Views: 6
Solidernews.com – Pemilu telah usai. Sebentar lagi sepertinya kita akan memiliki pemimpin dan perwakilan yang baru. Mungkin akan ada wajah-wajah baru yang mewarnai parlemen. Bisa jadi wajah-wajah lama kembali menduduki tahta. Baik presiden atau pun perwakilan rakyat, mereka semua adalah produk demokrasi.
Ketika kita berbicara tentang demokrasi, berarti kita bicara tentang kedaulatan rakyat, katanya.
Katanya lagi dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Pertanyaannya, rakyat yang mana? Rakyat mana yang betul-betul memiliki kedaulatan dan kekuasaan untuk mengubah aturan sehingga mereka dapat tersejahterakan?
Atau mungkin embel-embel demokrasi yang banyak digembar-gemborkan oleh mereka para elit hanya kedok belaka untuk menghisap saripati kehidupan rakyat?
Jawabannya ada pada kenyataan yang berbicara. Kita sebagai hamba dan rakyat jelata tak mampu banyak bicara. Bila kita terlalu cerewet dan ada “pihak langit” yang tersinggung, maka dengan gampang kita akan dijebloskan ke dalam buih. Bila kita hanya diam membungkam, kita dianggap lemah dan tidak mau berbuat sesuatu demi negara ini.
Serba salah memang. Serba susah, tentunya. Katanya para pemimpin dan perwakilan itu pilihan kita sebagai rakyat. Tapi kok, hidup gini-gini aja ya? Beras semakin mahal, Biaya kesehatan semakin tidak terjangkau, buat ongkos pendidikan apalagi.
Tapi mereka yang katanya pemimpin dan perwakilan kok semakin kaya aja ya. Beras mereka tumpuk, kesehatan mereka dijamin negara sampai-sampai perut mereka bisa setinggi puncak jaya wijaya Papua. Bahkan buat pendidikan, anak mereka bisa sampai ke ujung dunia sekolahnya.
Hal lain yang juga jadi kegamangan rakyat kecil adalah soal jual beli suara. Rakyat tuh bingung. Nggak nerima amplop, tapi mereka juga butuh buat beli beras dan popok anak, nanti juga dianggapnya nolak rejeki. Diterima, malah dituduh sebagai pelaku politik kotor yang menjual suara hanya untuk kesenangan sementara.
Ini kita masih ngomong soal rakyat secara umum, ya. Gimana dengan rakyat jelata yang miskin dan difabel?
Subhanallah, semakin rumit dan kompleks kan tentunya ?
Katanya difabel banyak jumlahnya, tapi yang terdaftar sebagai Daftr Pemilih Tetap (DPT) dan kenyataan di lapangan masih sangat sedikit yang terdata.
Sebagaimana yang dilansir dari kompas.id, Hal ini tergambar dalam survei Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia, Pusat Rehabilitasi YAKKUM, serta Formasi Disabilitas yang melibatkan 479 responden di 32 provinsi di Indonesia. Sebanyak 341 responden mengaku pernah didata oleh petugas sebagai pemilih untuk Pemilu 2024, tetapi ada 68 responden menyatakan tidak pernah didata, sisanya tidak tahu atau tidak menjawab. Setelah didata pun masih didapati bahwa difabel yang tercatat sebagai pemilih difabel hanya 35,7 persen, sementara 44,9 persen terdata sebagai pemilih non-difabel, dan sisanya mengaku tidak mengetahui status mereka sebagai pemilih. Padahal, sesuai aturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 22 Tahun 2022,
mereka mempunyai hak atas proses pemilihan yang inklusi dan rahasia (Banyak Penyandang Disabilitas Belum Terdaftar sebagai Pemilih Difabel. Diakses dari : https://www.kompas.id/baca/humaniora/2024/01/18/banyak-difabel-belum-terdaftar-sebagai-pemilih-difabel-untuk-pemilu-2024, Pada Ahad, 10 Maret 2024).
Dari sini, kita sudah bisa melihat bahwa sedari proses memang sudah ada ketidakpastian bagi para pemilih difabel.
Lalu, bagaimana soal TPS dan aksesibilitasnya? Dilansir dari ibtimes.id, salah satu permasalahan utama yang terungkap adalah lokasi Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang tidak mudah diakses bagi difabel. Gedung atau bangunan tempat TPS berada seringkali tidak dilengkapi dengan akses tangga yang memadai, menyulitkan akses bagi difabel. Hal ini mengakibatkan banyak pemilih difabel harus mengandalkan bantuan petugas untuk melakukan pencoblosan. Bahkan, ada kasus di mana pemilih difabel terpaksa harus memilih di luar bilik suara dan di luar TPS karena kesulitan akses, yang tentunya melanggar prinsip-prinsip demokrasi.
Masalah lainnya adalah ketiadaan alat bantu pencoblosan yang sesuai bagi pemilih difabel sensorik penglihatan/difabel netra Meskipun ada template braille
untuk beberapa jenis kertas suara, namun kurangnya persiapan dalam desain kertas suara membuat pemilih dengan hambatan penglihatan tetap membutuhkan bantuan
orang lain untuk melakukan pencoblosan. Kasus di mana petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) hanya memperbolehkan pemilih difabel sensorik netra untuk mencoblos dua surat suara saja, dengan alasan peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tidak mengizinkannya, juga menunjukkan ketidakramahan
terhadap difabel.
Selain itu, kurangnya pembekalan bagi petugas KPPS terhadap kelompok pemilih rentan, termasuk difabel, juga menjadi masalah serius. Banyak petugas KPPS
yang tidak mampu memberikan pelayanan yang memadai bagi pemilih difabel, bahkan enggan memberikan pelayanan kepada mereka. Ini tercermin dari temuan dibeberapa tempat di Nusa Tenggara Timur dan Kota Kupang, di mana petugas KPPS menunjukkan sikap yang tidak ramah terhadap pemilih difabel.
Di sisi lain, meskipun ada upaya untuk mengakomodir pemilih difabel mental psikososial dengan melakukan pemungutan suara di panti rehabilitasi terpisah,
namun kerahasiaan pilihan dari para pemilih tidak dapat terjamin. Ini menunjukkan bahwa masih ada pekerjaan rumah yang harus dilakukan dalam memastikan
hak politik difabel terjamin sepenuhnya (Catatan Pemilu 2024: Masih Belum Inklusif bagi Penyandang Disabilitas: di akses dari : https://ibtimes.id/catatan-pemilu-2024-masih-belum-inklusif-bagi-penyandang-disabilitas/, pada Ahad, 10 Maret 2024).
Kalau sudah begini, Siapa yang salah?
Kepada siapa kita harus menuntut?
Mungkin sebagai hamba plus rakyat jelata plus difabel, tempat yang paling aman untuk berbicara dan berkeluh kesah hanya kepada Tuhan yang Maha Kasih tanpa pilih kasih. Karena hanyalah Tuhan tempat bergantung segala sesuatunya dan tidak sembarang menghukum hambanya hanya karena salah kata dan salah kaprah.
Sebelum berhenti membaca, penulis mempersilahkan para pembaca menikmati sebuah puisi yang dibuat oleh penulis berdasarkan kontemplasi dan refleksi akan kenyataan yang terpampang dengan gamblang dan telanjang di depan mata :
Pemimpin Sejati ataukah hanya Raja yang bermonarki
Aku hanyalah rakyat yang hanya memiliki kejelataan
Aku dan kekosongan adalah satu kesatuan
Tidak memiliki apa-apa adalah aku adanya
Kepapahan merupakan identitas yang terlekatkan di badan
Aku mungkin bahkan tak pantas menggunakan kata “aku”, hanya “saya”
Aku hanyalah alat kekuasaan yang gampang
Mereka dapat berbuat sesuka hati atas namaku
Mereka berkoar-koar pun atas namaku, katanya
Mereka memperjuangkan hak-hakku, bilangnya
Setiap ada peperangan akulah yang paling depan
Yang mati, pastilah aku duluan
Mereka bila menang akan merayakan
Aku sebagai rakyat tak kebagian perayaan
Bila mereka kalah
Akulah yang menderita
Aku tak tahu mereka benarkah calon pemimpin sejati
Ataukah calon raja yang nantinya hanya tahu bermonarki tanpa hati.[]
Penulis: ZAF
Editor : Ajiwan Arief