Views: 258
Solidernews.com – Kasus penyiraman air keras terhadap Agus Salim pada 1 September 2024 yang menyebabkan kebutaannya telah mengundang simpati publik dalam skala besar, mengundang obrolan hangat tentangnya, dan anehnya masih viral hingga detik ini. Agus, yang sebelumnya bekerja sebagai leader di sebuah kafe di Cengkareng, menjadi korban tindakan kekerasan oleh karyawan magangnya, JJS alias Aji (18). Meskipun insiden ini tragis, cara Agus mempresentasikan dirinya di media pasca kejadian tersebut, dengan gaya bicara yang “menye-menye” dan penuh belas kasihan, telah memicu kritik tajam. Sikapnya yang kini lebih memperlihatkan kelemahan diri dan menekankan ketidakberdayaannya justru memperkuat stigma bahwa difabel adalah individu yang harus dikasihani dan selalu membutuhkan bantuan.
Gaya Bicara yang Mencederai Martabat Difabel
Dalam berbagai wawancara di podcast-podcast populer seperti Denny Sumargo, Agus cenderung menggunakan narasi penderitaan dan kelemahan, mengesankan seolah-olah dirinya tidak mampu bertahan tanpa bantuan eksternal. Gaya bicara yang menye-menye ini menimbulkan kritik keras, terutama dari kalangan aktivis disabilitas. Alih-alih menunjukkan keteguhan dan kemampuan untuk bangkit, Agus seolah memperkuat citra bahwa disabilitas visual adalah beban yang harus dipikul oleh orang lain, sebuah narasi yang jauh dari upaya pemberdayaan difabel yang selama ini diperjuangkan oleh para aktivis difabel.
Sikap Agus ini jelas mencederai perjuangan difabel di Indonesia yang telah lama berusaha mengubah paradigma masyarakat tentang disabilitas. Dengan memposisikan dirinya sebagai sosok yang patut dikasihani dan lemah, Agus memperkuat charity model, sebuah pendekatan yang sudah seharusnya ditinggalkan karena hanya menempatkan difabel sebagai objek belas kasihan, bukan sebagai subjek yang mandiri dan memiliki hak yang setara.
Charity Model: Eksploitasi Simpati dan Kelemahan
Pendekatan charity model yang digunakan oleh Agus dan tim pendukungnya telah memancing kontroversi yang lebih dalam tentang bagaimana narasi disabilitas seharusnya dibangun di Indonesia. Charity model ini memanfaatkan simpati publik dengan mengeksploitasi kelemahan dan ketidakberdayaan, bukan dengan menonjolkan kemampuan dan potensi difabel untuk mandiri. Narasi yang dibangun Agus seolah-olah kebutaannya merupakan akhir dari segalanya, sesuatu yang sangat tragis hingga hanya belas kasihanlah yang dapat menyelamatkannya.
Padahal, kebutaan atau kedifabelan lain bukanlah hal yang harus selalu dipandang sebagai kelemahan dan akhir dari segalanya. Ada banyak contoh individu difabel yang berhasil hidup mandiri dan terhormat tanpa harus menunggu belas kasihan dari masyarakat. Namun, Agus justru memilih untuk mengeksploitasi kelemahannya dalam berbagai platform media, yang pada akhirnya menciderai martabat difabel di mata publik. Simpati yang ia dapatkan bukanlah karena kemampuannya untuk bangkit, melainkan karena narasi kelemahan yang dibangun secara strategis oleh dirinya dan timnya.
Menghancurkan Perjuangan Difabel: Dampak Buruk Charity Model
Pendekatan yang diambil Agus ini jelas tidak hanya merugikan dirinya secara pribadi, tetapi juga menghancurkan kerja-kerja aktivis difabel yang telah bertahun-tahun berjuang untuk menghapus stigma negatif. Penggunaan charity model oleh Agus memperkuat stereotip dan melanggengkan stigma bahwa difabel selalu berada dalam posisi lemah, tak berdaya, dan membutuhkan bantuan tanpa henti. Ini bertentangan dengan upaya aktivis difabel yang mengedepankan rights-based model, yang berfokus pada hak dan kesempatan yang setara bagi difabel.
Dengan terus-menerus mengeksploitasi kelemahan dan penderitaan, Agus menciderai perjuangan para difabel yang ingin menunjukkan kepada dunia bahwa disabilitas bukanlah sesuatu yang memalukan atau harus dikasihani. Sebaliknya, disabilitas seharusnya dipandang sebagai bagian dari keberagaman manusia, di mana setiap individu, apapun kondisinya, memiliki hak yang setara untuk hidup dengan berdaya dan lebih bermartabat.
Transparansi Donasi: Kontroversi Pratiwi Noviyanthi dan Pengelolaan Dana
Selain itu, konflik terkait donasi yang melibatkan Pratiwi Noviyanthi (Teh Novi) semakin memperkeruh situasi. Donasi yang terkumpul melalui media sosial dan platform YouTube untuk membantu pengobatan Agus mencapai Rp. 1,5 milyar. Namun, permasalahan muncul ketika Agus menuduh Teh Novi menggelapkan dana tersebut, sedangkan Teh Novi justru balik menuduh Agus menyalahgunakan dana yang ada.
Kisruh ini menunjukkan betapa pentingnya transparansi dalam pengelolaan donasi, terutama ketika donasi tersebut dikumpulkan atas dasar simpati terhadap penderitaan. Tidak adanya transparansi dan akuntabilitas hanya akan memperparah persepsi publik terhadap difabel, menciptakan stigma bahwa mereka tidak mampu mengelola bantuan yang mereka terima. Kasus ini jelas menciderai kepercayaan publik terhadap penggalangan dana yang bertujuan membantu penyandang disabilitas, dan pada akhirnya, menciptakan kesan negatif bahwa difabel selalu terlibat dalam masalah finansial dan ketergantungan.
Pesan untuk Agus: Kembalilah pada Prinsip Pemberdayaan
Agus Salim perlu segera merubah narasi dirinya di hadapan publik. Kebutaan bukanlah akhir dari segalanya, dan gaya bicara yang menekankan kelemahan serta ketidakberdayaan hanya akan semakin menciderai citra difabel di Indonesia. Ada banyak contoh individu difabel yang memilih jalan pemberdayaan diri, hidup mandiri, dan berprestasi tanpa harus mengemis belas kasihan.
Publik juga perlu didorong untuk berhenti melihat kebutaan atau disabilitas lainnya sebagai sebuah tragedi yang memerlukan belas kasihan. Cara terbaik untuk mendukung difabel bukanlah melalui model charity, tetapi dengan memberikan akses kepada mereka untuk mendapatkan hak-hak yang seluas-luasnya dan setara, termasuk pendidikan, pekerjaan, dan layanan publik yang inklusif.
Dengan terus memanfaatkan narasi kelemahan dalam charity model, kita secara tidak langsung menghancurkan fondasi perjuangan para aktivis difabel yang telah bekerja keras untuk menunjukkan bahwa disabilitas bukanlah sesuatu yang patut dikasihani. Saatnya kita semua, termasuk Agus, keluar dari jebakan charity model dan bergerak menuju model berbasis hak yang menghormati martabat dan potensi setiap individu, apapun kondisinya.[]
Penulis: Andi Syam
Editor : Ajiwan
Referensi:
- Jawapos.com. (2024). Kronologi terlengkap kasus penyiraman air keras Agus Salim oleh temannya hingga viral uang donasi Rp 1,5 miliar yang diduga diselewengkan . Radar Kudus. https://radarkudus.jawapos.com/nasional/695220100/kronologi-terlengkap-kasus-penyiraman-air-keras-agus-salim-oleh-temannya-hingga-viral-uang-donasi-rp-15-miliar-yang-diduga-diselewengakan
- Kompas.com. (2024, Oktober 21). Kilas balik kasus penyiraman air keras Agus Salim oleh rekan kerjanya di Cengkareng . Megapolitan Kompas. https://megapolitan.kompas.com/read/2024/10/21/07150211/kilas-balik-kasus-penyiraman-air-keras-agus-salim-oleh-rekan-kerjanya-di
- Pikiran Rakyat. (2024). Inilah sosok Muhammad Agus Salim yang viral karena mengalami kekerasan oleh mantan anak buahnya . Perspektif Pikiran Rakyat. https://perspektif.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-4018606465/inilah-sosok-muhammad-agus-salim-sosok-yang-viral-karena-mengalami-kekerasan-oleh-mantan-anak-buah?page=all
- Pikiran Rakyat. (2024). Siapa sosok Muhammad Agus Salim? Inilah pria yang viral tampil di podcast Denny Sumargo . Pedoman Tangerang. https://pedomantangerang.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-078605157/siapa-sosok-muhammad-agus-salim-inilah-pria-yang-viral-tampil-di-podcast-denny-sumargo?page=all
- Suara.com. (2024, Oktober 29). Agus Salim dulu kerja apa? Nestapa disiram air keras oleh karyawan berujung kisruh uang donasi . https://www.suara.com/lifestyle/2024/10/29/173257/agus-salim-dulu-kerja-apa-nestapa-disiram-air-keras-oleh-karyawan-berujung-kisruh-uang-donasi
- Tirto.id. (2024). Sosok Agus Salim di mata karyawan dan alasan disiram air keras . Tirto. https://tirto.id/sosok-agus-salim-di-mata-karyawan-dan-alasan-disiram-air-keras-g46Z