Views: 16
Solidernews.com – Dalam sebuah hubungan antarmanusia atau interaksi sosial, ada yang disebut dengan helper atau seseorang yang bekerja sebagai ‘penolong’ atau perawat bagi orang lain. Ada suatu saat kondisi para helper (profesi penolong) bisa itu dokter, atau juga caregiver (keluarga atau perawat), dalam keadaan yang sedang tidak baik-baik saja. Menurut dr Rossalina Lili, Sp.KJ dalam siaran IG Live bersama dr.Ida Rochmawati, Sp.KJ beberapa waktu lalu, helper dan caregiver memang harus selalu siap untuk menolong orang lain, namun yang paling penting dari itu semua adalah bahwa seorang helper sebelum merawat orang lain harus merawat diri sendiri dulu.
Dalam sebuah penelitan khusus mahasiswa kedokteran di 19 univeristas tentang bornout. Temuannya adalah 90% mahasiswa Indonesia mengalami bornout dan sebagian besar juga demikian . Menurut dr. Rosalina, ada kecenderungan semakin kita punya semangat jiwa menolong orang lain maka semakin kita berpeluang burnout. “Ibu rumah tangga itu juga helper. Semangat bekerjanya bisa terbakar habis. Helper itu manusia lho. Ingat, jangan ngasih oksigen ke orang lain, dulu sebab kita juga butuh oksigen,”terangnya.
Menambahkan keterangan sebelumnya, dr.Ida Rochmawati menyatakan bahwa setiap orang punya insting untuk berempati kepada orang lain. Ia juga punya kesempatan satu ruang untuk jadi diri sendiri. Mengutip sebuah sumber, ia menuturkan ada seseorang yang jadi korban angin tornado. Dia sedih bukan karena rumah hancur tapi sedih karena selama ini ia jadi seorang helper. Tiba-tiba ia jadi orang yang lemah. Ia di posisi harus ditolong karena dia di posisi lemah. Ia punya persepsi atau branding ‘aku harus kuat, tidak lemah’ yang terkadang kita mengabaikan emosi. Jadi orang itu ada pada kondisi di orang yang selama ini ditolongnya dan itu tidak enak.
Pertanyaan-pertanyaan Apakah Kamu Kena Burnout atau Tidak
- Rossalina, SpKJ kemudian mengemukakan semacam alat asesmen sederhana untuk mengetahui apakah seseorang kena burnout. Pertanyaan-pertanyaan itu antara lain: 1. Apakah saya merasa kehilangan energi baik fisik atau mental. 2. Apakah saya mudah kehilangan empati terhadap orang yang saya layani. 3. Apakah mudah emosi. 4. Apakah saya merasa tidak dihargai di tempat kerja?. 5.Tidak ada orang yang saya ajak bicara. 6. Apakah saya tabah dan sabar. 7. Apakah pencapaianku kurang dari seharusnya, 8. Apakah saya punya tekanan untuk jadi sukses. 9. Apakah saya sudah diapresiasi. 10. Apakah saya bekerja di tempat yang salah. 11. Apakah saya merasa frustasi dengan pekerjaanku. 12. Apakah sistem kerja atau birokrasi menghambatku untuk tidak optimal. 13. Apakah saya merasa sangat banyak pekerjaan melebihi kemampuan. 14. Apakah saya kurang waktu karena melakukan banyak hal.
Diungkapkan pula jika di luar negeri, jika seorang psikiater dalam kondisi tidak baik sebaiknya tidak bekerja tapi berbeda dengan kondisi di Indonesia misalnya seorang psikiater yang juga PNS, maka dia harus selalu siap untuk bekerja.
Perbedaan Stress, Depresi dan Burnout
Dalam diskusi diungkap pula perbedaan Stress, depresi dan burnout. Adanya sebuah gangguan misal kalau perasaan sedih dan cemas, sudah sangat mengganggu sehingga tidak bisa tidur atau kebanyakan juga tidak bisa konsentrasi. Gejala fisik yang paling sering asam lambung naik, ada gerd, berdebar-debat dan sesak nafas entah gangguan depresi atau cemas.
Burnout adalah hal subjektif yang seseorang rasakan tapi masih dalam kondisi bisa bekerja. Seseorang sering bingung apakah ini emosi atau gangguan? Untuk membedakannya : sedih, marah, jijik itu emosi yakni respon otomatis yang menyentuh tubuh. Biasanya akan berlalu jika penyebab itu hilang. Lantas kapan seseorang perlu curiga kalau gangguan emosi itu bukan sekadar emosi biasa? Jika emosi itu selalu berulang, misalnya pada seorang ibu yang tidak bisa menjalankan pekerjaannya lalu menyebabkan stress.
Ada pula stress positif. Adrenalin naik itu bisa menyebabkan pekerjaan lekas selesai dan pekerjaan lebih optimal. Tapi kalau jalan terus selama 24 jam seperti mesin mobil jadinya malah bahaya.
Kondisi stress itu meningkatkan risiko pra inflamasi pada otak. Bisa memicu gejala depresi, burnout juga stress. Tapi kadang burnout dianggap biasa dan pekerjaan sehari-hari bahkan terjadi penolakan emosi jadi tubuh terbiasa dalam kondisi stress. Kemudian dalam satu titik ada gejala-gejala seperti kelelahan kronis, sinis, dorongan menghindari sesuatu yang biasa seseorang itu kerjakan.
Stress, Burnout Bukan Gejala Gangguan Jiwa tapi Fenomena Psikologi
Orang-orang yang tidurnya tidak teratur maka emosinya tidak baik. Kalau ada yang mengalami gangguan emosi penting diingat bahwa makan dan tidur itu harus dirawat. Ini fungsinya untuk memperbaiki sel yang rusak. Orang yang kurang tidur pertumbuhannya kurang optimal. Kalau dibiarkan kurang tidur maka ada risiko penyakit diabetes dan jantung. Kalau kondisi burnout tapi dipaksa maka emosi buruk yang keluar adalah kata-kata buruk yang malah melukai orang-orang yang dilayani oleh helper.
Tips Simpel untuk Menolong Diri Sendiri
Beberapa tips untuk menolong diri sendiri antara lain :1. tidur atau relaksasi 20 menit, self care bisa dengan meditasi atau musik. 2. kontak alam dengan melakukan grounding (injak rumput), kena air laut atau air garam/aroma. 3.Tenang dalam lima menit dengan cara dalam 5 menit fokus mendengarkan nafas kita. 5 menit. Pundak kalau tegang, kepala bisa migrain. Otot bisa lemas tidak tegang. 4.Penting memberi oksigen kepada diri dengan nafas dalam. Itu akan lebih rileks. Semua itu perlu dilakukan oleh helper untuk mencegah dari marabahaya yang berpotensi menyakiti orang lain dengan berkata kasar atau yang tidak pantas.[]
Reporter: Astuti
Editor : Ajiwan Arief