Views: 6
Solidernews.com, Yogyakarta – Center for Digital Society (CfDS) UGM menggelar diskusi bertajuk Kesempatan Kerja Disabilitas di Era Ekonomi Digital pada Selasa (11/2) lalu. Acara ini menyoroti masih rendahnya partisipasi tenaga kerja difabel di Indonesia, meskipun regulasi telah mengatur kuota pekerja difabel, baik di sektor publik maupun swasta.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, lebih dari 23 juta difabel di Indonesia, kurang dari 10% yang memiliki pekerjaan. Sementara itu, survei Susenas mencatat jumlah difabel mencapai 28 juta jiwa, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan populasi difabel terbesar di Asia Tenggara, bahkan penduduk difabel Indonesia setara dengan total penduduk di Australia. Hal ini menjadi tantangan besar bagi pemerintah dan sektor swasta untuk meningkatkan penyerapan mereka di dunia kerja.
Dalam diskusi, peneliti CfDS, Shally Pristine, mengungkapkan bahwa pesatnya pertumbuhan ekonomi digital membuka peluang baru bagi difabel. Diperkirakan pada 2023, nilai ekonomi digital Indonesia mencapai USD 82 miliar atau setara ratusan triliun rupiah, dengan pertumbuhan sekitar 8%, lebih tinggi dari rata-rata nasional.
Penelitian kualitatif yang dilakukan CfDS menyoroti keterbatasan literatur terkait dampak teknologi digital terhadap peluang kerja difabel di negara berkembang. Studi ini melibatkan enam responden tuli, yang berbagi pengalaman mereka sebelum dan setelah bekerja di sektor digital. Banyak dari mereka menghadapi tantangan seperti rawan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan kesulitan mendapatkan pekerjaan formal akibat minimnya ijazah pendidikan tinggi.
Namun, sektor ride-hailing (layanan transportasi berbasis aplikasi) membuka kesempatan bagi mereka. Kemudahan untuk bergabung sebagai mitra pengemudi menjadi angin segar bagi difabel, di mana mereka menikmati fleksibilitas waktu kerja, lokasi, serta sistem pembayaran.
Ketika bekerja, banyak dari mitra pengemudi tuli menerapkan sejumlah strategi demi menarik atensi pelanggan, seperti menyediakan Wi-Fi, permen, dan minuman di kendaraan mereka. “Platformnya sendiri juga telah mengembangkan fitur notifikasi yang memberi tahu konsumen bahwa mitra pengemudi adalah tuli, sehingga interaksi dapat lebih efektif”, tambahnya.
Dampak positif ekonomi digital bagi difabel tidak hanya terbatas pada kemandirian finansial. Mereka juga memperoleh keterampilan teknologi, komunikasi, navigasi, serta membangun jaringan yang berkontribusi pada peluang kerja yang lebih luas.
“Bahkan, tiga dari enam responden dalam penelitian ini berhasil mendapatkan pekerjaan entah yang sifatnya tetap atau tambahan melalui koneksi yang mereka bangun sebagai mitra pengemudi”, tuturnya lagi.
Kendati demikian, berbagai tantangan masih menghantui. Ketidakstabilan pendapatan, tingkat literasi digital yang beragam dari mitra pengemudi tuli, serta edukasi pelanggan menjadi kendala utama. Beberapa pelanggan masih enggan menerima jasa pengemudi tuli karena kurangnya pemahaman tentang kemampuan mereka.
“Tentu stigma soal kemampuan difabel itu masih saja dirasakan saat mereka melayani pelanggan,” katanya.
Sementara itu, Clarina Andreny, Head of Public Affairs Strategy Policy & Jabo Territory Grab, menegaskan bahwa pihaknya berkomitmen untuk mendukung pekerja difabel melalui berbagai inisiatif. Grab secara berkala berkonsultasi dengan organisasi difabel guna memastikan rekrutmen yang inklusif.
Layanan Grab Access juga disediakan bagi difabel yang ingin menjadi mitra pengemudi, sementara Grab Excellence Center menjadi ruang komunitas bagi mitra difabel untuk menyampaikan aspirasi, mengikuti pelatihan, dan mengakses fasilitas pendukung lainnya.
Di samping itu, Grab melalui Grab Academy menghadirkan pelatihan khusus, termasuk penanganan difabel dengan kursi roda dan perangkat mobilitas lainnya.
“Hingga saat ini, lebih dari 5.000 mitra pengemudi telah mengakses enam modul pelatihan tentang layanan Bintang 5 bagi penumpang difabel fisik, netra, dan tuli untuk mendukung aksesibilitas difabel dalam kehidupan sehari-hari melalui Grab Gerak,” terangnya.
Muhammad Fauzi, akademisi Universitas Esa Unggul, menyoroti bahwa tantangan utama bagi pekerja difabel bukan hanya hambatan fisik, tetapi juga stigma sosial. Banyak masyarakat masih memandang mereka sebagai beban daripada sebagai individu yang mampu berkontribusi secara nyata.
Menurut Fauzi, peningkatan literasi digital dan keterampilan teknologi sangat krusial bagi difabel agar lebih mandiri dalam ekonomi digital. Pelatihan komunikasi virtual, desain grafis, dan pemasaran digital diperlukan juga. Selain itu, komunitas digital dapat menjadi wadah penting dalam membangun kolabrasi.[]
Reporter: Bima Indra
Editor : Ajiwan