Views: 1254
Solidernews.com. YOGYAKARTA, Oktober 2014, pagi hari. Satu dekade sudah. Suasana riuh ramai di Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Puluhan orang dengan disabilitas berhimpun. Mereka menghadiri sebuah acara yang dihelat Komunitas Deaf Art Community (DAC). Lomba melukis dan mewarnai untuk anak-anak difabel usia Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar, menjadi bagian dari acara tersebut.
Di antara para peserta lomba terdapat pasangan orang tua. Keduanya sedang mengantar dan menunggu tiga orang anaknya, yang kali itu menjadi peserta lomba. Menarik, tiga anak dari pasangan itu, bukan anak-anak difabel. Melalui sebuah obrolan, diketahui bahwa pasangan orangtua itu keduanya tuli. Namun. Ketiga anaknya, terlahir tanpa hambatan (non difabel). Si ibu bernama Dwi Rahayu Februati (Dwi) dan suaminya bernama Elfiandi (Andi). Adapun anak-anak mereka bernama (1) Abdullah Afif Habiburrahman; (2) Siti Nur Afifah; dan (3) Abdullah Atif Habiburrahman.
Kali itu adalah perjumpaan petama yang membekas, sekaligus menyisakan rasa kagum. Dari perjumpaan itu, Dwi dan Andi berkisah, bahwa keduanya bertahan hidup dengan membuka warung kelontong di tempat tinggalnya, di Gemawang Kabupaten Sleman. Warung mereka menjual air mineral, gas, beras dan berbagai kebutuhan rumah tangga lainnya. Ketika itu, anak pertama (Afif) dan kedua (Ifah), bersekolah di sekolah dasar. Sedang si bungsu (Atif) masih taman kanak-kanak. Tak bergantung dengan siapa pun, keduanya menghidupi anak-anaknya dengan hasil berjualan. Meski pendapatannya tak menentu, mereka tak lantas meminta ularan tangan keluarga.
Dwi juga bercerita, bagaimana dia dan suaminya membesarkan ketiga anak-anaknya. Salah satu yang disampaikan, dia mengaku bersyukur dikaruniai tiga anak-anak cerdas, berbakti dan berprestasi. Anak pertama menjadi juara I di kelasnya, demikian juga dengan anak keduanya. Anak-anaknya juga rajin membantu pekerjaan rumah, berbakti dan menghargai orangtua.
“Lombanya memang untuk anak-anak difabel, tapi anak saya semuanya nondifabel. Namun, panitia mengizinkan anak-anak saya mengikuti lomba menggambar dan mewarnai,” demikian ujar Dwi sang ibu sepuluh tahun silam.
Demikianlah. Kebahagiaan membuncah terpancar pada keluarga itu. Dengan sabar sang ibu mendampingi anak perempuannya, yang dipanggil dengan nama Afifah. Sesekali gadis cilik itu menunjuk pensil warna, dan meminta sang ibu membantu mengambilkannya.
Dwi Rahayu Februarti, lahir 12 Februari 1979, sebagai anak kedua dari tiga bersaudara pasangan H. Djumadi (1950 – 2006) dan Hj. Suprihayati (1950 – 2023). Kakak perempuannya bernama Eka Septi C, sedang adik lelakinya bernama Ahmad Rihdo Sangaji.
Sang ‘Teladan’
Sejak pertemuan pertama di TBY 2014 itu, tak lagi ada perjumpaan dalam dua tahun berikutnya. Hingga pada 2016, Dwi Rahayu Februarti terpilih sebagai Ketua Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (DPC Gerkatin) Sleman. Sejak kabar baik itu, mulailah membuat janji temu, untuk mengobrol santai dan berdiskusi.
Selama 3 periode (2016 – 2024), Perempuan lulusan SMPLB Negeri Tempel, Sleman itu, mampu dan berhasil memotori organisasi tuli. Masa kepemimpinannya, sejatinya hanya dua periode. Namun karena berhasil memajukan organisasi, Dwi kembali dipilih menjadi ketua untuk periode 2022 – 2025.
Berbagai kegiatan penguatan ke dalam dan berbagi untuk masyarakat, merupakan kegiatan yang diprogramkan. Pemberdayaan anggota Gerkatin Sleman beberapa kali diagendakan. Mengajak seluruh anggotanya menjadi Tuli mandiri dan percaya diri, menjadi tujuannya. Organisasi yang digawanginya juga mengagendakan mengajar bahasa isyarat bagi masyarakat yang ingin belajar.
Jiwa sosialnya tinggi. Karenanya, tak hanya memipin organisasi tuli, Dwi juga menjadi Anggota Difabel Tanggap Bencana (Diftagana) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Memperjuangkan hak aksesibilitas tuli dalam kebencanaan, dilakukannya. Dia juga seringkali menjadi juru bahasa isyarat (JBI) di lingkungan Diftagana. Dwi, perempuan Tuli sedari lahir ini, beberapa kali menjadi narasumber pada berbagai even, baik di tataran lokal maupun nasional.
Dia juga aktif berkiprah dalam kegiatan politik pemilu. Bersama suaminya, Dwi terlibat aktif dalam berbagai kegiatan kepemiluan bersama Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU) D.I. Yogyakata. Karenanya, Dwi cukup dikenal publik. Tak hanya di lokal Sleman dan D.I. Yogyakarta. Namun juga di tataran nasional.
Ada yang lebih dari itu. Dwi ingin memberikan teladan kepada putra putrinya. Menjadi orang itu harus mandiri dan percaya diri. Menjaga hubungan sosial, baik dengan saudara, keluarga dan masyarakat pun dipesankan melalui contoh langsung. Dia juga ingin, anak-anaknya meninggalkan belajar. Karena dengan belajar, akan mengantarkan siapa saja pintar dan menggapai tujuan hidup. Ifah, anak kedua yang sekaligus putri satu-satunya, pada Selasa (24/12/2024) mengisahkan bagaimana ibunya selalu menyelipkan pesan-pesan sekaligus teladan.
Benar saja, kini anak-anaknya tumbuh menjadi remaja yang cerdas, berbakti dan berbudi. Anak pertama, Afif, kini menjadi mahasiswa semester I Ilmu Teknologi dan Informatika Vokasi UGM Yogyakarta. Afifah, duduk sebagai siswa kelas 2 SMA Negeri 1 (Teladan) Yogyakarta. Dan si bungsu Atif, bersekolah di SMP Negeri Mlati, Sleman Yogyakarta, kelas III.
Sandyakala
Senin malam (23/12/2024), berita mengejutkan datang dari Laksmayshita Khanza Larasati Carita (29). Ibu seorang balita itu menyampaikan kabar, bahwa Dwi Ketua Gerkatin Sleman meninggal karena kecelakaan. Dwi dobonceng suaminya yang bernama Andi, ditabrak truk di daerah Purwokerto.
“Dwi Februarti Ketua Gerkatin Sleman kecelakaan di Purwokerto, sore tadi sehabis magrib. Dwi meninggal, dan Pak Andi luka-luka,” kabar menyentak dibawa Shita.
Mendengar kabar Dwi Rahayu Februarti dan Alfiandi mengalami kecelakaan, ini sungguh mengagetkan. Karena dua minggu sebelumnya masih bertemu dan menyempatkan berbagi cerita tentang ketiga anaknya, sebagaimana ditulis dalam paragraf di atas.
Waktu berlalu begitu cepat. Time Flies. Selasa (24/12) pagi, pukul 10.00 WIB, almarhum Dwi Rahayu Februarti (45) dimakamkan di Makam Bulak Gayam Gemawang. Tempat Pemakaman Umum (TPU) yang tak begitu jauh dari kediamannya. Berjarak lebih kurang 500 meter. Sedang suaminya Elfiandi, dalam perawatan intensif di Rumah Sakit Panti Rapih, pada selasa petang.
Pamitan tak biasa
Usai pemakaman ibunda tercinta, ketiga anaknya, Afif, Ifah dan Atif menyempatkan berbagi kisah. Bapak dan ibunya, Senin (23/12) pagi itu, berpamitan kepada anak-ananya, tak sebagaimana biasanya. Tidak menyebutkan jelas mau pergi ke mana. Dari cerita ketiga putra-putrinya, alasan yang disampaikan berbeda-beda.
Sang ayah lebih aktif pamitan, demikian menurut ketiganya. Kepada Afif anak pertama, bapaknya pamitan akan pergi jauh. Sedangkan kepada Afifah, sang ayah hanya mengatakan akan pergi jauh. Dan kepada Atif, bapaknya mengatakan akan berkunjung ke beberapa keluarga dan kerabat di beberapa tempat, di Jawa Tengah.
“Saya pahamnya bapak pengin pergi jauh itu ke Jakarta. Jadi beda anak beda alasan. Biasanya itu dikumpulin kami anak-anaknya. Tapi kali ini pamitannya buru-buru,” terang Afif.
Adapun kata Afifah, pagi itu masih ayah dan ibunya masih ada acara di Jogja. Lalu menyempatkan pulang ke rumah. Baru berpamitan kepada Ifah, mau pergi yang jauh. “Tujuan pastinya saya agak lupa. Hanya pamit kalau mau pergi jauh. Soalnya kalau ditanya itu, jawabannya beda. Yang bapak mention itu ada banyak tempat. Yang pamit bapak, bukan ibu,” ujar remaja SMA itu.
“Tif, bapak mau silaturahmi ke rumah saudara-saudaranya yang di Jawa Tengah,” pesan sang ayah pada anak bungsunya.
Sementara, kepada rekannya Andi bercerita akan membeli dua motor untuk anak-anaknya. Tetapi anak-anak tidak diberi tahu. Bahkan, Afif mengatakan, “untuk masalah motor, sebenarnya saya sudah menolak. Saya mengatakan, tidak usah dibelikan motor baru. Saya akan mengumpulan uang sendiri, bapak dan ibu nambahin dikit saja. Saya yang ngurus semuanya. Tapi bapak kekeh tetep mau beli motor sendiri, di luar pengetahuan saya dan adik-adik,” kenang Afif.
Lanjut Afif, “Bapak sempat menunjukkan model motor dan harganya yang tidak masuk akal. Saya sudah bilang ke bapak. Itu scam (penipiuan). Tapi bapak tidak percaya dan ingin membuktikan sendiri. Detailnya motor itu ada di Bandung atau Jakarta saya tidak tahu. Di gambar yang ditunjukkan bapak, Motor Vario keluaran 2017, harganya Rp3 juta. Itu yang saya bilang ke bapak, itu scam. Tapi bapak tetep ngotot dan kekeh [kuat pendirian]. Saya tidak nyalahin bapak. Hanya bapak kan kurang edukasi dan terburu-buru. Juga mungkin saking, sayang dan cintanya kepada kami.”
Hingga pada pukul 17:10 WIB, sang ayah melakulan video call (v-call) dengan Ifah. Ketika itu dilihat Ifah, ayahnya dalam posisi tergekatak, sedang sang ibu dalam posisi sudah meninggal
Sebelum V-call bapak mengirim pesan di grup whatsapp keluarga. Grup whatsapp yang beranggotakan ayah, ibu dan tiga anaknya. Bunyi pesan yang dikirim ialah, “Fif, ibu meninggal di jalan.” Tapi ada typo huruf atau salah penulisan. Pikir Ifah, bapaknya salah nulis saja. Namun, tiba-tiba sang ayah mengirimkan lokasi.
Segera Ifah sadari, apa yang dikatakan ayahnya tidak salah. “Saya baru sadar kalau apa yang disampaikan bapak benar. Tidak mungkin kan ya kalau share lokasi tanpa alasan. Saya tanya, maksudnya gimana? Terus saya coba v-call di grup keluarga, tapi tak ada yang angkat sama sekali, hingga dering panggilan berakhir.
Tiba-tiba ada yang mengirm pesan, dengan tulisan: “mbak….” pakai HP-nya bapak. Kemudian ada panggilan v-call menggunakan HP bapak. Waktu saya angkat bapak tiduran di jalan, terlihat darah di beberapa bagiuan tubuhnya. Pertama yang disampaikan bapak, ibu meninggal di tempat. Maaf, bapak kurang hati-hati. Setelah itu, saya tunjukkan ke adik. Dan saya bilang bapak, sekarang jangan video call dulu, fokus ke yang ada di situ,” cerita Ifah.
Cukup kuat, sehingga mampu mengendalikan gejolak perasaan sedihnya. Ifah pun segera menghubungi saudara ibunya. Segera saudara perempuan sang ibu (budhe) dan saudara laki-laki (Oom), berkumpul. Bertiga (budhe, Oom, dan Afif), mengurus semuanya, hingga jenazah ibu tiba di rumah pada 02.30 WIB, Selasa (24/12) dini hari.
Keteladanan sang ibu sebagai perempuan mandiri dan teguh dengan prinsip, telah mengajarkan kepada ketiga anaknya, menjadi pribadi kuat, Bijaksana ketika menghadapi situasi sulit. Ketiganya mampu mengedepankan logika, menomorduakan perasaan. Teruslah tumbuh menjadi pribadi tangguh dan berjiwa besar anak-anak Dwi dan Elfiandi. Selamat jalan Dwi Rahayu Februarti. Beristirahatlah dalam kedamaian abadi.[]
Reporter: Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan