Views: 15
Solidernews.com, Yogyakarta. LISTRIK padam dalam tiga hari menjadi hal biasa, bagi warga Kalurahan Giriwungu, Girimulyo dan Girikarto, Kecamatan Panggang, Gunung Kidul. Namun, dampak luar biasa dirasakan warga. Kesempatan mengakses informasi hilang (lumpuh). Akses mendapatkan pendidikan tertinggal. Akitivitas ekonomi terganggu. Laju usaha terseok. Kebutuhan air tak terpenuhi.
Tersebuat di atas diperoleh berdasar riset, yang dilakukan Lembaga Advokasi Konsumen Rentan, dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Temuan (fakta lapangan) disampaikan melalui siaran pers bertajuk, “Meningkatkan Akses Energi Listrik di DIY, dengan Optimalisasi Energi Baru Terbarukan surya. Dihadiri berbagai perwakilan lembaga dan media, kegiatan dihelat di Ingkung Grobog, Jalan Ipda Tuit Harsono, Timoho, Yogyakarta, Selasa (10/9/2024).
Ketua Lembaga Advokasi Konsumen Rentan Saktya Rini Hastuti, membuka pertemuan dengan menyampaikan bahwa, konsumen rentan khususnya, selalu menjadi korban. Korban atas ketidakadilan yang terjadi. Dalam hal ini, tiga kalurahan di Gunung Kidul, seringkali mengalami listrik padam.
Kondisi tersebut, tak bisa dibiarkan. Tak bisa diafirmasi begitu saja. Demikian tegas Saktya Rini. Karenanya, kata dia, mendorong optimalisasi energi listrik baru terbarukan surya yang setara, adil dan inklusif, didorong oleh lembaga yang digawanginya. Untuk mencapai dan mewujudkannya, dibutuhkan kerja sama antar pihak. Para stake holder dan warga.
Saktya menggarisbawahi pihak yang bertanggungjawab dalam proses optimalisasi energi baru terbarukan, adalah Pemerintah. Yakni, melalui kebijakan dan program yang setara dan berkeadilan.
“Pemerintah juga harus mampu mengidentifikasi kelompok rentan, tanpa kecuali penyandang disabilitas. Sedang menggaungkan suara masyarakat terdampak, adalah tanggung jawab bersama,” ujarnya.
Butuh energi alternatif
Optimalisasi energi baru terbarukan, diarahkan pada bagaimana energi dapat bermanfaat bagi semua lapisan masyarakat. Tidak bertabrakan dengan kelompok lainnya. Sehingga perlu dihimpun dan diakomodir kebutuhannya.
Listrik kalau sering mati, pertama pasti gelap. Masyarakat yang menggunakan sumber daya listrik pasti terdampak. Misalnya frozen food (pendinginan makanan), laundry (jasa mencuci pakaian). Warga difabel, ketika gelap, pasti akan lebih terhambat. Penguna kursi roda, pasti akan memilih diam di tempat ketika gelap.
Kenapa butuh energy alternatif? Menurut Rini, hal tersebut dikarenakan seringnya listrik padam. Kehadiran energi alternatif, dapat menjadi solusi atas kebutuhan sumber listrik. “Di sini, kita mendorong agar panel surya (energy dengan sumber matahari) bisa sebagai alternative energy,” ujarnya.
Kasus di Gunung Kidul, ditemukan beberapa lampu dengan panel surya hilang. Ini wilayah Dinas Perhubungan. Tapi kami bisa mendorong pengawasan berbasis masyarakat. Sosialisasi ke warga terkait panel surya menjadi hal penting. Dengan begitu, warga menjadi sadar atas kebutuhan dan rasa nyaman, berada di rumahnya. Warga dapat menghindari gangguan yang tidak diharapkan.
Lanjutnya, ketika berbicara kelompok difabel dan masyarakat rentan lainnya, sebagian besar dari mereka mengalami hambatan institusional. Ada ketimpangan sosial dan ekonomi. “Ketimpangan demi ketimpangan terjadi pada kelompok ini. Kehadiran negara mutlak hukumnya. Demikian pula, memahamkan warga tentang pemenuhan hak dan menjaga asset yang ada, layak didorongkan,” kata Saktya Rini.
Pemasangan off grade
Narasumber siaran pers Siti Sumaryatiningsih, pada kesempatan berbincang dengan solidernews.com cara mengatasi ketimpangan yang terjadi. Dia menekankan satu cara memenuhi energi listrik bagi warga difabel. Yakni dengan off grade di rumah. Yaitu, pemasangan satu kali di rumah difabel, menggunakan baterai yang bisa bertahan selama 10 tahun. Dengan system off grade, kata dia, difabel tidak perlu membayar tagihan listrik.
Hal itu menurut Siti Sumaryatiningsih dapat dilakukan, apabila desa berinisiasi menjadikan pemasangan energy listrik off grade, sebagai program desa. Dengan menjadi program desa, kata dia, memungkinkan optimalisasi tersebut bisa terjadi. Ini juga menjawab tantangan, bagaimana pemerintah, dalam hal ini pemerintah desa hadir bagi warga yang membutuhkan.
“Off grade menggunakan panel surya, kini selayaknya dikembangkan. Mengingat energy bersumber fosil yang akan habis. Off grade juga mengurangi, atau sama sekali menghilangkan biaya tagihan listrik tiap bulan,” ujar Sumaryatiningsih.
Lanjutnya, “Untuk disabilitas akan sangat membantu. Karena mereka tidak perlu berlangganan listrik PLN. Apakah melalui CSR-nya PLN, atau menjadi program alternatif desa. Artinya ada program yang didorongkan. Bagaimana desa bisa memastikan warganya sejahtera dengan adanya listrik tenaga surya, adalah point penting,” tandas dosen APMD Yogyakarta itu.
Mandiri energi
Ada pun narasumber lain, Dwi Priyoko. Dia menyoroti desa mandiri energi. Hal itu penting, kata dia. “Ketika suatu daerah mandiri, maka daerah tersebut akan mampu mensuplai kebutuhan desanya. Ini yang kami lihat selama ini belum ada.” katanya.
Lanjutnya, transfer knowledge (mentransfer pengetahuan) atau membangun kepedulian masyarakat menjadi penting. Sehingga masyarakat punya cara mempertahankan asset yang ada. Termasuk pemerintah, tegas dia.
Dia menyayangkan berbagai kebijakan pembangunan infrastruktur, yang tidak melibatkan masyarakat. Di sepanjang pembuatan jalur jalan lingkar selatan (JJLS), dicontohkannya. Jalan itu kalau malam gelap gulita, kata dia. Karena lampu surya panel banyak yang dicuri.
“Itulah pentingnya warga dilibatkan dan ada transfer knowledge. Sehingga warga tahu dan bisa melindungi asset mereka. Ada relasi yang baik antara penyedia dan masyarakat,” tegas Dwi.
Terkait difabel, mereka punya kebutuhan yang sama. Tapi mencapainya jauh lebih berat. “Masyarakat umum saja susah, apalagi teman disabilitas. Maka kebutuhan mendasar difabel, bisa menjadi landasan kebijakan,” ujar Dwi.
Peta kebutuhan dasar kebijakan
Cara mencapainya menurut dia adalah dengan membuat peta kebutuhan. Difabel yang saat ini tidak mau dipasang listrik itu mengapa? Karena mereka tidak mampu secara finansial.
“Ketika sudah muncul peta dengan kebutuhan tertentu, difabel bisa dibuatkan energi terbarukan di tempat mereka. Sehingga tidak tergantung dengan PLN. Mungkin hanya malam hari saja membutuhkan PLN. Ini kan bisa memangkas anggaran,” tandas Dwi.
Digaris bawahinya, bahwa kebutuhan difabel bisa menjadi dasar pembuatan kebijakan. Selama ini kebijakan masih di tataran kebutuhan umum warga. Maka, perlu dipetakan di tiap wilayah ,yang menunjukkan tingkat kerentanan. Kerentanan yang paling dasar, itu yang menjadi dasar kebijakan.
“Kami, Lembaga Advokasi Konsumen Rentan akan terus mendorong perubahan kebijakan. Sehingga wilayah memiliki peta kerentanan. Sehingga orang yang rentan, masalahnya tertangkap dan terfasilitasi. Persoalan energi itu bukan perkara orang kaya dan miskin. Bukan juga perkara difabel atau nondifabel. Energi adalah kebutuhan dasar, yang harus dipenuhi oleh negara,” tandas Dwi.
Butuh solusi segera
Mewakili pemerintah desa, Sugiarto, Dukuh Padem, Kalurahan Girikarto, Kecamatan Pajang Gunung Kidul, mengiyakan seringnya listrik di daerahnya padam. Laporan sudah diupayakan. Namun, sering kali tak mendapatkan tanggapan yang memuaskan. Akibatnya, warga, termasuk warga difabel yang terdampak bersikap menerima.
Hal tersebut diiyakan Sunardi, Kepala Urusan Tatalaksana Kalurahan Giriwungu. Bahkan ada warganya yang difabel menolak dipasang listrik oleh pemerintah. Alasannya, tidak bisa membayar bulanannya.
Terkait energi terbarukan yang memandirikan, Sunardi mengaku sangat mendorong perwujudannya segera. Mengingat di Gunung Kidul energi baru melimpah. Apakah sinar matahari, angin, atau penanaman biji jarak. “Harapan saya, energi baru itu segera saja diwujudkan. Sehinga kebutuhan kami terkait pasokan listrik dapat teratasi,” ujar Sunardi.[]
Reporter: Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan