Views: 214
Solidernews.com –Pendidikan inklusif di Bali, bagaikan sebuah lukisan indah yang masih dalam tahap sketsa. Cita-citanya mulia; memberikan kesempatan belajar yang sama bagi semua anak, tanpa terkecuali. Namun, realitanya di lapangan masih jauh dari harapan. Berbagai hambatan masih terjadi dalam memastikan implementasinya. Hal ini menyisakan pertanyaan besar: Mungkinkah pendidikan inklusif di Bali benar-benar bisa terwujud?
Sejak tahun 2014 gaung program pendidikan inklusif di Provinsi Bali sudah sangat masif hingga akhirnya pemerintah provinsi Bali mendeklarasikan bahwa Bali sebagai salah satu provinsi terdepan di Indonesia yang telah menjalankan pendidikan inklusif. Pernyataan tersebut didukung oleh dibukanya sekolah berlebel inklusif sebanyak 94 sekolah yang terdiri dari 42 sekolah dasar, 29 sekolah menengah pertama, 14 SMA dan 9 SMK. Di Bali dalam catatan BPS terdapat sekitar 10.000 anak berkebutuhan khusus (ABK) usia sekolah yang berhak mendapatkan pendidikan. Namun, sampai hari ini hanya sebagian kecil yang benar-benar mengenyam pendidikan inklusif. Faktanya, masih banyak sekolah yang belum siap menerima ABK, baik secara infrastruktur maupun sumber daya manusia.
Kurangnya guru yang terlatih dalam menangani ABK menjadi salah satu hambatan utama. Selain itu, sekolah juga belum memiliki sarana dan prasarana yang memadai, seperti bidang miring untuk pengguna kursi roda, toilet ramah difabel, guiding blok sebagai petunjuk untuk difabel netra dan keterbatasan alat bantu belajar khusus sebagai penunjang proses pembelajaran.
Implementasi pendidikan inklusif di Bali tak hanya terhambat oleh keterbatasan fisik. Pola pikir masyarakat yang masih belum menerima ABK secara penuh juga menjadi tantangan besar. Stigma dan diskriminasi masih sering terjadi, membuat ABK dan orang tua mereka merasa enggan untuk mengakses pendidikan.
Pemerintah daerah pun belum sepenuhnya menunjukkan sebuah komitmen yang kuat dalam mendukung pendidikan inklusif. Anggaran yang dialokasikan masih sering kurang tepat sasaran, dan koordinasi antar instansi terkait pun belum berjalan dengan optimal.
Tercapainya pendidikan inklusif di Bali membutuhkan upaya kolektif dari berbagai pihak. Berikut beberapa solusi yang perlu dipertimbangkan:
- Peningkatan Kapasitas Guru: Memberikan pelatihan intensif bagi guru di sekolah inklusif untuk menangani ABK, serta membekali mereka dengan pengetahuan dan keterampilan yang relevan agar tidak melimpahkan segala urusan siswa ABK kepada guru pembimbing khusus.
- Pemenuhan Sarana dan Prasarana: Membangun infrastruktur sekolah yang ramah difabel, seperti ketersediaan bidang miring, guiding block, toilet khusus, dan alat bantu belajar.
- Perubahan Pola Pikir Masyarakat: Melakukan kampanye edukasi dan sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang inklusi dan menerima ABK dengan terbuka agar tidak ada lagi tindakan diskriminasi dalam bentuk verbal ataupun non-verbal.
- Komitmen Pemerintah: Meningkatkan anggaran dan efektifitas penggunaannya untuk mendukung pendidikan inklusif di Bali, serta memperkuat koordinasi antar instansi terkait agar tidak saling lempar tanggung jawab antara pemerintah dan instansi yang menerima mandat.
- Pemberdayaan Orang Tua: Memberikan pelatihan dan pendampingan kepada orang tua ABK agar mereka dapat membantu anak-anak mereka dalam proses belajar mengajar, serta membuka mindset para orangtua bahwa anak ABK ialah individu yang juga berhak mendapat perlakuan yang sama dengan anak pada umumnya.
Pendidikan inklusif bukan sekadar program, tetapi sebuah gerakan yang harus diwujudkan bersama. Dengan sinergi dan komitmen dari semua pihak, bukan mustahil pendidikan inklusif di Bali akan terwujud seperti cita-cita yang telah dipupuk sejak lama, membuka gerbang masa depan yang cerah bagi semua anak, tanpa terkecuali.[]
Penulis: Harisandy
Editor : Ajiwan Arief