Views: 74
Solidernews.com – Penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia kali ini menarik perhatian publik atas temuan yang menggelisahkan terkait kurangnya inklusivitas bagi pemilih difabel. Hal ini menimbulkan pertanyaan yang mendalam tentang sejauh mana kita telah mewujudkan prinsip kesetaraan dan keadilan dalam proses demokrasi.
Data yang dirilis oleh Badan Pengawas Pemilu mengungkapkan bahwa ada 12.884 kasus di mana tempat pemungutan suara (TPS) tidak menyediakan alat bantu bagi pemilih difabel. Ini mencerminkan sebuah masalah yang serius dalam sistem pemilihan umum kita. Sebagai negara demokratis, kita seharusnya memastikan bahwa setiap warga negara, termasuk mereka yang memiliki hambatan fisik atau mental, memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam proses politik.
Kurangnya aksesibilitas di TPS bagi pemilih difabel bukan hanya masalah teknis, tetapi juga mencerminkan kurangnya kesadaran dan perhatian terhadap hak-hak dasar individu. Ini menunjukkan bahwa masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan dalam membangun kesadaran akan pentingnya inklusi dan keberagaman dalam masyarakat kita.
Selain itu, temuan ini juga menggarisbawahi perlunya perbaikan dalam sistem pengawasan dan penegakan hukum terkait perlindungan hak-hak pemilih difabel. Penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran aksesibilitas di TPS menjadi kunci untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan.
Dalam menghadapi persoalan ini, diperlukan kolaborasi antara pemerintah, lembaga pemantau pemilu, organisasi masyarakat sipil, dan masyarakat umum untuk memastikan bahwa setiap langkah yang diambil bertujuan untuk meningkatkan inklusivitas dan keadilan dalam pemilihan umum. Ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga tanggung jawab kita semua sebagai bagian dari masyarakat yang demokratis dan inklusif.
Kekhawatiran atas Kurangnya Inklusivitas dalam Pemilu di Jawa arat
Lebih lanjut di wilayah Jawa Barat, terungkap angka yang mengkhawatirkan terkait kurangnya inklusivitas dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Menurut data yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Pemilu, dari 2.794 TPS yang disurvei, mayoritas dari mereka tidak menyediakan alat bantu yang memadai bagi pemilih difabel, terutama bagi difabel netra.
Berbagai indikator kurangnya aksesibilitas tersebut sangat mengkhawatirkan. Mulai dari pintu masuk yang sempit, keberadaan parit di sekitar TPS, hingga tangga menuju TPS yang tidak ramah bagi pemilih difabel. Bahkan, ada kasus di mana alat bantu bagi pemilih difabel netra sama sekali tidak tersedia. Selain itu, lokasi TPS yang berada di lantai 2, keberadaan undakan, selokan, atau bahkan beberapa TPS yang terletak di atas panggung atau mengalami genangan akibat banjir semakin memperburuk akses bagi difabel.
Konklusi dari temuan ini sungguh memprihatinkan dan menyoroti bahwa prinsip inklusivitas dalam pemilihan umum masih jauh dari harapan. Ini tidak hanya masalah teknis, tetapi juga mencerminkan ketidakpedulian terhadap hak-hak dasar individu yang seharusnya dijamin dalam proses demokrasi. Langkah-langkah konkret dan serius perlu segera diambil oleh pihak terkait, baik itu pemerintah, lembaga pemantau pemilu, maupun masyarakat sipil, untuk memastikan bahwa hak-hak pemilih difabel terlindungi dan dihormati dengan menyediakan akses yang layak dalam proses demokrasi ini.
Sebagai penulis, saya merasa bahwa ini adalah panggilan untuk bertindak. Kita tidak boleh membiarkan ketidaksetaraan ini terus berlanjut di dalam sistem demokrasi kita. Setiap warga negara, tanpa terkecuali, memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam proses politik. Kita perlu bergerak bersama-sama untuk memperbaiki kekurangan ini dan memastikan bahwa pemilu yang akan datang benar-benar inklusif dan mewakili seluruh rakyat Indonesia.[]
Penulis: Hasan Basri
Editor : Ajiwan Arief