Views: 5
Solidernews.com – Di tengah masih minimnya ruang belajar inklusif di Indonesia, Yayasan Kota Kita menghadirkan inisiatif pelatihan bertajuk “Advokasi Berbasis Data dan Pengembangan Diri untuk Pemuda” yang digelar di Hotel Maleo, Makassar. Kegiatan berlangsung pada 19 Agustus 2025 ini diikuti oleh sejumlah pemuda difabel yang memiliki kepedulian terhadap isu-isu sosial di lingkungan sekitar mereka. Fokus utama kegiatan ini adalah membekali peserta dengan keterampilan dasar dalam melakukan advokasi—mulai dari mengenali masalah, mengumpulkan data, hingga menyusun strategi advokasi yang terarah. Para peserta diajak untuk terlibat aktif, tidak hanya menerima materi teori, tetapi juga menganalisis kasus nyata dan menyusun fokus advokasi masing-masing berdasarkan pengalaman pribadi mereka.
Fauzan, salah satu peserta yang merupakan difabel Tuli, mengungkapkan bahwa pelatihan ini memberinya perspektif baru. “Saya biasa juga sedih melihat jalanan yang tidak akses, tapi tidak tahu bagaimana caranya untuk mengubah biar lebih baik lagi,” ujarnya melalui juru bahasa isyarat.
Pernyataan Fauzan mencerminkan tantangan umum yang dihadapi banyak difabel di Indonesia: kesadaran akan masalah yang ada, tetapi keterbatasan pengetahuan dalam menindaklanjutinya secara strategis. Di sinilah pendekatan berbasis data menjadi penting.
Advokasi dimulai dari hal yang paling dekat menurut Mela, fasilitator dari Yayasan Kota Kita, setiap peserta didorong untuk memulai advokasinya dari isu yang paling dekat dengan kehidupan mereka.
“Biasanya, kita akan fokus pada isu-isu yang dekat dari kita. Misalnya Tari, soal ketidakaksesan informasi di sekitar rumah. Dan itu tidak masalah—yang penting adalah bagaimana menjadikannya advokasi yang berbasis data,” jelasnya.
Data yang dimaksud bukan selalu angka statistik besar. Pengalaman pribadi, jika dikumpulkan, dicatat, dan dipetakan secara sistematis, bisa menjadi bukti yang kuat dalam menyuarakan perubahan kebijakan atau perbaikan layanan publik.
Kurangnya keterampilan pendataan serta terbatasnya dorongan untuk mengembangkan diri di kalangan pemuda difabel kerap berakar pada minimnya akses terhadap pendidikan, pelatihan, dan informasi yang inklusif. Banyak dari mereka tumbuh dalam lingkungan yang tidak menyediakan ruang belajar yang responsif terhadap kebutuhan difabel, baik secara fisik maupun nonfisik. Akibatnya, potensi mereka dalam mengidentifikasi isu di sekitar, mengolah data sebagai dasar advokasi, atau bahkan menyuarakan kepentingannya sendiri sering kali tidak berkembang optimal. Padahal, Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas mewajibkan penyelenggara pendidikan menyediakan aksesibilitas dan penyesuaian yang mendukung proses belajar difabel secara setara. Namun dalam praktiknya, pelatihan vokasional maupun program pengembangan kepemudaan yang inklusif masih terbatas jumlah dan jangkauannya. Kondisi ini memperlebar kesenjangan partisipasi antara pemuda difabel dan nondifabel, terutama dalam ruang-ruang strategis seperti perencanaan pembangunan, pengawasan layanan publik, hingga keterlibatan dalam kebijakan sosial.
Muhammad Lutfi, aktivis difabel dan fasilitator lainnya, menekankan bahwa pengembangan diri juga bagian penting dari proses advokasi. “Kita harus percaya bahwa suara kita penting. Pengalaman kita adalah sumber data itu sendiri. Tinggal bagaimana memetakannya dan menjadikannya dasar untuk perubahan,” katanya dalam salah satu sesi.
Yayasan Kota Kita merancang pelatihan ini sebagai bagian dari komitmen mereka dalam mendorong kota yang lebih inklusif dan partisipatif, terutama bagi kelompok muda dan difabel. Dengan pendekatan yang terstruktur dan praktis, diharapkan para peserta mampu menginisiasi advokasi secara mandiri di wilayah masing-masing. Pelatihan ini menjadi contoh bagaimana pemberdayaan komunitas tidak selalu harus dimulai dari institusi besar atau regulasi formal. Ketika individu difasilitasi untuk memahami masalah, mengolah data, dan menyuarakan tuntutan dengan tepat, proses perubahan sosial bisa berjalan dari tingkat paling dasar—dan justru lebih berdampak.[]
Reporter: Yoga
Editor : Ajiiwan






