Views: 9
Solidernews.com – Di salah satu sudut kampus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta setiap Selasa sore, rutin terdengar suara gemuruh kok bulutangkis yang ditangkis raket dan gemuruh bola yang menggelinding dengan bunyi-bunyian khas di antara tangan-tangan mahasiswa difabel netra. Gedung Leadership Hall MM UGM, kini rutin difungsikan juga menjadi arena olahraga bagi para mahasiswa difabel UGM.
Tepat pukul 16.00 WIB, gedung seluas tiga lapangan bulutangkis itu mulai dipenuhi dengan gelak tawa dan keringat para mahasiswa difabel. Di satu sisi lapangan, Aulia Rachmi Kurnia, mahasiswa difabel netra asal Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia tampak serius mengarahkan bola dalam latihan goalball-nya. Ditemani kawan netranya, Atlet Goalball PEPARNAS 2024 itu menggunakan momentum ini tak hanya untuk melatih kemampuannya saja, tetapi juga sebagai media melepas stres dari padatnya rutinitas akademik yang ia jalani.
“Bermain goalball bersama teman-teman bikin beban kuliah agak lepas. Ini juga cara kami mengenalkan olahraga ini ke teman netra lainnya supaya makin banyak yang aware dan tertarik,” ujar Aulia, sembari mengatur posisi pelindung matanya sebelum melanjutkan sesi permainan.
Di sisi lapangan lain, seorang mahasiswa dengan tubuh agak gempal dan gerak gesit tampak menyapu kok dengan raketnya. Ia adalah Siham Hamda Zaula Mumtaza, mahasiswa autis dari Fakultas Peternakan. Siham rutin mengikuti latihan bulutangkis dalam kegiatan ini. Menurutnya, menjaga kebugaran fisik sangat penting, terutama bagi mahasiswa yang kerap lalai mengatur pola hidup sehat.
“Karena biasanya mahasiswa kan makan dan minumnya suka ngawur. Jadi energinya perlu disalurkan ke hal-hal positif,” ucap Siham sambil tersenyum kecil usai memenangi rally cepat dengan rekannya.
Kegiatan olahraga rutin ini merupakan bagian dari inisiatif Unit Layanan Disabilitas UGM yang telah berlangsung lebih dari satu tahun terakhir. Menurut Muhammad Irsyad, koordinator mahasiswa difabel di ULD, tujuan utama kegiatan ini adalah menciptakan ruang aman dan sehat bagi mahasiswa difabel untuk bersosialisasi dan membangun koneksi antarsesama.
Irsyad menjelaskan bahwa jenis olahraga yang dilakukan oleh mahasiswa difabel cukup beragam, tergantung pada kebutuhan dan kemampuan masing-masing. Mahasiswa difabel netra umumnya memilih bermain goalball, olahraga yang memang dirancang khusus untuk mereka. Sementara itu, bulutangkis lebih banyak diminati oleh mahasiswa dengan difabel fisik ringan, mental, maupun tuli.
Namun, Irsyad menambahkan bahwa tidak semua mahasiswa dengan difabel fisik mampu bermain bulutangkis. “Sebagai alternatif, mereka biasanya memilih aktivitas lain seperti jogging ringan mengitari lapangan sehingga tetap bisa menjaga kebugaran tanpa membebani fisik secara berlebihan,” jelasnya.
Baginya, kegiatan ini bukan sekadar olahraga, tapi juga ruang interaksi. Teman-teman jadi saling mengenal dan merasa punya komunitas yang mendukung.
Latihan yang berlangsung hingga 19.00 WIB ini memang masih bersifat internal, khusus bagi mahasiswa difabel UGM saja. Irsyad mengakui bahwa keterbatasan tempat menjadi kendala utama untuk mengundang peserta dari luar kampus. “Kami belum ada rencana untuk mengajak mahasiswa difabel dari kampus lain, karena memang tempatnya juga terbatas,” tambahnya.
Namun, ia tak menutup kemungkinan akan adanya kolaborasi di masa mendatang. Beberapa kampus seperti UIN Sunan Kalijaga, UNY, hingga UNU Yogyakarta disebut-sebut telah memiliki layanan mahasiswa difabel yang cukup mapan dan bisa diajak bersinergi.
Di tengah tekanan akademik yang tinggi, sesi olahraga ini menjadi katarsis (pelepasan emosi negatif melalui cara sehat yang konstruktif) yang membebaskan. Irsyad menekankan bahwa kegiatan fisik semacam ini mampu meningkatkan produksi hormon endorfin dan dopamin—dua zat kimia tubuh yang memicu perasaan bahagia dan mengurangi stres.
“Kegiatan kampus ngga hanya soal kuliah, tugas dan praktikum saja. Kesehatan mental itu juga sesuatu penting, dan olahraga bisa jadi jalan keluarnya,” tandasnya.[]
Reporter: Bima Indra
Editor : Ajiwan