Views: 66
Solidernews.com – Maraknya kasus pelecehan seksual di beberapa waktu terakhir tentunya menjadi fenomena yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Sebab hal tersebut sudah menyalahi nilai-nilai moral dan agama. Apapun bentuknya pelecehan seksual tidak dapat dibenarkan, karena agama dan negara sudah mengatur hubungan lawan jenis lewat pernikahan. Jadi, berbagai aktivitas menyimpang yang terkait dengan seksual itu harus ditindak sesuai hukum dan norma yang berlaku guna menjaga martabat tiap-tiap manusia.
Di Indonesia pembinaan soal sex education di era kekinian bisa dibilang masih sangat kurang diperhatikan dengan baik oleh orang tua. Hal itu tentunya menjadi permasalahan yang pelik, karena begitu pentingnya sex education di era modern ini. Persoalan ini terjadi karena adat dan kultur ketimuran, anggapan sex education masih tabu, dan pemahaman agama yang tidak matang menyebapkan para orang tua kebingungan untuk mendidik anak prihal sex education. Padahal dengan memahami sex education, seorang anak dapat menjaga diri dari pelecehan seksual, memahami batas-batas norma, dan menjaga anak dari penyelewengan seksual.
Bila kita meninjau dari data survei, Dilansir dari data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) tercatat dari rentan januari hingga November 2023, dilaporkan sebanyak 15.120 kasus kekerasan terhadap anak. Di mana korban anak perempuan berjumlah 12.158 kasus dan anak laki-laki sebanyak 4.691 kasus. Dari kasus tersebut, kekerasan seksual menjadi kasus nomor 1 terbanyak korbannya sejak tahun 2019 sampai 2023.[1]
Di sisi lain, bila melihat laporan dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), terdapat 105 kasus yang berbasis gender yang menyerang perempuan disabilitas yang dilaporkan sepanjang 2023 di Indonesia. Rincian dari laporan itu adalah: difabel mental sebanyak 40 orang, difabel sensorik 33 orang, difabel intelektual 20 orang, dan difabel fisik 12 orang.[2] Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor menjelaskan pada konferensi pers-nya (Kamis, 7/3/2024) bahwa kasus pelecehan terhadap difabel, paling banyak terjadi di Yogyakarta dengan 26 kasus.
Solidernews.com dalam artikelnya yang berjudul “Mahasiswi Difabel Rentan Alami Tindak Kekerasan Seksual di Kampus: Ini Perlindungan yang Harusnya Dilakukan,” menjabarkan masih rentanya mahasiswa difabel itu mengalami kekerasan seksual. Selain itu, dalam artikel ini juga dipaparkan berbagai usaha, advokasi, dan aksi nyata pihak terkait untuk menekan angka pelecehan yang masih tinggi.[3]
Nah, meninjau dari beberapa data kasus kekerasan seksual di atas, sudah barang tentu kita tidak boleh abai dengan kenyataan tersebut. Bukan karena sebab kita merupakan masyarakat difabel, lantas kita hanya pasrah bila menerima pelecehan. Upaya hukum dan penegakan keadilan harus ditempuh. Namun, akan lebih baik untuk kita lebih mawas diri sejak awal. Yang mana salah satu penanggulangan pelecehan seksual ini dapat diminimalisir dengan Sex Education pada anak difabel sejak dini.
Sepintas Mengenai Sex Education
Apa sih Sex Education itu? Sex education atau yang biasa di kenal dengan pendidikan seks adalah salah satu cara dalam memberikan pemahaman dan menyadarkan anak mengenai masalah seksual. Pengenalan seks sangat berkaitan erat dengan moral, komitmen, etika, agama, dan berhubungan dengan organ reproduksi beserta fungsinya.[4] Selain itu, dr. Aisah Dahlan, CHt., CM.NLP (seorang praktisi di bidang neuronparentting) menjelaskan bahwa pendidikan seks itu tidak melulu soal hubungan suami istri. Melainkan pola asuh untuk memberikan pemahaman kepada anak soal organ reproduksi, perkembangan pubertas, dan pendampingan mental tentang seksualitas. Karena bila meninjau makna “Sex” dalam bahasaIndonesia, arti dari kata “Sex” adalah jenis kelamin.
“Jadi, Sex itu berbeda dengan seksualitas. Karena kalau seksualitas itu berarti apapun aktivitas yang melibatkan organ reproduksi. Bisa jenis kelamin, urogenital, dan perkembangannya. Tentu pendidikan ini disesuaikan pada umur si anak,” imbuh Aisah dalam seminarnya[5].
Adanya pendidikan seks ditujukan untuk menanamkan kesadaran pada anak, tentang bahwasanya mereka memiliki perbedaan jenis kelamin antara lelaki dan perempuan. Selain itu memberikan pola asuh yang sesuai pada umur, misal untuk anak 2-4 tahun, mereka dididik untuk memakai baju yang menutupi area yang tidak boleh dilihat orang. Bila menginjak akil balig, dikenalkan tentang cara merawat diri bila mengalami menstruasi bagi perempuan dan mandi wajib bagi pria muslim saat mimpi basahh serta dikenalkan norma-norma terkait batasan antara pria dan wanita bila telah menginjak dewasa.
Pandangan tabu mengenai pendidikan seks pada anak usia dini tentunya itu keliru. Karena sex education merupakan hal yang wajib diajarkan sedini mungkin kepada anak. Tepatnya manakala si anak sudah mulai mengerti tentang anggota tubuhnya dan mengenal anggota tubuh internal yaitu ketika berusia 3-4 tahun. Bahkan, pendidikan seks yang perlu ditanamkan sejak dini adalah sebagai fondasi bagi anak agar anak dapat menerima diri secara positif, memiliki kepercayaan diri yang tinggi, kesehatan pribadi dan mempermudah anak dalam mengembangkan harga dirinya.[6]
Sex Education menjadi fondasi dan kekuatan anak difabel membela diri
Karena maraknya pelecehan seksual pada anak difabel, baik di sekolah, kampus, maupun di lingkungan masyarakat, penting adanya bahwa sendari kecil anak difabel harus diberikan didikan yang intens terkait pendidikan seks. Karena dengan modal itu, para difabel bisa mawas diri, hati-hati, dan tidak mudah terbawa arus pergaulan bebas. Sebab ia paham ilmu untuk mempertahankan dirinya.
Nurlaili dalam artikelnya yang berjudul “PENDIDIKAN SEKS PADA ANAK,” yang diterbitkan oleh Marwah: Jurnal Perempuan, Agama dan Gender, menyatakan seorang anak itu penting untuk memahami terkait pendidikan seks. Hal itu bertujuan agar anak bisa membela diri, menjaga kehormatan, dan dapat menyaring informasi dengan lebih bijak.[7]
Masih dalam artikel yang sama, Nurlaili menjelaskan beberapa strategi agar anak terhindar dari perilaku pelecehan seksual, yaitu dengan seorang anak harus diajari tatacara melindungi diri. Selain itu diberikan pemahaman tentang bedanya sentuhan kasih sayang dan sentuhan yang mengarah pada pelecehan. Anak harus dibiasakan untuk tidak mudah terbujuk dengan iming-iming apa pun yang diberikan orang dewasa di luar orang tuanya. Mereka juga harus diajari untuk tidak takut mengatakan hal yang sebenarnya pada orang tua jika dia tidak merasa nyaman dengan sentuhan yang diterimanya dari seseorang. Tapi tidak dianjurkan menakut-nakuti anak karena anak mungkin akan keliru menafsirkan kedalam sikap frigid atau anti seks ketika mereka dewasa kelak.[8]
Selain beberapa hal di atas, Nurlaili juga menjelaskan bahwa untuk seorang perempuan harus memiliki sikap tegas akan dirinya bila dilecehkan. Tidak boleh takut untuk melawan, baik dengan berteriak, memukul, mau pun melumpuhkan dengan cara menyerang titik vital, seperti melempar bubuk cabai ke mata pelaku. Selain itu, orang tua hendaknya selalu memberikan arahan kepada anak untuk waspada di area dan fasilitas umum, seperti angkutan kota. Anak perempuan harus setia waspada, jaga wilayah riskan, seperti dada dengan menutupnya menggunakan tas gendong, dan lain-lain.[9]
Hal di atas juga berlaku pada anak difabell. Mereka harus diberikan pengajaran tentang membela harkat martabat. Karena difabel itu rentan sekali dilecehkan, sehingga harapanya dengan adanya pendidikan seksual sejak dini bagi difabel, mereka dapat terhindar dari perilaku amoral orang sekelilingnya. Jadi, difabel tetap bisa membela diri meski dirinya dihadapkan pada kondisi tidak bersama keluarganya. Entah saat di kampus, kantor, maupun ruang publik lainnya.
Pada kajian lain, Safrudin dalam artikelnya memberikan beberapa formulasi untuk materi sex education kepada anak difabel dalam tiga kategori. Pertama adalah usia dini yang di dalamnya terdapat perbedaan anatomi dan fisiologi antara laki-laki dan perempuan, khitan, aurat, merawat tubuh dan berhias, maskulinitas dan feminitas, tidur dan bercengkerama dalam keluarga. Safrudin menambahkan penjelasan, bahwa anak berkebutuhan khusus semenjak usia dini sebaiknya diperkenalkan mengenai tindak pelecehan dan kekerasan seksual secara sederhana beserta dampak negatifnya. Selain itu, anak juga diperkenalkan upaya preventif terhadap perbuatan pelecehan dan kekerasan seksual, seperti: menolak ketika orang lain memegang organ vitalnya, lari menjauh jika ada orang yang memaksanya, berteriak meminta tolong dan sebagainya. Ajarkan pula terhadap anak untuk menceritakan kepada ibu hal-hal yang menurutnya tidak enak atau tidak nyaman. Selain itu biasakan anak untuk tidak secara mudah menerima hadiah, atau pemberian apa pun dari orang lain yang tidak dikenalnya. Karena pemberian tersebut tidak selalu baik bagi diri anak. Jika perlu tanamkan pemahaman kepada anak lebih baik memberi daripada menerima pemberian.
Kedua, anak usia sekolah dasar, dapat diberikan pendidikan: a) Pembiasaan diri untuk menutup aurat. B) diajarkan pendidikan moral dan keimanan tentang berbagai macam perintah dan larangan agama pada umatnya terkait segala hal, termasuk di sini adalah tentang seks. C) diajarkan memisahkan tempat tidur anak dengan orang tua, dengan jenis kelamin berbeda, serta mengapa hal itu harus dilakukan. D) menjaga kebersihan organ kelamin. E) etika memandang teman lawan jenis.
Ketiga, pendidikan usia remaja yang meliputi: a) pendidikan kesehatan reproduksi. pendidikan kesehatan reproduksi ini diperlukan guna menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan remaja berkebutuhan khusus dalam hal mengurus, menjaga dan merawat alat reproduksi yang dimilikinya. B) pendidikan kekerasan dan pelecehan seksual. Perlunya pemberian pengetahuan ini bahwa usia remaja adalah terbilang paling rentan mengalami kasus pelecehan ataupun kekerasan seksual. Sehingga berbagai jenis sikap, tingkah laku, ucapan ataupun gerakan mencurigakan dari orang lain harus diantisipasi. Apalagi anak berkebutuhan khusus terbilang tidak mampu menolak secara fisik maupun teriakan, sehingga mereka kerap kali menjadi objek kekerasan dan pelecehan seksual oleh orang lain. C) perilaku seks bebas remaja dan dampaknya. D) proses pembuahan dalam penciptaan manusia. E) perlindungan hukum terhadap tindakan kekerasan seksual.[10]
Remaja berkebutuhan khusus harus diberikan materi seputar perlindungan hukum terhadap tindakan kekerasan maupun pelecehan seksual. Karena sebagian besar dari mereka tidak mengetahui tentang perlindungan hukum ini menjadikan remaja berkebutuhan khusus menjadi korban pelecehan seksual tanpa melaporkan kasus yang menimpanya. Mereka dipaksa membungkam mulut tanpa bicara, tetapi nurani mereka menjerit dan terluka begitu dalam, tanpa adanya keadilan.
Penerapan Edukasi Seks pada Anak Difabel
Cheta Nilawaty dalam artikel yang di rilis oleh Tempo.co yang berjudul, “12 Cara Menyampaikan Pengetahuan Seksualitas ke Anak Berkebutuhan Khusus,” ia menjelaskan Menurut informasi kesehatan yang tercantum dalam laman resmi Pemerintah Negara Bagian Victoria, Australia, terdapat beberapa cara dalam menyampaikan informasi mengenai pengetahuan seksualitas kepada anak berkebutuhan khusus. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan situasi ketika anak menunjukkan rasa ingin tahu tentang identitas seksualnya. Dari hal itu orang tua bisa mendidik dengan pelan-pelan.
Contohnya ialah saat menonton film di mana ada adegan berciuman. Saat anak difabel bertanya, maka disinilah kita (sebagai orang tua) memiliki peluang untuk melakukan edukasi. Hal ini dapat di mulai dengan Menyampaikan fakta atau contoh sederhana, lalu sisipkan informasi tentang bagaimana setiap orang memiliki ciri-ciri dan kecenderungan seksualitas yang berbeda. Jaga komunikasi tetap santai, dan gunakan bahasa yang sederhana agar tidak membingungkan si anak.
Saat menghadapi anak dengan kategori difabel mental, tantangan yang kerap ditemukan ialah kesulitan memahami konsep yang abstrak. Sebab itu, orang tua dapat mencari berbagai sumber informasi, seperti buku dengan gambar yang jelas dan sederhana, DVD, boneka, dan model tiga dimensi yang dapat menggambarkan bagian tubuh tertentu. Intinya hal ini diperuntukan agar anak dapat mudah menyerap informasi.[11]
Safrudin. A, dalam penelitiannya mengatakan bahwa secara garis besar metode yang dapat digunakan dalam pendidikan seks bagi anak berkebutuhan khusus diantaranya: pertama, untuk anak difabel netra menggunakan metode ceramah, cerita atau kisah, tanya jawab, diskusi, dan metode peringatan. Kedua, anak Tuli menggunakan metode bahasa isyarat dan tubuh, ceramah, pengulangan, pengajaran langsung, cerita. Ketiga, bagi anak autis mengunakan metode berkomunikasi melalui gambar, video modelling, metode pembelajaran perilaku, keteladanan. Keempat, untuk anak tunalaras menggunakan metode: pendampingan, metode bertahap, keteladanan, metode langsung dan pembiasaan. Kelima, untuk anak tunagrahita menggunakan metode: bermain, kawan sebaya, demonstrasi/praktik, keteladanan, pengenalan langsung, serta ceramah. Keenam, tunadaksa menggunakan metode: bimbingan kemandirian, pembiasaan, keteladanan, pembelajaran individual, ceramah dan praktik.[12]
Dilansir dari thetalkinstitute.com dalam artikel “Sex Education for Children with a Disability,” mmenjabarkan bahwasannya difabel itu rentan sekali menerima pelecehan seksual. Maka dari itu, pencegahan melalui sex education bisa menjadi gerbang awal untuk menjaga kehormatan anak difabel. Adapun beberapa tips yang bisa dilakukan orang tua untuk membantu serta mengedukasi anak difabel soal seksual ialah:
- Pertama, memberikan mereka informasi kesehatan seksual yang berfokus pada kebutuhan mereka
1..
- Kedua mengajari mereka menggunakan nama yang benar untuk bagian tubuh
- Selanjutnya, memastikan mereka memahami bagian mana dari tubuh mereka yang bersifat ‘pribadi’ dan apa yang dimaksud dengan “privasi”.
- memastikan anak Anda mengetahui batasan pribadinya dan tidak masalah jika mengatakan”Tidak!”.
Seringkali difabel dapat diajari untuk melakukan apa yang diperintahkan. Namun, mereka perlu tahu bahwa mereka mempunyai hak untuk mengatakan ‘tidak’ ketika mereka merasa batasan pribadi mereka dilanggar.
- melatih keterampilan menggunakan permainan peran dan pemecahan masalah sehingga anak Anda dapat berlatih mengatakan “ya” dan “tidak”
5.[13]
Dengan kesadaran pentingnya pendidikan seksual sejak dini bagi difabel, orang tua berperan utama dalam membimbing, memantau, dan mengajari apa pun tentang sex education yang mana itu disesuaikan pada umur si anak dan dilakukan secara terus-menerus sampai anak tersebut dapat melindungi dirinya secara mandiri. Orang tua dapat mencari informasi melalui konsultasi dokter, mengikuti seminar sex education yang sekarang dapat di akses di berbagai platform, dan juga terus mendampingi anak dalam tiap proses perkembangannya.[]
Reporter: Wachid
Editor : Ajiwan
[1] KEMENPPPA, “Kolaborasi Berkelanjutan Lintas Sektor dan Regional, Kunci Atasi Kasus Kekerasan terhadap Anak,” https://www.kemenpppa.go.id/page/view/NTAxNg==, diakses pada 02 Juni 2024.
[2] Nabilah Muhammad, “Masih Ada Kekerasan terhadap Perempuan Disabilitas, Ini Sebarannya,” https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2024/03/08/masih-ada-kekerasan-terhadap-perempuan-disabilitas-ini-sebarannya/, diakses pada 01 Juni 2024.
[3] Srikandi. S, “Mahasiswi Difabel Rentan Alami Tindak Kekerasan Seksual di Kampus: Ini Perlindungan yang Harusnya Dilakukan,” https://solidernews.com/mahasiswi-difabel-rentan-alami-tindak-kekerasan-seksual-di-kampus-ini-perlindungan-yang-harusnya-dilakukan/, diakses pada 31 Mei 2024.
[4] Fidya Ismiulya, DKK “Analisis Pengenalan Edukasi Seks pada Anak Usia Dini,” Jurnal Obsesi : Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 6(5), 2022.
[5] “Pentingnya Pendidikan Seksualitas pada Anak Aqil Baligh (Remaja) dalam Islam ,” https://www.youtube.com/watch?v=46Uq4xyKyvg&t=46s, diakses pada 03 Juni 2024.
[6] Fidya Ismiulya, DKK “Analisis Pengenalan Edukasi Seks pada Anak Usia Dini.”
[7] Nurlaili, “pentingnya pendidikan Seks Pada Anak,” Marwah: Jurnal Perempuan, Agama dan Gender Vol 10, No 1 (2011.
[8] IBID.,
[9] IBID.,
[10] Safrudin Aziz, “PENDIDIKAN SEKS BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS”, Jurnal Kependidikan, Vol. II No. 2 November 2014, hlm. 192-194.
[11] Cheta Nilawaty, “12 Cara Menyampaikan Pengetahuan Seksualitas ke Anak Berkebutuhan Khusus” https://difabel.tempo.co/read/1546712/12-cara-menyampaikan-pengetahuan-seksualitas-ke-anak-berkebutuhan-khusus/ diakses pada 02 Agustus 2024.
[12] Safrudin Aziz, “PENDIDIKAN SEKS BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS”, Hlm. 201.
[13] The Talk Institute, “Sex Education for Children with a Disability” https://www.thetalkinstitute.com/blog/sex-education-for-children-with-a-disability, diakses pada 03 Agustus 2024.