Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol bagian kanan bawah sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Pelatihan Pengorganisasian Bagi Difabel Dengan Sentuhan Art Therapy: Menemukan Insight Baru

Views: 9

Solidernews.com – Di tengah metode pelatihan yang sering kali berfokus pada ceramah atau diskusi formal, sebuah pendekatan baru dihadirkan untuk Kelompok Difabel Kelurahan (KDK). Beberapa saat lalu, sentuhan Art Therapy menggunakan media foto dan plastisin  digunakan oleh salah satu fasilitator dalam acara Pelatihan Pengorganisasian bagi KDK.  Pelatihan ini berlangsung di Joglo Yoso Palbapang Bantul dengan menghadirkan perwakilan KDK dari 12 kelurahan serta pendamping KDK.

Acara ini diinisiasi oleh Sigab Indonesia dan mendapat dukungan melalui program SOLIDER (Strengthening Social Inclusion for Disability Equity and Rights) atau Memperkuat Inklusi Sosial untuk Kesetaraan dan Hak-hak Disabilitas didukung oleh INKLUSI (Program Kemitraan Pemerintah Indonesia dan Australia untuk Mewujudkan Inklusi Sosial). Tidak hanya belajar teknis pengorganisasian serta kepemimpinan, satu hal yang cukup menarik adalah mengenali diri dan hambatan yang disampaikan Agnes.

“Saya baru kali ini ikut acara dengan metode yang asik dan suasananya hidup”, ujar Rino salah satu peserta pelatihan.

Melalui wawancara terpisah, Agnes menyampaikan bahwa perjalanan menuju pemahaman diri yang mendalam sangat penting. Dengan memadukan seni dan refleksi, peserta diajak menemukan insight yang kuat sebagai dasar perubahan dalam kehidupan dan komunitas mereka.

 

Foto dan Plastisin sebagai Media Art Therapy 

Art Therapy atau terapi seni, dikenal sebagai pendekatan yang membantu seseorang mengekspresikan emosi dan pikiran yang mungkin sulit diungkapkan melalui kata-kata. Dalam konteks pelatihan pengorganisasian bagi KDK, peserta diajak untuk pemanasan terlebih dahulu dengan membuat pohon harapan. Pada tahapan ini, fasilitator pertama Angga Yanuar, mengajak peserta untuk menuliskan harapan dari pelatihan ini. Tulisan berupa harapan peserta kemudian ditempelkan pada kertas plano yang sudah disiapkan tujuannya adalah menjadi alat untuk menggali niat awal dari peserta.

Setelah proses pohon harapan, Agnes selaku fasilitator utama dalam sesi pertama, mengajak mengolah vokal peserta. Latihan vokal ini sangat penting untuk para peserta bisa menyampaikan pesan kepada orang lain.

“Bagaimana mau jelas kalau ngomongnya umak-umik (bergumam) karena tentu harus jelas agar pesan sampai pada orang lain,” terang Agnes.

Sebelum melangkah lebih jauh soal pengorganisasian, peserta diajak untuk mengenali diri dan hambatan. Olah vokal yang kesannya teriak-teriak, dimaksudkan untuk relaksasi peserta melalui suara. Peserta diminta bersuara tanpa pengeras suara untuk bisa menyampaikan pesan kepada peserta lain. Olah vokal juga penting bagi kawan tuli karena apabila tidak ada juru bahasa iyarat (JBI) ia akan mudah menangkap pesan melalui gerak bibir lawan bicara.

“Maka karena ini difabelnya ragam, saya merancang khusus teknik apa yang bisa digunakan dan dibutuhkan oleh semua ragam. Kita tahu bahwa kebutuhan masing-masing difabel berbeda, namun dalam hal ini mesti ada satu teknik yang bisa dirasakan dan dilakukan oleh semua peserta”, ungkap Agnes bersemangat.

Setelah sesi olah vokal cukup, peserta diajak bermain-main dengan melihat foto. Agnes selaku fasilitator sudah menyiapkan foto yang beragam, tentu bagi kawan difabel netra, tetap ada pendamping yang membantu untuk menjelaskan isi gambar dalam foto tersebut.

“Peserta diminta untuk mengambil foto satu saja lalu dari foto tersebut dikoneksikan dengan hambatan apa yang ada dalam diri atau hal apa   yang membuat diri teman peserta susah maju”, terang Agnes.

Dari gambar yang telah dipilih, peserta  menyampaikan apa yang di dalam benak dan diri. Foto tersebut bisa menggambarkan kondisi hambatan yang dialami selama ini.

Selanjutnya, permainan menggunakan plastisin atau playdough menjadi keseruan tersendiri karena peserta diminta membuat simbol diri. Berbagai macam bentuk yang telah diselesaikan dan peserta diminta untuk bisa sharing tentang simbol yang dibuat beserta filosofinya.

 

Proses Pelatihan: Seni, Refleksi, dan Transformasi

Kesempatan untuk melihat langsung proses dari pelatihan KDK kali ini sungguh memberikan insight baru bagi saya pribadi yang tentu kali pertama melihat kawan difabel bermain dengan playdough.

Menurut keterangan Agnes, metode ini dirancang khusus untuk sesi pelatihan yang seru dan interaktif dengan menggabungkan olah vokal, foto (visual) dan seni rupa sebagai media ekpresi.

Metode ini tentu sudah sangat dipikirkan matang-matang oleh fasilitator, mengapa pendekatan seni dirasa efektif untuk proses pengenalan diri.

“Saya ternyata tidak sendiri,” ungkap salah satu peserta yang disampaikan pada Agnes di saat jeda istirahat.

Agnes pun menyadari ada banyak yang dapat disampaikan tapi sulit diucapkan, maka dengan bermain-main dengan foto dan plastisin mewakili rasa jujur dalam diri peserta.

Proses ini membantu mereka menggali insight tentang diri sendiri, nilai-nilai yang mereka pegang, dan apa yang ingin mereka ubah dalam kehidupan atau komunitas mereka.

 

Insight Baru Untuk Perubahan 

Pendekatan Art Therapy yang dipilih Agnes Novita memberikan ruang bagi peserta untuk tidak hanya belajar mengekspresikan diri, menggali hambatan diri namun juga   menyelami diri mereka. Harapannya insight baru yang peserta temukan selama pelatihan menjadi landasan yang kuat untuk bertindak.

“Setelah pelatihan ini, saya merasa lebih siap untuk saya sampaikan di komunitas saya,” ungkap Rino peserta dari Bantul.

Dari tuturan salah satu peserta bahkan berencana mengadakan sesi seni ini bersama anggota komunitas lain sebagai cara untuk membangun solidaritas dan memperkuat hubungan antar anggota.

Pelatihan pengorganisasian dengan pendekatan Art Therapy diharapkan menjadi model baru dalam pemberdayaan komunitas. Teknik yang menggabungkan seni, refleksi, dan pengorganisasian, pelatihan ini menawarkan pengalaman yang seru dan menarik.

Harapan akhirnya tentu adanya perubahan yang tidak hanya pada keterampilan teknis, tetapi juga pada kesadaran dan semangat dalam diri setiap peserta untuk bergerak, menggerakkan komunitas, dan menciptakan dunia yang lebih inklusif.

Saya sebagai pengamat dalam pelatihan tersebut menyimpulkan bahwa melalui seni, kita bisa belajar melihat diri secata jujur apa adanya.  Selanjutnya seni juga upaya refleksi untuk menemukan keberanian untuk bergerak bersama dalam komunitas, dan melalui komunitas, kita tahu bahwa pergerakan tidak berjalan jika sendirian.[]

 

Reporter: Erfina

Editor     : Ajiwan  

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content