dirinya sendiri atau orang lain karena memiliki ancaman yang sangat parah yang tidak dapat dikendalikan dengan cara lain.
Menyinggung soal pasung, Dedy menerangkan bahwa kasus pasung di Solo sudah tidak ada. Adanya di daerah Jawa Tengah bagian tengah misalnya Bojonegoro, dan Rembang. Namun begitu, program Indonesia Bebas Pasung harusnya selesai 2025 tetapi tidak tercapai sehingga dimundurkan lagi sampai 2045.
Supardi, anggota KPSI Solo Raya bertanya pada sesi diskusi tentang bagaimana akhir-akhir ini berkembang kasus bunuh diri yang membuat teman-teman penyintas mengalami trauma. Ia mengkhawatirkan fenomena stigma kurang iman, dan bertanya bagaimana memberi motivasi pada sesama teman penyintas.
Perlu diketahu bahwa Survei Kesehatan Indonesia 2023 yang baru dirilis oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan bahwa 2% atau 1 dari 50 penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas mengalami masalah kesehatan jiwa. Persoalan yang jamak dihadapi meliputi depresi, kecemasan, dan skizofrenia. Sedangkan kondisi depresi merupakan penyebab utama mengalami kedifabelan pada remaja. Depresi dapat menjadi penyebab bunuh diri, dan bunuh diri merupakan penyebab ke-4 kematian pada remaja di dunia. Kebanyakan dari gangguan psikologis tersebut tidak disadari dan tidak mendapatkan penanganan yang tepat. Survei mengenai kesehatan mental pada remaja di Indonesia tahun 2022, mendapatkan hasil 5,5% remaja usia 10-17 tahun mengalami gangguan mental. Sebanyak 1% remaja mengalami depresi, 3,7% cemas, post traumatic syndrome disorder (PTSD) 0,9%, dan attention-deficit/ hyperactivity disorder (ADHD) sebanyak 0,5%. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menyatakan bahwa 6,2% penduduk berusia 15-24 tahun mengalami depresi. Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023 melakukan penilaian terhadap gangguan depresi dengan menggunakan instrumen Mini International Neuropsychiatric Interview (MINI) untuk kondisi 2 minggu terakhir. Sebelumnya dalam Riskesdas 2018 juga pernah dilakukan penilaian dengan instrumen dan metode yang sama.[]
Reporter: Astuti
Editor : Ajiwan






