Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol simbol biru bagian kanan agak atas sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Paraclimbing dan Minimnya Dukungan Pemerintah

Views: 9

Solidernews.com – Di dinding setinggi lima belas meter, tampak kedua tangan itu meraba dinding beserta pijakan panjatnya. Sementara, seorang petugas menjelaskan secara detail dengan bersuara keras. Sementara atlet netra paraclimbing lainmya juga melakukan  hal yang sama dengannya, Juliana Ira, atlet netra yang menceritakan pengalamannya kepada solidernews via suara di aplikasi WhatsApp. “Ini aku sedang di seremonial penutupan kejuaraan, “demikian kata Juliana Ira.

 

Dua hari itu, Sabtu dan Minggu (30/11-1/12), di area panjat tebing, Manahan, terdengar suara sorak-sorai penonton menyemangati para atlet yang sedang bertanding pada Kejuaraan Paraclimbing Nasional. Jika sang atlet yang memanjat dengan hati-hati tersebut mampu menginjak bidang pijakan dan kembali merayap, maka tepuk tangan segera membahana. Demikian pula ketika si atlet ‘tumbang’ lepas dari panjatan yang artinya tidak bisa meneruskan lagi perlombaan, maka terdengar teriakan-teriakan semangat. Namun begitu, ada suasana hening yang benar-benar hening saat difabel netra yang maju bertanding. Aturan yang disampaikan oleh petugas sebelum sesi, para penonton tidak dibolehkan bersuara untuk menyemangati atlet, berbanding terbalik dengan sesi sebelumnya. Sebab, difabel netra rentan terdistraksi konsentrasinya ketika mendengar suara-suara, sehingga menjadikannya tidak bisa fokus. Aturan itu pun dilaksanakan.

Usai pertandingan, solidernews sengaja tidak segera menemui Ira, yang berhasil menyabet juara tiga kategori netra. Maka seperti tertulis di atas, momen wawancara terjadi jelang acara seremonial penutupan. Ia bercerita bahwa apa yang diperolehnya di final pertandingan adalah di luar ekspektasi karena ia khawatir tidak bisa menampilkan yang terbaik. Ira mengatakan jika ia sempat “kena mental” sebab lawannya  dari Jawa Barat kebanyakan mereka berprofesi atlet judo. Artinya mereka berangkat sudah sebagai atlet duluan.

Ira mengaku semula tidak suka dengan olah raga lantas diminta Sabar Gorky (pelatih) untuk berlatih lalu ikutlah ia di kejuaraan ini. “Padahal mereka yang sudah sering olah raga dibanding aku yang tidak suka olah raga, otomatis fisiknya kan jelas berbeda, stamina juga berbeda. Aku memang latihan lebih lama, tentu lebih lama latihannya dari pada mereka. Cuma akhir-akhir ini aku seperti malas-malasan gitu. Jadi enggak optimal. Cuma di akhir-akhir saja lebih memaksimalkan diri, “terang Ira.

Ia mendapat giliran pertama saat dimulainya lomba sehingga erasaan takut demikian melanda. Hari pertama pencapaiannya menurutnya lumayan maksimal meski jatuh sebelum puncak/finish karena menurutnya benar-benar sulit. Ia mengekspresikan dan memotivasi diri sambil berteriak-teriak terus dan ketika jatuh teriakan itu lebih kencang. Sambil menunggu waktu habis, ia masih saja menangis sambil duduk di arena. Sampai panitia menyuruhnya beringsut namun ia menolaknya.”Disuruh pergi aku tidak mau pergi. Sampai di tenda belakang pun aku masih nangis. Aku takut mengecewakan Pak Sabar dan Pak Teddy. Takut banget, karena pelatihku sudah meluangkan waktu untuk melatih aku. Jadi aku takut mengecewakan. Akhirnya dapat kabar kalau masuk final. Itu hal yang menggembirakan, “terang Ira  dengan penuh antusias.

Sebelum memanjat di sesi final di hari berikutnya, Ira didekati seorang pelatih entah dari mana dia, katanya. Si pelatih menenangkan Ira dan bilang jangan menangis seperti hari sebelumnya.  Menang kalah itu biasa, kata sang pelatih. Padahal menurut Ira, dengan berteriak sebenarnya ia bisa meluapkan emosi dan kekesalannya untuk memacu lebih bagus dan mencapai target. Ia meluapkan dengan cara menangis. “Jadi ketika aku tidak boleh menangis itu aku sedih sekali. Sampai turun dari lift aku tidak mau bicara sama sekali. Aku ditawarin apa saja aku cuma pakai isyarat angguk angguk saja tidak kujawab,”jelas Ira menceritakan tentang dirinya sambil tertawa kecil. Lantas ia mengisahkan bagaimana di lomba yang diselenggarakan dua hari itu ia banyak mendapat  pengalaman. Apalagi itu even nasional yang pertama kali diselenggarakan.  Ia mendapat banyak teman baru. Menurutnya, biarpun  temannya itu lawannya namun ia tetap bersapa karena misalnya  ketika ia kalah, ia ingin dikenal sebagai kawan baik.

 

Sabar Gorky : Minim Dukungan Pemerintah

Solidernews.com menemui Sabar Gorky, salah seorang panitia penyelenggara yang mengatakan bahwa  kejuaraan yang memperebutkan hadiah 100 juta itu diikuti oleh 70 atlet mewakili sembilan provinsi. Mereka datang dari berbagai ragam dari fisik yang dibagi dua polio dan amputi serta netra yang semuanya berkategori netra total. Jika ada yang law vision maka panitia menyertakan penutup mata agar benar-benar total blind.

Sabar Gorky menambahkan, cabang paraclimbing akan ada di Olimpiade 2028, Los Angeles. Ia bertutur bahwa pihaknya  hanya bisa membukakan pintu bagi teman-teman paraclimbing untuk berpartisipasi dan membuktikan bahwa olah raga panjat tebing aman dan  sangat luar biasa sebab ada otak, otot dan pertarungan nasib. Menurut Sabar, kalau nasibnya baik harus didukung dengan latihan dan menang atau  kalah itu wajar.

 

Menurut Sabar, dari pihak pemerintah tidak ada dukungan. Dukungan dari organisasi Federasi dalam hal ini Federasi Panjat Tebing Indonesia (FPTI) juga dalam bentuk dukungan moral. Untungnya, Yayasan Pranatas Disabilitas   Indonesia sebagai penyelenggara mampu mengumpulkan donatur. Ia mengaku karena ini baru pertama kali penyelenggaran maka belum ada pengelompokan usia dan belum bisa mengikutsertakan difabel cerebral palsy.

Dengan persiapan hanya  enam bulan disertai banyak kendala, menurutnya ini adalah awal yang baik. Ke depan ia berharap ada dukungan pemerintah soal pendanaan dan banyak lagi dilakukan sosialisasi terkait olah raga paraclimbing, salah satunya dengan menyisipkan pengetahuan tentang paraclimbing ini di even-even olah raga lainnya.

 

Yuda, peserta kejuaraam paraclimbing dari Sragen adalah salah seorang perempuan difabel atlet volley pantai dengan pengalaman bertanding di China. Ia tertarik  awalnya dari kesukaan bertualang. Ketika ada yang mengajaknya ikut serta maka ia menyambutnya dengan gembira karena ini pengalaman baru. Ibu dua anak yang berusia empat puluh lima  tahun dengan kaki polio itu  sebelumnya belum pernah ikut latihan. Motivasinya ikut lomba karena ingin menyemangati diri sendiri dan peserta lain karena meski sudah berumur empat puluh lima  tahun namun tetap memiliki tekad bertanding. “Kalau mereka bisa, mengapa saya tidak? Meski usia tidak muda lagi, “pungkasnya.[]

 

Reporter: Astuti

Editor     : Ajiwan

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content