Views: 0
Solidernews.com,- Jakarta. Pada 2-3 April lalu, Global Disability Summit (GDS) ke 3 digelar kembali di Jerman. Forum internasional itu dihadiri 4.700 partisipan dari 160 negara yang diantaranya ada 810 negara yang menyatakan komitmennya dalam pemenuhan hak-hak difabel. Namun, sayangnya pemerintah Indonesia absen dalam pembubuhan komitmen dalam GDS yang menimbulkan pertanyaan, terutama para aktivis Gerakan difabel.
Pada 3 April, Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia, membahasnya dalam siaran langsung di platform Instagram berbarengan dengan diselenggarakannya GDS di Berlin. Salah satu narasumber yang bergabung secara langsung di forum GDS, Rani Ayu Hapsarie mengonfirmasi bahwa tidak ada satupun perwakilan dari pemerintah Indonesia yang ia jumpai di lokasi GDS.
“Saya coba muter-muter di sela sesi untuk mencari perwakilan pemerintah Indonesia, kok tidak ada,” tuturnya.
Ranie menjelaskan hal tersebut menjadi preseden buruk bagi pengarusutamaan isu difabel dalam pembangunan Indonesia yang lebih inklusif. Komitmen yang bubuhkan menjadi bukti bagi setiap negara untuk menunjukkan prioritas ke depan. Di satu sisi, sebenarnya menurut Ranie, gerakan organisasi difabel di Indonesia telah banyak melakukan perubahan di masing-masing daerah yang semestinya bisa ditangkap pemerintah Indonesia sebagai dukungan kuat bagi terwujudnya inklusivitas.
“Teman-teman gerakan difabel di daerah itu banyak melakukan perubahan. Tapi ini tidak ditangkap oleh pemerintah dengan baik, ini tuh sebenarnya dukungan,” tandas Perempuan yang bergabung mewakili PR Yakkum.
Wahyu Susilo, Direktur Migrant Care yang mengikuti proses GDS secara daring menyampaikan forum tersebut sangat strategis bagi gerakan politik isu difabel dalam konteks internasional. Menurutnya forum tersebut menguatkan tidak hanya di level pemerintah di masing-masing negara, tapi juga di level lokal sebagai daya dorong untuk melakukan perubahan.
Membaca situasi Indonesia hari ini
Wahyu melanjutkan, absennya pemerintah Indonesia dalam forum GDS bisa dilihat dari situasi kebijakan yang saat ini diterapkan. Situasi pertama, menurutnya transisi pemerintahan menjadi tantangan bagi keberlanjutan pengarusutamaan isu difabel di level pemerintah. Fase transisi dari Jokowi ke Prabowo memungkinkan adanya keterputusan koordinasi dan informasi, bahkan pengetahuan yang selama ini terus dikampanyekan oleh gerakan difabel sebagai sebuah pengetahuan bagi pemerintah.
“Ketika ini adalah orang baru dan belum memahami konteks isu difabel, ini jadi tantangan bagi kita. Artinya kita perlu mengajari mereka lagi apa yang kita perjuangkan, khususnya isu difabel,” jelasnya.
Situasi kedua, kebijakan efisiensi anggaran menurut Wahyu memungkinkan isu-isu di luar isu prioritas pemerintah luput dari perhatian. Ia berpendapat situasi ini perlu menjadi perhatian serius bagi gerakan difabel difabel di daerah untuk menyesuaikan kembali strategi dan upaya-upaya yang sedang dilakukan.
“Efisiensi anggaran tentu berdampak, terutama bagi gerakan difabel yang selama ini berkolaborasi dengan pemerintah untuk mengubah strategi advokasinya,” lanjutnya.
Wahyu melanjutkan, absennya pemerintah Indonesia perlu ditindak lanjuti. Tidak hanya organisasi yang tergabung dalam forum GDS di Berlin kemarin, tapi perlu menjadi forum lanjutan konsolidasi untuk mengonfirmasi perihal komitmen. Informasi yang didapat Solider, forum GDS di Berlin menghasilkan draft dua dokumen komitmen hasil dari agenda 3 tahunan tersebut, yakni Amman-Berlin Declaration on Global Disability Inclusion dan Civil Society Declaration.
Dari Berlin ke Jakarta, tindak lanjut setelah komitmen
Pada Rabu, 18 Juni, SIGAB Indonesia mendapat undangan untuk menghadiri tindak lanjut GDS yang diselenggarakan di Rumah Dinas Kedutaan Jerman. Selain SIGAB ada juga organisasi difabel lainnya seperti Wahana Indonesia Inklusif (WII), Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) dan Lembaga seperti Ombudsman, KND, Bappenas dan lainnya.
Dua dokumen komitmen GDS menjadi salah satu pembahasan di dalam forum tersebut. Salah satu poin di dalam Amman-Berlin Declaration on Global Disability Inclusion misal, tertera bahwa adanya komitmen untuk memastikan setidaknya 15 persen dari program pembangunan internasional yang dilaksanakan di tingkat negara memiliki tujuan untuk mengarusutamakan inklusi disabilitas (15 persen untuk 15 persen). Pasalnya, merujuk kembali situasi efisiensi anggaran, komitmen pendanaan menjadi tantangan tersendiri.
Namun, Tolhas Damanik, Direktur Wahana Indonesia Inklusif yang juga menghadiri forum tersebut berpendapat situasi kebijakan efisiensi anggaran tidak harus menghilangkan semangat dari poin komitmen tersebut. Selain itu, dia menyarankan agar isu data difabel juga perlu mendapatkan dorongan yang kuat.
“Data, ini jadi menarik yang jadi isu global juga, termasuk di Indonesia. Single data yang sedang dikerjakan pemerintah Indonesia, ini perlu kita dorong dan kawal,” pungkasnya.
Jonna Aman Damanik, Komisioner Komisi Nasional Disabilitas (KND) mengatakan pihaknya turut mengawal isu pendataan dengan mengadvokasi lembaga pemerintah dan sebagai uji coba di wilayah Bogor untuk pemutakhiran basis data Data Terpadu Sosial Inklusif Mandiri (DTSIM). Selain itu pihaknya tengah melakukan pendiskusian terkait dengan tindak lanjut dari GDS bersama Menteri Sosial.
Jona juga menegaskan, terlepas dari ketidakhadiran pemerintah Indonesia di Forum GDS, pemerintah tetap komitmen. Ia berharap gerakan difabel dan masyarakat sipil bisa melihat praktik-praktik yang selama ini mendukung pengarusutamaan isu difabel.
“Tidak hanya KND, di sini juga ada Bappenas sebagai representasi pemerintah. Saya rasa ini bagian dari komitmen pemerintah,” tandasnya.[]
Redaksi