Views: 28
Solidernews.com – Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional/International Women’s Day (IWD) 2024, Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah dalam Program Inklusi bekerjasama dengan DPP IMM DI Yogyakarta akan menggelar Webinar Inspiring Inclusion: Aksi Bersama Pengarusutamaan GEDSI (Gender Disability Social Inclusion) Menuju Pembangunan Inklusif. Diskusi dilakukan pada tanggal 6 Maret 2024 melalui zoom meeting yang menghadirkan tiga narasumber yakni Tri Hastuti Nur Rochimah (Sekretaris PP ‘Aisyiyah dan Koordinator Program Inklusi ‘Aisyiyah), Suharto (Ketua Dewan Pengurus Sigab Indonesia), dan Alya Zahra Sabira (National Gender Youth Activist UNWOMEN dan Youth Years Intern Ashoka).
Diskusi kali ini membahas tiga isu yang diangkat oleh narasumber yang menitikberatkan pada perempuan. Peserta diskusi berjumlah sekitar 240 orang yang terdiri dari perwakilan berbagai daerah di Indonesia. Moderator Nala Syifa Dewanti dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Sleman memberikan kesempatan kepada Suharto sebagai narasumber pertama. Suharto menyampaikan isu hak atas pekerjaan bagi perempuan disabilitas: problem dan peluang. Materi diawali dengan jenis difabel dan hambatan yang dihadapi bagi difabel perempuan. Sebagai contoh, difabel perempuan yang mengalami diskriminasi ganda terkadang mengalami hambatan akses dalam keseharian. Kekerasan seksual yang diterima difabel perempuan terkadang masih dijumpai di sekitar kita, bentuk kekerasan pun bisa berupa fisik dan nonfisik.
Lalu tentang peluang kerja bagi difabel sangat terbatas, ada persepsi difabel tidak mampu dalam pekerjaan. Menurut Suharto, pendidikan sangat berpengaruh dalam peluang kerja bagi difabel. Ada model pendidikan di sekolah luar biasa (SLB) yang masih terbatas untuk menyiapkan siswa siap kerja. SLB seharusnya bisa melakukan pendidikan vokasi kekinian yang bisa disesuaikan dengan kondisi saat ini. Aisyiyah memiliki bidang usaha di pendidikan SLB bisa memulai dengan hal ini untuk memberikan akses bagi difabel siap kerja.
Difabel yang bekerja tidak semata-mata karena income namun ada nilai yang lebih dari itu sebagai contoh seorang difabel penyiar radio yang gajinya sedikit hanya cukup untuk transportasi, namun ada kebanggan difabel dapat bekerja dan diakui dengan pekerjaannya.
“Perusahaan yang mempekerjakan difabel, saya kira perlu di blow up dan sosialisasikan agar perusahaan lain menempuh jalan yang sama”, kata Suharto.
Inklusifitas yang perlu diterapkan di lingkungan kerja dengan memastikan adanya 4 A yaitu Atittude, Aksesibilitas, Akomodasi dan Asimilasi. Kerjasama yang baik perlu diperhatikan pekerja difabel dan nondifabel. Lingkungan kerja juga mesti menghindari sikap bully, diskriminasi pekerjaan dan gaji pada pekerja difabel.
Tri Hastuti selaku narasumber kedua menyampaikan isu gerakan perempuan paska pemilu: mengawal kebijakan dan penganggaran berperspektif GEDSI. Pemilu sudah berakhir namun yang ditekankan oleh Tri Hastuti bahwa gagasan dan usulan kita sangat penting disampaikan. Dokumen perencanaan yang saat ini disusun, baik jangka menengah dan panjang, perlu adanya partisipasi aktif dari kelompok perempuan khususnya difabel perempuan. Sepakat dengan yang disampaikan oleh Suharto, perlu mengecek di wilayah masing-masing apakah sudah ada peluang pekerjaan swasta dan pemerintah untuk melibatkan pekerja difabel 1 % dan 2 % yang sudah tertuang dalam undang-undang.
Pemerintah daerah saat ini sedang persiapkan RPJMD bersamaan dengan persiapan Pilkada yang akan dilaksanakan pada akhir tahun 2024. Gerakan perempuan Aisyiyah yang nantinya akan bermitra dengan organisasi lain, perlu mengawal proses tersebut. Menurut Tri Hastuti, Konsolidasi dengan melakukan pemberdayaan perempuan hal yang sama pentingnya dengan hal yang dilakukan politisi di tingkat kebijakan.
“Kita sebagai organisasi perempuan muslim kalau tidak melakukan apa-apa maka kita akan tertinggal. dakwah sebenarnya adalah dakwah yang berpeluh-peluh”, tandas Tri Hastuti.
Pencapaian pembangunan yang berkelanjutan akan sangat penting menitikberatkan perspektif GEDSI. Kita perlu mempelajari implementasinya sejak di tingkat desa. Kader-kader perempuan di desa bisa menangkap isu GEDSI agar terimplementasi di program-program desa dengan memanfaatkan dana desa.
Aliya Zahra mewakili generasi muda yang menitikberatkan isu pelibatan perempuan muda untuk mainstreaming GEDSI Perempuan. Kegiatan yang dilakukan di Ashoka bermitra dengan Aisiyah untuk menyuarakan GEDSI.
“Aku sudah enam tahun lamanya berkegiatan untuk menyuarakan hak perempuan yang saat itu aku masih lima belas tahun melihat banyak teman sekolahku melakukan perkawinan anak,”ungkap Aliya.
Aliya melihat adanya fakta kesenjangan gender di Indonesia yaitu kekerasan terhadap perempuan yang terus meningkat dan kepemimpinan perempuan yang masih kurang terwakili di posisi strategis baik sektor swasta pemerintahan atau pemerintahan. Menurutnya perlunya perspektif GEDSI untuk bisa menciptakan kesetaraan gender, meningkatkan partisipasi perempuan, pengarusutamaan dalam kebijakan atau program dan utamanya menciptakan inklusi sosial.
Tentu dalam pelaksanaan implementasi GEDSI memiliki berbagai tantangan yaitu pandangan tradisional terkait peran dan tanggung jawab gender, akses pendidikan bagi perempuan yang masih terbatas, ditemukan kasus kekerasan dan perdagangan manusia (perempuan). Partisipasi perempuan muda yang dapat dilakukan saat ini ialah dengan pelibatan aktif dalam politik serta pembangunan untuk mengambil kebijakan yang berpihak pada kesetaraan gender. Perempuan juga sebagai agent of change yang memberikan semangat perubahan untuk berkontribusi dalam mencapai kesetaraan. Pemanfaatan media sosial juga dapat dilakukan untuk menyebarkan informasi dan mobilisasi dukungan untuk isu GEDSI.
Peserta perwakilan Maluku menanyakan mana yang lebih penting pendidikan yang memaksimalkan sekolah inklusi atau memaksimalkan SLB. Soeharto memberikan tanggapan yang paling penting yakni pendidikan inklusi untuk bisa dilakukan. Kesempatan untuk bisa mengembangkan diri bagi difabel sekolah berbaur dengan yang nondifabel. Iklim inklusi juga akan terbentuk di dalamnya. Dari diskusi online ini dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah pengarusutamaan GEDSI dilakukan secara kolektif dan berkelanjutan supaya isu tersebut dapat meningkatkan pemenuhan hak bagi semua.[]
Reporter: Erfina
Editor : Ajiwan