Views: 41
Solidernews.com – Setiap tanggal 21 Maret diperingati sebagai World Down Syndrome Day (WDSD) atau Hari Down Syndrome Sedunia. Tema yang diusung pada WDSD 2024 ini ialah End the Stereotypes atau akhiri stereotip. Stereotip kepada Anak dengan Down Syndrome (ADS) muncul karena keterbatasan informasi dan pengetahuan. Persepsi kepada ADS yang menganggap ADS sebagai objek yang memerlukan orang lain bahkan ketergantungan pada pertolongan orang lain harus sudah dihilangkan.
Muntriyani atau biasa disapa Yani seorang karyawan di Purworejo menjadi ibu dari anak down syndrome laki-laki. Dahulu saat mengandung putra keduanya, Yani sudah mendapat peringatan yang menyatakan ada “sesuatu” dengan kondisi janin. Saat melahirkan, hal pertama bagi Yani untuk menerima kenyataan memiliki kondisi anak down syndrome. Petugas kesehatan memberitahu kepada keluarga Yani dengan cukup hati-hati.
Jawaban dari ketiga dokter anak, menyampaikan bahwa kondisi Fahmi, sang putra keduanya mengalami down syndrome. Maka sejak saat itu, Yani belajar secara otodidak tentang penanganan anak dengan down syndrome melalui bacaan di internet. Saat ada kesempatan, ia pun bertanya pada dokter terkait tumbuh kembang anaknya. Fahmi kini sudah berusia 7 tahun dengan kondisi yang baik dan sehat, tergolong anak yang ceria dan mudah bergaul.
“Awalnya saya yo tidak menyangka anak saya akan lahir demikian, Mbak”, ungkap Yani pelan.
Berbekal kekuatan dan dukungan keluarga, Yani mencari informasi tentang down syndrome ke berbagai pihak. Masukan dari teman atau kolega untuk memberikan terapi bagi Fahmi, tetap ia lakukan di sela kesibukan pekerjaan. Diakuinya, masalah kesehatan menjadi PR karena Fahmi cukup sensitif jika terkena batuk atau flu. Maka dari itu, Yani cukup hati-hati dalam menjaga kesehatan agar Fahmi bisa dalam kondisi prima.
“Saat ini cara komunikasi (dengan Fahmi) menjadi kendala yang saya hadapi dalam pengasuhan Fahmi”, jelas Yani.
Bagi Yani, putra keduanya ini diakui memiliki sikap penyayang dan sopan. Hal ini tidak terlepas dari pendidikan yang diberikan di rumah dan di luar rumah. Keluarga Yani memutuskan untuk memberikan pendidikan usia dini di salah satu sekolah swasta. Sebagai orang tua, Yani memperjuangkan agar Fahmi bisa sekolah di sekolah umum yang jaraknya dekat dari rumah.
“Melalui tes psikologi sebelumnya, lalu hasil tes itu saya lampirkan untuk pendaftaran di sekolah Mutiara Ibu”, ungkap Yani.
Sebagai orang tua dengan anak down syndrome, Yani sudah siap dengan segala omongan dari orang lain. Cibiran atau kalimat negatif yang ia terima selama ini tidak menjadi halangan untuk memberikan yang terbaik bagi putranya. Fokusnya ialah memberikan fasilitas pendidikan terbaik dengan memilih sekolah yang nyaman dan aman bagi Fahmi.
“Ya jangan dilihat dari mahalnya ya, saya melihat anak saya tidak dibedakan dan memang di sana pendekatannya memang sesuai kebutuhan si anak”, terang Yani semangat.
Selama obrolan yang asyik, saya mencoba menanyakan tentang kebutuhan pendidikan bagi anak down syndrome. Dari analisisnya sebagai orang tua anak down syndrome, Yani sangat sepakat jika di wilayah tempat tinggalnya harus ada sekolah inklusi.
“Kan anak berkebutuhan khusus tidak harus di SLB to”, jelasnya.
Hak untuk mendapatkan pendidikan bagi anak dengan down syndrome harus memperhitungkan berbagai aspek, yakni lingkungan yang aman dan nyaman, pendekatan pembelajaran, dukungan sosial dan emosional, serta integrasi sosial. Jika keseluruhan aspek ini terpenuhi maka situasi inklusi dapat tercipta. Salah satu poin penting dalam pendidikan bagi down syndrome adalah penggunaan pendekatan pembelajaran yang berbasis pada kebutuhan individu mereka. Setiap anak down syndrome memiliki kekuatan, tantangan, dan kebutuhan yang unik.
Pendekatan dalam pendidikan harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan kemampuan anak. Hal ini dapat melibatkan pemakaian metode pembelajaran yang menyenangkan dengan berdasar pada pengalaman praktis, visual, dan sensorik, yang dapat merangsang anak untuk memahami dan menginternalisasi materi pelajaran dengan lebih baik. Anak down syndrome memerlukan bantuan tambahan dalam mengembangkan keterampilan sosial, komunikasi, dan kemandirian.
“Saya itu senang mbak, anak saya tidak dianggap berbeda bahkan mereka menerima anaknya jadi satu dengan anak saya yang kondisinya begitu”, ungkap Yani.
Selain itu, penting untuk memperhitungkan dukungan sosial dan emosional bagi anak. Keterlibatan orang tua dan keluarga dalam proses pendidikan juga tak kalah penting. Mereka adalah sumber daya yang berharga dalam menyediakan dukungan dan pemahaman yang diperlukan untuk membantu anak-anak mereka tumbuh dan berkembang secara optimal. Kolaborasi antara sekolah dan orang tua dapat menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan anak down syndrome secara holistik.[]
Reporter: Erfina
Editor : Ajiwan