Views: 8
Solidernews.com – Pendidikan adalah hak dasar yang dimiliki oleh semua orang tanpa terkecuali. Sayangnya, dunia akademik di Indonesia selama ini belum sepenuhnya mampu mengakomodir masyarakat difabel. Tenaga pendidik sering kali kebingungan saat dihadapkan dengan multi kerentanan dan kompleksitas masalah yang dimiliki difabel, mengakibatkan semakin panjangnya daftar peminggiran yang terjadi di dalam sekolah ataupun perguruan tinggi.
Pada Kamis, 10 April 2025 yang lalu, Universitas Muhammadiah Surakarta (UMS) menggelar webinar dengan tema “Menuju Kampus Inklusi” yang sengaja atau tidak disengaja, menjadi ruang kontestasi pemikiran para dosen dan guru dalam memandang hak pendidikan anak didik mereka. Para narasumber memaparkan keadaan yang selama ini terjadi di kampus mereka masing-masing, kemudian para peserta webinar melemparkan pertanyaan demi pertanyaan.
Munawir Yusuf selaku kepala Pusat Studi Disabilitas UNS, memulai diskusi itu dengan memaparkan sejumlah keberhasilan kampusnya dalam mengakomodir mahasiswa difabel. Tidak hanya menerima difabel, UNS juga melakukan sosialisasi daring kepada kepala sekolah SMA sederajat mengenai jalur khusus untuk calon mahasiswa difabel. Setelah mahasiswa difabel telah dinyatakan lulus, mereka juga turun tangan dalam kerja-kerja pendampingan. Munawir menjelaskan, sistem pendampingan itu terjadi dalam konteks kerelawanan, di mana Pusat Studi Disabilitas akan membuka pendaftaran dan kemudian akan menyeleksi sampai terpilih 30 relawan yang akan menjadi pendamping dalam kurun waktu satu tahun. Layanan yang dapat diberikan oleh relawan di antaranya adalah pendampingan belajar, bantuan merapikan tulisan di laptop, penyediaan bahasa isyarat dan lain-lain yang berhubungan dengan proses pembelajaran. Menurutnya, selama ini sistem itu berjalan dengan mapan dan berhasil memudahkan mahasiswa difabel dalam mengikuti perkuliahan.
“Kita juga punya mobil listrik untuk mobilitas mahasiswa difabel di dalam area kampus. Di kampus kami kan ada satu hari di setiap bulannya di mana UNS harus bersih dari emisi, kendaraan tidak boleh masuk. Itu akan sangat menyulitkan difabel ragam tertentu, misalnya kursi roda. Jadi mobil listrik ini sangat membantu,” ucap pria yang penuh akan prestasi dalam bidang pendidikan tersebut.
Rasmita Dila dari Universitas Juanda, pun melanjutkan diskusi. Ia memulai sesinya dengan berbagi pengalamannya selama ini dalam penelitian di tingkat nasional, maupun internasional. Ia secara personal sudah mengunjungi banyak negara, termasuk Finlan, dan melihat pelaksanaan pendidikan inklusi di berbagai universitas. Rasmita menilai, penting bagi Indonesia untuk belajar pada Finlan. Di Universitas Juanda, ia sendiri telah berupaya untuk melakukan hal itu. Jika setiap penelitian di Finlan kemudian dapat langsung diperkenalkan dan diimplementasikan pada masyarakat, di Indonesia ceritanya sedikit lebih rumit. Karena sistem birokrasi dan struktur yang berbentuk piramida. Hasil-hasil penelitian di universitas, tidak bisa serta merta diimplementasikan di tengah masyarakat. Seluruh pengelolaan dan juga usaha untuk mengembangkan sumber daya manusia di dalam negara, harus berdasarkan program yang dirumuskan oleh pemerintah. Untuk mensiasati hal tersebut, Universitas Juanda pun berinisiatif untuk bekerjasama dengan pemerintah daerah setempat untuk dapat meluaskan manfaat penelitian mereka dan diberi akses untuk mendesiminasikan penelitian ke sekolah-sekolah yang ada di Bogor.
“Kita lebih fokus kepada penelitian dan pemberdayaan penelitian tersebut langsung ke sekolah-sekolah yang memiliki anak didik disabilitas, ya. Untuk mahasiswa disabilitas sendiri, kami belum punya banyak. Kami juga belum punya jalur penerimaan khusus, hanya mengikut pada jalur penerimaan umum. Proses pelayanan juga kami masih sementara mencoba untuk melakukan hal yang telah dilakukan Pak Munawir di UNS,” tutupnya.
Narasumber lain, Nurul Hidayati yang saat ini menjadi peneliti di Hiroshima University juga menyoroti pemberian hak atas aksesibilitas seperti sarana pra sarana bagi mahasiswa difabel. Pengalaman yang dibagikannya, mengacu pada penerapan pendidikan inklusi di Hiroshima University, justru menunjukkan timpangnya layanan pendidikan bagi difabel di Indonesia dan negara-negara lain. Di mana di Indonesia, difabel masih kerab mengalami diskriminasi dalam mengakses hak pendidikan mereka.
Diskriminasi yang terjadi pada murid dan atau mahasiswa difabel di Indonesia, mungkin saja bermula dari sistem segregasi. Sistem yang memisahkan antara anak yang dianggap normal dan anak yang dianggap tidak normal. Anak yang dianggap tidak normal ini, dirasa memiliki kebutuhan khusus yang tidak perlu disediakan atau tidak mampu disediakan di semua sekolah sekaligus, juga mengingat tidak seberapanya jumlah murid yang berkebutuhan khusus. Diciptakanlah sekolah khusus yang sangat berbeda dengan sekolah reguler. Seperti yang diucapkan oleh Munawir, “beban pendidikan anak murid di SLB kan berbeda dengan beban pendidikan anak murid di sekolah umum. Di tingkat SMA, misalnya. Murid SLB hanya belajar 40%, berbeda dengan murid sekolah umum yang belajarnya 100%. Ini tertuang dalam peraturan kementerian pendidikan. Jadi memang susah jika lulusan SLB, apalagi tidak pernah mendapat bimbingan belajar di luar sekolah, untuk kita samakan dengan anak yang sekolah sekolah umum.”
Akhirnya, murid-murid SLB mengalami kerentanan berlapis. Jika diibaratkan nasi goreng. Murid SLB adalah nasi goreng yang dengan sengaja dimasak menggunakan beras yang tidak berkualitas, bumbu-bumbu terbatas dan hanya sesekali diaduk pula. Sementara anak di sekolah reguler adalah nasi goreng yang dimasak dengan beras bagus, bumbu lengkap dan diaduk sepanjang tungku menyala. Diberi toping pula. Tetapi saat tersedia di atas meja, keduanya sibuk dibanding-bandingkan dan diminta untuk bersaing. Ya tentu tidak adil.
Belum lagi menilik masalah terbatasnya guru di SLB, hingga kurikulum yang disediakan, tidak dapat dijalankan secara utuh. Yang seharusnya keterampilan pilihan untuk murid SLB adalah 29 meliputi budi daya ikan, tata boga, keterampilan emosional dan masih banyak lagi. Akhirnya yang sering ditemui di SLB-SLB hanya tata rias dan menjahit saja. Menyesuaikan dengan jumlah dan kompetensi guru yang dimiliki.
Seorang penanya bernama Lilik Sriyanti dari UIN Salatiga juga menanyakan mengenai standar diterima dan tidak diterimanya mahasiswa difabel di universitas. Menurutnya, hal itu perlu untuk dibicarakan bersama-sama,” selama ini kami juga bingung, bagaimana menentukan mana disabilitas yang bisa diterima dan mana yang disingkirkan. Kalau pikiran saya, yang punya gangguan intelektual itu agak susah, ya? Dosen akan repot kalau mereka juga ikut berkuliah,” ujarnya.
Pertanyaan dan pernyataan Lilik segera saja mendapat respon dari para narasumber. Munawir, misalnya. Berpendapat bahwa difabel intelektual memanglah tidak mampu mengikuti pembelajaran setingkat S-1. Bagi universitas yang ingin menerima difabel intelektual, ia menyarankan untuk universitas membuat kursus singkat yang berlangsung tiga sampai enam bulan. Kursus keterampilan ini yang kemudian akan mengakomodir difabel intelektual.
Diskusi dalam sesi itu menunjukkan adanya perdebatan, pro kontra, mengenai masuknya difabel intelektual ke dalam kampus. Bukan hanya masuk, tetapi juga mendapatkan hak setara dengan mahasiswa lainnya, yaitu berkuliah strata 1. Lilik melontarkan kalimat, “dosen akan direpotkan dengan kehadiran mereka,” sementara Munawir menyarankan pemberian kursus keterampilan singkat saja, setidaknya agar difabel intelektual juga terakomodir oleh pihak perguruan tinggi. Secara tidak langsung keduanya beranggapan bahwa difabel intelektual, tidak seharusnya menyandang predikat mahasiswa.
Standar atas bisa dan tidak bisanya seorang difabel mendapatkan kesempatan berkuliah, sampai dengan sekarang, memang belum ditetapkan oleh pemerintah. Setiap universitas membuat standarnya masing-masing. UNS, misalnya, dalam proses penerimaan calon mahasiswa secara objektif menilai mandiri, apakah pendaftar mampu atau tidak mengikuti dan menyelesaikan perkuliahan di jurusan yang ia pilih. Dengan sistem yang abu-abu tersebut, peluang terjadinya diskriminasi pun terbuka lebar. Jika berdasar pada perkiraan bisa atau tidak bisa, bagaimana nasib seorang difabel netra yang memilih jurusan psikologi yang sarat akan fisual? Membedakan warna, gambar dan lain sebagainya? Apakah akan ditolak dengan alasan ia tak mampu melihat, berarti tidak akan mampu mengikuti pembelajaran fisual yang mayoritas di dalam jurusan psikologi?
Tetapi sejumlah nama difabel membuktikan, kondisi difabel tidak membatasi kemampuan mereka dalam jurusan-jurusan yang mereka pilih. Yang dianggap tidak mungkin oleh orang lain.
Seperti Alabanyu Brebahama, seorang difabel netra lulusan Universitas Indonesia yang sekarang menjadi psikolog dan dosen psikologi. Atau Romi Sopha Ismael, difabel pengguna kursi roda lulusan Universitas Andalas yang saat ini menjadi dokter gigi ASN. Dan masih banyak lagi difabel yang bukan hanya berkuliah di jurusan-jurusan yang dianggap tidak mungkin mereka dapat mengikuti pembelajarannya, tetatpi juga akhirnya sukses di bidang masing-masing.[]
Reporter: Nabila May
Editor : Ajiwan