Views: 52
Solidernews.com – Persoalan inklusivitas dalam pendidikan saat ini menjadi perhatian banyak pihak. Secara kultural, hak-hak difabel di pendidikan pun masih terancam akibat stigma yang mengakar, paham ableism yang bias normalisasi hingga segregasi antara sekolah khusus dan sekolah umum yang masuk dalam lingkar perdebatan tak berujung.
Program GOOD Sigab Indonesia mengadakan diskusi online dengan tema Pendidikan Inklusif pada hari Rabu, 13 Maret 2024 melalui zoom meeting. Peserta zoom yang cukup banyak hingga 170-an peserta berasal dari difabel, penggiat difabel, akademisi, dan praktisi pendidikan. Menghadirkan dua narasumber dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yakni Suharto, Ph.D. dan Ro’fah, Ph.D, serta moderator Ajiwan Arief mengajak peserta untuk menggali informasi dari kedua aktor yang konsen di dunia pendidikan inklusif.
Joni Yulianto selaku Direktur Sigab memberikan penjelasan di awal sambutannya tentang kampus UIN Sunan Kalijaga sebagai kampus pertama yang mengimplementasikan pendidikan inklusi di Indonesia sejak 2010 dengan nama Pusat Studi Layanan Disabilitas (PSLD). Hadirnya kedua narasumber kali ini sudah tepat untuk ruang belajar bersama soal pendidikan inklusi yang mana diketahui bersama bahwa dari waktu ke waktu masih ditemukannya pelanggaran yang terjadi di pendidikan dasar hingga tinggi bagi difabel.
Paparan Ro’fah menjelaskan tentang bagaimana proses pendidikan inklusi muncul. Istilah baru untuk pendidikan inklusi ada sejak tahun 1990 dengan adanya Deklarasi Salamanca.
“Kampus UIN ada sekitar 125 mahasiswa difabel dengan berbagai jenis difabelnya,” terang Ro’fah.
Suharto mengakui dirinya mengetahui tentang pendidikan inklusif sejak mahasiswa. Ia menegaskan bahwa pendidikan inklusif sebagai solusi dalam mengatasi masalah segregasi. Baginya suatu pelaksanaan pendidikan inklusif bukan sekedar metode pendekatan pendidikan, melainkan suatu bentuk implementasi filosofi yang mengakui kebhinekaan dan keragaman antar manusia.
Selama proses diskusi berlangsung ada banyak masukan dan pertanyaan yang muncul dari para peserta. Salah satunya seorang pegiat difabel, Setya Adi Purwanto mengungkapkan bahwa bicara pendidikan inklusi harus mampu memberikan kemerdekaan bagi peserta didik. Selaras dengan pernyataan tersebut, Ro’fah menyampaikan pengalamannya dengan masih adanya temuan di sekolah luar biasa (SLB) yang tidak menerima jenis difabel tertentu. Hal ini tentu sangat berseberangan dengan konsep inklusi yang seharusnya difabel berhak mendapatkan pendidikan yang sama dengan lainnya.
Renny Indrawati, peserta sekaligus orang tua dari anak difabel juga ikut menyampaikan betapa berat dan harus berjuang untuk mendampingi putranya selama bersekolah agar putranya dapat menerima informasi dan pengetahuan dengan baik. Reny mengakui harus mau menjadi guru bayangan saat sekolah tidak ada fasilitas shadow teacher untuk putranya. Itulah mengapa ketika anak difabel mendaftar di sekolah umum (bukan SLB) ada penolakan pihak sekolah karena belum siap dari sisi ketersediaan shadow teacher.
Selama diskusi praktik ketidakberpihakan sekolah atau pemerintah tentang pendidikan inklusi muncul dalam kolom chat atau pertanyaan langsung peserta. Suharto dan Ro’fah menyampaikan hal yang sama bahwa kerja-kerja advokasi untuk menyuarakan isu pendidikan inklusif itu tidak boleh berhenti, memang berat selama belum terwujudnya bentuk inklusi sebenarnya.
“Masalah pendidikan inklusi memang hal yang mudah dipelajari namun berat untuk diimplementasikan. Bicara inklusi soal itu hati dan persepsi”, jelas Ro’fah.
Sebagai penutup, Ajiwan memberikan kesimpulan bahwa masalah pendidikan inklusi akan terus ada kapanpun dan bagaimanapun bentuknya, baik di ranah pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Pendidikan inklusif yang diperjuangkan selayaknya menjadi pendidikan yang benar-benar terbuka dan tentu dapat dinikmati banyak kalangan.[]
Reporter : Erfina
Editor : Ajiwan Arief