Views: 61
Solidernews.com – Fenomena banyaknya pengamen di suatu kota adalah hal lumrah, katanya. Difabel yang hidup dalam garis kemiskinan seolah merupakan suatu yang biasa dan dianggap lumrah adanya. Soal bertahan hidup adalah cara semua makhluk hidup untuk tetap eksis, apalagi bagi manusia.
“sekarang usaha pijat dan penjualan semakin payah. Semakin hari, pasien semakin sepi. Paling kalau kita keluar buat jualan, yang laku satu atau dua aja. Sedangkan setiap hari kita butuh makan. Kalau yang laku Cuma segitu, gimana caranya tetap bertahan?”
Kira-kira begitulah rintihan hati kebanyakan difabel netra di kota tempat penulis berdomisili. Kota tersebut terkenal dengan Pantai Losarinya yang indah, coto nya yang nikmat , dan katanya menjadi pintu gerbang perdagangan Indonesia Timur, dan lain-lain.
Namun, semua keindahan dan kelebihan yang disematkan untuk kota ini, tidak seiring sejalan dengan kemakmuran seluruh warganya, terutama warga difabel.
Penulis sendiri heran dan tercengang ketika banyak teman penulis yang mengabari bahwa teman-teman difabel netra yang dulu sukses dengan usaha pijat dan penjualannya, akhirnya turun ke jalan untuk mengaman karena usaha mereka tidak lagi dapat menunjang hidup, bahkan untuk kebutuhan sehari-hari.
Mendengar kabar tersebut, penulis mencoba menggali lebih jauh mengenai kebenaran fenomena banyaknya teman-teman difabel netra yang turun ke jalan untuk mengamen. Fakta yang penulis temukan bahkan lebih mencengangkan lagi. Beberapa teman difabel netra bahkan membawa seerta anak-anak mereka untuk membantu mereka bermobilirtas pada saat mengamen.
Hal lain yang juga penulis temukan adalah fakta bahwa di kota penulis sedang terjadi kekeringan dan teman difabel netra harus membeli beberapa galon air bersih untuk MCK (mandi, cuci, dan kakus) dan harganya juga lumayan mahal. Sekitar enam ribu rupiah per galon.
Sebagaimana yang kita tahu adalah air merupakan kebutuhan vital. Jadi mereka selain mengamen untuk menyambung hidup, mereka juga menggunakan hasil dari mengamen itu untuk membeli air bersih yang juga menguras isi kantung.
Ketika hal-hal yang telah diuraikan di atas telah terjadi. Ketika para difabel netra ini harus membanting setir dari awalnya usaha pijat dan menjual, akhirnya turun ke jalan sebagai pengamen. Siapakah yang harus dipersalahkan dan adakah orang yang turut merasa bersalah akan fenomena ini?
Adakah fenomena menjamurnya difabel netra menjadi pengaman adalah suatu hal biasa yang dianggap sudah semestinya terjadi, ataukah hal ini adalah akibat suatu sistem tata pemerintahan yang belum bisa mensejahterakan warganya, apalagi yang difabel?
Katanya sudah ada regulasi-regulasi yang berpihak kepada difabel? Katanya telah banyak upaya-upaya untuk menghapus stigma dan mengangkat para difaabel dari jerat kemiskinan dan ketertinggalan? Dan lebih banyak lagi katanya-katanya yang lain.
Menutup tulisan ini, penulis hendak mengajak seluruh pembaca untuk berkontemplasi dan berinterospeksi diri melalui beberapa kutian ei bahwa ini
“Siapapun pemerintahnya, hidup kita akan gini-gini aja. Kalau kita nggak kerja, mana ada yang mau ngasih makan.”
“Ya udahlah. Kita udah difabel. Nggak usah bercita-cita terlalu tinggi. Toh, kita memang ditakdirkan selalu menjadi kelas kedua dalam masyarakat.”
“Sebagai difabel, nggak apa-apalah kita ngambil duit mereka yang mau nyalon karena pasti kalau mereka udah kepilih, mereka bakal lupa kita dan kita kembali terabaikan.”
Semoga kutipan-kutipan di atas dapat menjadi bahan renungan dan sebagai kutipan penutup, penulis akan memberikan kutipan dari seorang filsuf:
“Ketika kita bisa merasakan derita, berarti kita memiliki indera dan ketika kita sudah bisa merasakan penderitaan orang lain, berarti kita adalah manusia.”[]
Penulis: Andi Zulfajrin Syam
Editor : Ajiwan Arief