Views: 12
Solidernews.com – Ada hal yang penulis sebut sebagai sebuah satire, atau mungkin sarkasme yang berarti sindiran ketika mendengar dan melihat pembahasan tentang identitas difabel mental psikososial atau Orang Dengan Disabilitas Psikososial (ODDP) yang tinggal di desa atau kelurahan, sedangkan ia tidak terdata (secara pilah). Dikatakan bahwa mereka tidak mendapat perhatian seperti halnya hewan ternak sebagai benda kepemilikan warga. Tapi itu benar, jika hewan ternak milik warga seperti sapi dan kambing saja terdata di desa/kelurahan. Mengapa orang dengan difabel mental psikososial tidak terdata?
Pertanyaan itu sangat menggelitik. Setidaknya publik jadi paham bahwa pada mereka para difabel mental psikososial menempel stigma dan mereka mengalami apa yang disebut multidiskriminasi. Demikian yang dikatakan oleh Edy Supriyanto, Ketua Paguyuban Sehati yang bertempat di Sukoharjo. Pernyataan Edy dikemukakan saat dirinya memaparkan materi tentang kelurahan siaga sehat jiwa yang berbasis masyarakat, sebuah praktik baik yang telah ia lakukan bersama timnya melalui program Dignity dukungan project INKLUSI pada diskusi paralel Festival HAM, Rabu, 31/7.
Mengutip catatan yang dipaparkan, kondisi kesehatan jiwa di Indonesia saat ini menunjukkan bahwa Prevalensi Gangguan Jiwa : skizofrenia 7 per 1000 penduduk (Riskesdas 2018), depresi 6,1%, kecemasan 6,3% pada populasi dewasa, skizofrenia/psikosis yang pernah dipasung selama tiga bulan terakhir di wilayah perkotaan sebesar 31,1% dan di pedesaan 31,8% . Prevalensi gangguan jiwa pada usia anak 5-14 tahun adalah 9,8% (Riskesdas) 2018.
Sementara akses ke layanan kesehatan jiwa mengalami beberapa kendala yakni ;
Keterbatasan fasilitas kesehatan jiwa terutama di daerah pedesaan/kelurahan! Banyak wilayah yang tidak memiliki akses mudah ke layanan kesehatan jiwa. Kekurangan tenaga kesehatan profesional di bidang kesehatan jiwa seperti 600 psikiater dan 2000 psikolog klinis dan perawat jiwa, masih jauh dari kebutuhan. Rumah sakit yang memiliki layanan kesehatan jiwa masih sangat terbatas, sebagian tersebar di Pulau Jawa.
Stigma dan diskriminasi. Stigma terhadap orang dengan gangguan jiwa masih kuat di masyarakat sehingga membuat enggan mencari bantuan medis serta mengalami diskriminasi di lingkungan sosial tempat ia tinggal dan di tempat kerja. Dampak sosial dan ekonomi ini pun akan berdampak lagi pada kesehatan jiwa, alami kekambuhan dan kehilangan pekerjaan. Ketika ODDP habis direhabilitasi di RSJ, keluarga menolak, ia juga kehilangan pekerjaan. Sebagai contoh : peristiwa dua tahun lalu seorang ASN Kementerian Keuangan di pecat. Ia yang didiagnosis memiliki gangguan kesehatan jiwa lalu menggugat dan ada dukungan sehingga ia bisa bekerja lagi.
Di desa, persoalan yang disandang oleh ODDP hampir sama yakni tidak terdata. Apa yang terjadi saat ini terkait kondisi disabilitas psikososial di desa/kelurahan adalah mereka mengalami diskriminasi baik dari keluarga dan masyarakat, data terpilah atau data profil di kelurahan juga belum ada, kesulitan mengakses layanan dasar, dokumen kependudukan, pendidikan kesehatan, livelihood atau mata pencaharian, keagamaan, dan sosial budaya.
Di samping itu orangtua dan keluarga, masyarakat desa/kelurahan masih membutuhkan pengetahuan dan pemahaman tentang kesehatan jiwa. ODDP sulit mendapatkan layanan dasar dan mereka hidup dalam kemiskinan.
Berkolaborasi dengan Stakeholder
Ada program pemerintah yang sudah berjalan beberapa tahun lalu yakni kelurahan siaga sehat jiwa. Kelurahan siaga sehat jiwa merupakan suatu upaya layanan program kesehatan jiwa berbasis masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat desa terhadap risiko dan bahaya kesehatan jiwa serta meningkatkan kesadaran masyarakat desa dalam melaksanakan perilaku sehat jiwa.
Sedang tujuan dibentuknya kelurahan Sehat Jiwa untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan kesetiaan jiwa, menyediakan dukungan dan layanan bagi individu dengan gangguan jiwa, menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan jiwa.
Sehati melalui program Dignity kemudian bekerja sama dengan Tim Pelaksana Kesehatan Jiwa Masyarakat (TPKJM) lantas Paguyuban Sehati membentuk forum yang terdiri dari berbagai stakeholder, di tingkat akar rumput juga membentuk self help group atau kelompok swabantu.
Lantas Apa Peran Komunitas?
Peran komunitas dalam kelurahan siaga sehat jiwa banyak sekali yakni yang mesti dilakukan: identifikasi dan dukungan awal, fasilitasi akses kesehatan (rujukan dan akses pendampingan), penguatan kapasitas, edukasi dan penyuluhan, dukungan psikososial, promosi kesehatan jiwa di sekolah atau di tempat kerja, kolaborasi dengan pihak lain, pemanfaatan teknologi dan media sosial (kampanye online, aplikasi dan layanan digital).
Sedangkan strategi implementasi kelurahan siaga sehat jiwa adalah : kolaborasi dengan puskesmas dan organisasi penyandang disabilitas lokal yang bekerja sama dengan fasilitas kesehatan dan organisasi untuk memaksimalkan sumber daya. Juga pemanfaatan tentang informasi untuk edukasi dan konseling menggunakan media sosial dan aplikasi untuk edukasi dan layanan konseling.
Berkaitan dengan tantangan, ada pula berjejer masukan yakni data pilah disabilitas, aksesibilitas dan akomodasi yang layak bagi semua, partisipasi bermakna, peningkatan kapasitas : mengatasi stigma dan diskriminasi melalui kampanye edukasi untuk mengurangi stigma, meningkatkan kesadaran dan edukasi kesehatan jiwa dan melakukannya terus menerus ke komunitas
Kedua adalah prioritas perlindungan dengan menghapuskan segala bentuk pasung dan pembatasan sosial, memeriksa, perlindungan sosial berkelanjutan, pengorganisasian sumber daya masyarakat dengan memanfaatkan sumber daya lokal dan legislasi organisasi difabel, serta peningkatan partisipasi.[]
Reporter: Astuti
Editor : Ajiwan