Views: 20
Solidernews.com, Yogyakarta – Kasus kekerasan seksual terhadap perempuan difabel, masih sering terjadi. Pendampingan inklusif baik oleh keluarga, masyarakat, pemerintah maupun aparat penegak hukum (APH), belum maksimal. Kondisi demikian sering kali terjadi, meski kasus sudah lama terjadi. Difabel perempuan korban kekerasan, minim mendapatkan pelindungan dan pemulihan.
Mengingatkan pentingnya gerakan penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan difabel dilakukan Ohana Indonesia. Sebab, dampak kekerasan seksual bagi korban, tak hanya pada fisik saja, melainkan juga psikis. Karenanya, kekerasan seksual terhadap perempuan difabel, merupakan kejahatan berat. Kekerasan seksual bukan saja perkara virginitas atau keperawanan, namun juga harkat, martabat dan masa depan.
Berdasar catatan tahunan Komnas Perempuan Tahun 2023, kekerasan terhadap perempuan di ranah publik dan negara, secara umum, jumlah pengaduan kasus menurun pada tahun 2022 dari tahun sebelumnya, yaitu menjadi 457.895 dari 459.094. Penurunan pelaporan dihimpun dari data lembaga layanan dan Badilag.
Sementara pengaduan ke Komnas Perempuan meningkat menjadi 4371 dari 4322 kasus. Dengan jumlah ini berarti rata-rata Komnas Perempuan menerima pengaduan sebanyak 17 kasus /hari.
Kekerasan seksual terhadap difabel
Dari data di atas, tercatat kasus kekerasan terhadap perempuan difabel, sebanyak 72 kasus. Perempuan difabel ganda merupakan kelompok yang paling tinggi mengalami kekerasan. Yaitu sebanyak 27 korban. Perempuan dengan disafilitas ganda, adalah perempuan yang menyandang lebih dari satu jenis disabilitas.
Data pengaduan Komnas Perempuan, mencatat 7 (tujuh) pengaduan perempuan difabel yang mengalami kekerasan. Sebagaimana kasus terhadap perempuan pada umumnya, kasus kekerasan terhadap perempuan difabel paling tinggi terjadi di ranah personal. Adapun bentuk kekerasan yang dialami adalah kekerasan terhadap istri, 2 orang. Kekerasan terhadap anak perempuan, 1 orang. Kekerasan dalam pacaran, 2 orang. Sementara pelaku kekerasan adalah, suami, pacar, dan ayah tiri.
Adapun Ohana Law Center pada 2023 mencatat adanya 13 kasus kekerasan pada perempuan dan anak difabel. Sebanyak 2 (dua) kasus, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Serta, 1 (satu) kasus bulying telah selesai, dan 10 kasus pelecehan seksual yang saat ini masih dalam proses penegakan keadilan.
Pertanyakan perspektif APH
Sejumlah kasus di atas, sebagian besar tidak tertangani hingga tuntas. Lemahnya dukungan dan kepedulian masyarakat kepada perempuan difabel korban kekerasan, hal ini sangat disayangkan. Demikian juga dengan Aparat Penegak Hukum (APH) dan pemerintah masih minim pemahaman tentang perspektif difabel.
Belum semua pemerintah daerah mampu berbuat banyak untuk melakukan penanganan. Belum mampu memberikan pelayanan/pendampingan secara menyeluruh dan berkesinambungan, kepada perempuan difabel korban kekerasan seksual. Maka perlu meningkatkan pelayanan non litigasi dan jaminan kesehatan dan rehabilitasi pada perempuan difabel korban kekerasan dalam mengakses layanan.
Dari kondisi tersebut, maka Perlu adanya dukungan, kepedulian dan keterlibatan masyarakat berkaitan dengan pendampingan, penanganan dan pelaporan perempuan difabel yang menjadi korban kekerasan kepada APH. Gerakan penghapusan kekerasan seksual pada perempuan difabel, harus dilakukan oleh semua pihak.
Mereka, perempuan difabel korban kekerasan seksual, umumnya memiliki gangguan psikologi, semakin lemah dan kesulitan dalam hidup dan penghidupannya. Korban dan keluarganya tidak mampu melakukan upaya apapun, bahkan tidak pernah melapor karena malu. Tak jarang justru ketakutan dengan ancaman dari pelaku atau masyarakat sekitar tempat tinggalnya.
Sudah saatnya, Institusi Peradilan menyediakan akses keadilan, bagi semua orang tanpa kecuali. Termasuk lembaga dan bertanggung jawab untuk seluruh kalangan. Kondisi demikian, merupakan penyebab utama belum terimplementasikan peraturan hukum atau Undang-undang. Intitusi peradilah belum ramah. Belum mengakomodir serta memberikan akomodasi yang layak, pada perempuan difabel korban kekerasan. Sehingga, kasus kekerasan seksual pada perempuan difabel, tidak sampai ke ranah hukum.
Perempuan difabel korban kekerasan tidak mendapatkan pendampingan dan pelayanan dengan baik, tidak tertangani dan tidak mendapatkan keadilan dan hak-haknya sebagai korban. Sedangkan pelaku, tidak mendapatkan sanksi hokum. Alhasil, pelaku bepotensi melakukan kekerasan berulang.
Kebijakan yang diabaikan
Kebijakan atau payung hukum perlindungan terhadap perempuan difabel korban kekerasan, sejatinya sudah ada. Undang-undang Tindak pidana Kekerasan Seksual (UUTPKS) No. 12 Tahun 2022, sudah diundangkan. Namun demikian, penegakannya, tak juga menggembirakan korban. Kebijakan yang ada diabaikan, dimandulkan.
Kondisi demikian, melatarbelakangi Ohana Indonesia menandai Peringatan Hari Aknti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP), dengan berbagai kegiatan yang melibatkan perempuan didafebl. Bekerja sama dengan Universitas Duta Wacana (UKDW), kegiatan digelar di kampus tersebut selama tiga hari berturut-turut. Dimulai, Rabu (29/110 hingga Jumat (1/12). Kegiatan sekaligus menandai Peringatan Hari Disabilitas Internasional, yang jatuh pada tiap 3 Desember.
Undang-undang No.19 tahun 2011 tentang ratifikasi konvensi hak penyandang disabilitas, serta pengesahan UU No 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Adalah dua kebijakan yang berpihak pada difabel. Dua kebijakan yang diharapkan semakin memperteguh perjuangan difabel. Hingga terbebas dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi struktural dan kultural.
Demikian pula di tingkat local. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) salah satunya. Telah mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) No. 5 tahun 2022 tentang pelaksanaan penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas. Perda ini, juga memberikan perlindungan bagi penyandang disabilitas dari segala bentuk kekerasan.[]
Reporter: Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan Arief