Views: 12
Solidernews.com – Hai, sobat difabel. Gimana nih, kabarnya? Semoga baik-baik saja dan selalu positif, ya. Banyak sekali kisah-kisah sobat difabel yang bisa memberi energi positif kepada kita semua, nih. Kisah-kisah tersebut beragam. Ada tentang dunia kesenian, olahraga, dan pendidikan. Kali ini, kita akan mengikuti kisah salah satu sobat difabel netra yang memiliki pengalaman KKN dan PKL di SMA umum, namanya Reski Try Ulva.
Reski Try Ulva, mahasiswi difabel netra dari Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, membagikan kisahnya saat menjalani KKN (Kuliah Kerja Nyata) dan PKL (Praktik Kerja Lapangan) di SMA Negeri 3 Maros kepada Solidernews.com. Pengalamannya ini diwarnai oleh banyak tantangan, namun juga momen-momen yang penuh makna dan pelajaran berharga.
“Jadi, sedikit ceritaku waktu mengajar di SMA 3 itu. Karena dari Ketua Prodi mewajibkan kami mahasiswa untuk mengajar di SMA. Awalnya, saya pikir anak-anak SMA itu labil, emosinya belum stabil, nakal, dan saya juga takut kalau nanti dibully. Karena kepikiran itu toh, sampai-sampai saya tidak bisa tidur sehari sebelum KKN,” jelasnya sambil mengenang kekhawatiran sebelum terjun langsung ke lapangan.
“Ia mengaku merasa cemas sebelum memulai KKN di SMA tersebut. Kekhawatiran ini bahkan membuatnya tidak bisa tidur semalaman. Namun, di luar dugaan, sambutan yang ia terima justru sangat hangat. “Alhamdulillah, ternyata guru-guru di sana sangat ramah, dan kekhawatiran saya tidak terbukti,” katanya lega.
Pada hari pertama, Ulva masih merasakan ketegangan. “Saat saya masuk ke kelas untuk pertama kali, para siswa terlihat kaget melihat mahasiswa difabel netra yang akan mengajar mereka,” ungkapnya. Sempat merasa terpuruk beberapa jam, namun keesokan harinya, ia kembali dengan semangat untuk memperkenalkan diri dan mulai mengajar. “Saya merasa lebih percaya diri setelah memperkenalkan diri dan berinteraksi dengan siswa.”
Ulva juga menambahkan, “Waktu itu, guru pamong bilang, sebelum mengajar harus ada kontrak belajar, kayak tidak boleh makan di kelas, tidak boleh ribut, HP boleh dipakai kalau lagi belajar,” lanjutnya. Juga ada penekanan kalau nilai mereka ada di kami yang mengajar, meskipun masih status mahasiswa. Selama sebulan, apa pun yang terjadi, itu sudah tanggung jawab kami, yang jelas itu memperkuat posisi kami saat mengajar.
Di SMA Negeri 3 Maros, Ulva ditemani oleh teman sesama KKN yang membantunya dalam kegiatan belajar mengajar. “Kaprodi kami sudah menyarankan agar ada teman yang menemani saya saat mengajar,” jelas Ulva. Bantuan dari teman tersebut memudahkan, terutama dalam hal administrasi seperti mencatat absen siswa dan mempersiapkan materi.
Ulva juga menceritakan bagaimana metode mengajarnya yang cukup fleksibel. “Biasanya, saya pakai PowerPoint untuk menjelaskan materi, dan kalau siswa butuh mencari informasi tambahan, saya izinkan mereka menggunakan HP,” katanya. Bahkan, jika layar LCD di kelas tidak berfungsi, Ulva sudah mempersiapkan rencana cadangan. “Saya sudah buat grup WhatsApp untuk mengirim materi ke siswa,” tambahnya.
Setelah materi disampaikan, Ulva biasa membagi siswa menjadi beberapa kelompok untuk berdiskusi. “Karena di kelas ada 34 siswa, kadang saya bagi jadi lima kelompok, masing-masing enam sampai tujuh orang,” jelasnya. Selain itu, ia juga memberikan tugas-tugas yang dibantu koreksinya oleh teman sesama KKN. “Hasilnya kami diskusikan bersama, jadi ada timbal balik dalam proses pembelajaran,” lanjutnya.
Meski mengajar di kelas yang berbeda-beda selama sebulan, Ulva mengaku tidak mengalami masalah berarti. “Semua siswa baik-baik sama saya,” ucapnya bersyukur. Meskipun ada beberapa kelas yang cenderung ribut, mereka tetap mengerjakan tugas dengan baik. “Kalau saya suruh mereka kerjakan tugas, mereka kerjakan, nggak neko-neko,” tambahnya.
Salah satu momen paling berkesan bagi Ulva terjadi saat mengajar di kelas XII-2. Tanpa diduga, para siswa memberikan kejutan berupa buket bunga sebagai bentuk apresiasi. “Sebelum memberi buket, mereka sengaja bikin kami marah dulu. Tapi besoknya, mereka kasih buket dan kami foto bareng. Ya Allah, baik sekali mereka,” kenangnya dengan tawa.
Selama program PKL, pengalaman serupa juga terjadi. Di salah satu kelas, Ulva mendapat bingkisan berupa bingkai foto dan kue tar sebagai ucapan terima kasih dari siswa-siswa yang ia ajar. “Teman saya di kelas lain cerita, mereka cuma dapat satu buket untuk berdua. Tapi saya, satu orang satu buket!” canda Ulva, menunjukkan kehangatan hubungan yang terjalin dengan para siswa.
Ulva menjelaskan bahwa KKN dan PPL yang ia jalani berbeda dari KKN biasa yang biasanya dilakukan di masyarakat. “KKNku itu KKN Profesi, di mana kegiatan utamanya mengajar di sekolah,” terangnya. Ia menambahkan bahwa mahasiswa yang sudah mencapai nilai akademik tertentu dan SKS yang cukup bisa mengikuti KKN Profesi ini.
“Oh iya. KKNku itu dimulai dari 15 Juli dan terakhir di 13 Agustus, sedangkan PPLku itu dimulai 11 September sampai 11 Oktober kemarin,” tambahnhnya lagi.
Setelah membaca kisah Ulva di atas, paling tidak kita bisa punya energi positif yang nambah ya, sobat difabel. Oh iya, menutup kisahnya, Ulva ada pesan nih buat sobat difabel semua,
“Teman-teman, mungkin Sebagian dari kalian sudah tahu kisah perjuanganku, agar dapat berkuliah di perguruan tinggi. Pesan saya, tetaplah semangat menjalani kuliah, dan tetaplah tumbuhkan semangat dalam diri, juga jangan lupa selalu berdo’a, agar selalu dipermudah oleh Allah. Bagi yang mengambil jurusan Pendidikan, yang nantinya akan KKN, atau PPL di sekolah umum, ndak usah merasa takut, sebab semua dapat teratasi, dengan komunikasi yang baik, tentang bagaimana cara
kita mengajar, dan bagaimana Teknik kita dalam mengajar. Semangat mahasiswa!” tegasnya.
Dari kisah Ulva di atas, kita bisa melihat betapa pentingnya kolaborasi, inklusi, dan kasih sayang dalam dunia pendidikan. Kolaborasi antara Ulva dan teman non-difabelnya menunjukkan bahwa dengan kerja sama, segala tantangan bisa diatasi. Sambutan hangat dari para guru di SMA Negeri 3 Maros juga mencerminkan bagaimana inklusi dapat diwujudkan dengan baik di lingkungan sekolah. Dan kasih sayang para siswa, yang memberikan hadiah kecil sebagai bentuk apresiasi, menunjukkan bahwa pendidikan adalah tentang hubungan yang saling menghargai.
Semoga kisah Ulva ini menjadi inspirasi bagi kita semua dan menambah semangat bagi semua sobat difabel dalam menempuh pendidikan yang setinggi-tingginya![]
Reporter: Andi Syam
Editor : Ajiwan