Views: 19
Solidernews.com – Di era kemajuan global, setiap langkah perubahan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk mereka yang hidup dengan difabel. Memahami konsep difabel dengan tepat bukan hanya menjadi keharusan, melainkan juga menjadi pondasi yang kokoh bagi kebijakan yang adil dan inklusif. Saya bertujuan untuk menelusuri secara mendalam esensi dari konsep difabel, dengan harapan dapat menjelaskan bagaimana pemahaman yang komprehensif akan membentuk dasar yang lebih solid bagi kebijakan yang akan datang. Dengan menggali setiap sudut pandang konsep ini, kita dapat memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak hanya mencerminkan kebutuhan nyata, tetapi juga menghormati hak-hak setiap individu dengan difabel.
Secara umum difabel/disabilitas merujuk pada berbagai gangguan atau masalah yang terkait dengan struktur tubuh normal, yang pada gilirannya dapat menghambat fungsi tubuh secara optimal (Orto & Power, 2007). Gangguan ini meliputi beragam kondisi, mulai dari masalah pendengaran, penglihatan, kognitif, emosional, hingga motorik. Dalam kategori gangguan penglihatan, misalnya, kita dapat menemukan berbagai tantangan, seperti penglihatan kabur, buta warna, dan kebutaan. Yang tampak sepele bagi beberapa orang, mungkin menjadi batasan yang signifikan bagi yang lain.
Menurut definisi yang diutarakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia, difabel mencakup segala bentuk keterbatasan yang dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam beraktivitas dan berpartisipasi dalam lingkungan sosial. Dari masalah pendengaran, penglihatan, hingga keterbatasan kognitif, setiap varian difabel membawa tantangannya semdiri bagi individu yang mengalaminya.
Namun, pada kenyataannya, definisi ini juga telah menimbulkan ambigu dalam penafsiran konsep difabel. Banyak yang terjebak pada sudut pandang yang sempit, melihat disabilitas hanya sebagai masalah yang harus diselesaikan dengan segera, tanpa memperhitungkan keragaman perspektif yang ada.
Sebagai contoh, Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 di Indonesia mendefinisikan penyandang disabilitas sebagai individu yang menghadapi beragam hambatan fisik, intelektual, atau mental dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Namun, di balik definisi ini, masih terbuka ruang untuk memahami disabilitas dari berbagai sudut pandang, memperhitungkan kebutuhan dan hak-hak individu dengan lebih komprehensif.
Dengan mengurai konsep difabel secara lebih luas dan inklusif, kita dapat menghindari kesalahan dalam menarik kesimpulan dan memberikan perlakuan yang lebih sensitif dan berdaya upaya terhadap mereka yang menghadapi tantangan ini dalam kehidupan sehari-hari. Dalam keseluruhan, penting untuk melampaui definisi dan memahami setiap aspek difabel dengan lebih mendalam, menghormati dan memperjuangkan hak-hak setiap individu.
Konsepsi difabel/disabilitas
Definisi tentang apa sebenarnya difabel telah berubah seiring waktu, dipandang dari berbagai sudut pandang, terutama oleh mereka yang mengalami langsung serta masyarakat pada umumnya. Konsekuensi dari konsep ini pun tak bisa diremehkan, karena keterkaitannya yang erat antara individu dan lingkungannya.
Menelisik lebih jauh, upaya untuk menghilangkan kerancuan dalam mendefinisikan difabel telah menjadi perhatian utama, terutama dalam ranah penelitian ilmu sosial di dunia Barat. Para ahli pun telah menyarankan agar definisi difabel dipisahkan dari pengalaman individual, mengingat dampaknya yang merata, tak mengenal ras, kelas sosial, gender, etnis, atau bahkan usia.
Tidak dapat dipungkiri bahwa difabel dapat menghampiri siapa saja, kapan saja, entah karena kecelakaan atau infeksi pada berbagai organ tubuh, seperti mata, telinga, atau sistem saraf. Keterlibatan yang luas dari berbagai kelompok masyarakat, serta implikasinya yang berkembang lintas generasi, semakin menegasikan kompleksitas dan pentingnya pemahaman yang mendalam tentang konsep ini.
Dalam era di mana inklusi dan penghargaan terhadap keberagaman semakin menjadi sorotan, memahami konsep difabel bukan hanya menjadi sebuah tugas, tetapi juga sebuah keharusan. Dengan demikian, langkah-langkah untuk mengurai ambiguitas konsepsi difabel harus menggunakan metode penglompokan. Dari penglompokan berbasis perspektif, difabel bisa kita fahami secara esensial.
Dalam mengkategorikan difabel, berbagai model dari perspektif agama, medis, dan sosial telah dikembangkan untuk membantu memberikan kerangka pemahaman yang lebih komprehensif. Namun, di balik upaya ini, difabel sering menghadapi tantangan besar, terutama terkait dampak dari upaya-upaya untuk mengelompokkan kemampuan mereka.
Pertama, ada model defisit yang mengidentifikasi difabel sebagai individu dengan keterbatasan fisik atau intelektual. Kelumpuhan, kebutaan, atau kondisi medis serius sering kali termasuk dalam kategori ini, yang pada akhirnya dapat menyebabkan terciptanya masyarakat yang terseg- regasi berdasarkan kemampuan. Namun, upaya untuk menciptakan masyarakat yang terintegrasi terus digelorakan, meskipun beragamnya kondisi individu.
Kedua, model disabilitas medis menekankan pada pemahaman tentang penyebab, pengobatan, dan penyembuhan kedifabelan. Meskipun bertujuan untuk membantu para korban mencapai keadaan normal, pendekatan ini mungkin kurang berhasil pada difabel kronis atau terminal, yang sering kali dianggap tidak mampu menikmati kehidupan yang dianggap normal oleh masyarakat.
Ketiga, mengeksplorasi model keagamaan dalam mengkategorikan difabel, menghubungkan kondisi tersebut dengan defisiensi spiritual pada individu. Namun, pendekatan ini sering kali tidak cocok diterapkan pada mereka yang menghadapi penyakit kronis atau terminal, karena hanya menawarkan penjelasan keagamaan tanpa memberikan solusi konkret untuk menghadapi kondisi tersebut.
Keempat, ada model sosial difabel yang mencoba menjelaskan difabel sebagai konsekuensi dari faktor-faktor sosial dan sejarah yang menindas. Model ini telah mendapatkan pujian karena menantang stigma dan diskriminasi terhadap difabel, namun tetap menghadapi kritik terkait kelemahannya dalam memberikan solusi konkret bagi mereka yang mengalami kondisi tersebut.
Dari rangkaian perspektif yang dibahas, menjadi jelas betapa pentingnya pemahaman yang mendalam dalam membentuk kebijakan yang inklusif dan memperhatikan semua pihak. Mulai dari model yang mengidentifikasi keterbatasan fisik atau intelektual hingga yang menyoroti faktor sosial, setiap sudut pandang menambah warna dalam gambaran kompleksitas difabel.
Namun, untuk benar-benar merangkul inklusi, kita perlu melihat difabel sebagai hasil interaksi yang kompleks antara individu dan lingkungan mereka. Oleh karena itu, kebijakan yang diambil haruslah melampaui batasan model-model tersebut, dan lebih memperhitungkan kebutuhan serta hak-hak individu dengan difabel.
Dengan memahami beragam sudut pandang dan memberi prioritas pada kebutuhan individu, kita dapat membangun masyarakat yang lebih inklusif dan mendukung bagi semua. Langkah ke depan harus melibatkan kerjasama lintas sektor dan partisipasi aktif dari difabel sendiri. Hanya dengan cara ini, kita dapat mengatasi tantangan dalam konsepsi difabel secara menyeluruh, dan menciptakan lingkungan yang lebih ramah bagi semua warga.[]
Penulis: Hasan
Editor : Ajiwan
Sumber:
– Artikel Kebijakan Penyandang Disabilitas. (2016, November 24). Diakses dari: [https://www.kemhan.go.id/pusrehab/2016/11/24/artikel-kebijakan-penyandang-disabilitas.html](https://www.kemhan.go.id/pusrehab/2016/11/24/artikel-kebijakan-penyandang-disabilitas.html)
– Orto, EA & Power, PW. (2007). Dampak Disabilitas: Psikologis dan Sosial. Springer Publishing Co.
– Smart, J. (2001). Disabilitas, Masyarakat, dan Individu (Edisi ke-2). Penerbit Aspen.
– Tremain, SP. (2008). Memahami Disabilitas: Post-Modernitas dan Model Disabilitas (Edisi ke-3). London: Kontinum.