Views: 30
Solidernews.com, Yogyakarta – Bertempat di kantor Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia, sejumlah pegiat difabel dan inklusi nonton bareng debat calon presiden ke lima jelang pemilihan umum serentak tahun 2024. Nonton bareng dilaksanakan pada minggu (4/2) dan di siarkan langsung di channel Youtube SoliderTV.
Dalam debat calon presiden ke lima, tema yang diambil adalah beberapa tema yang relevan dengan upaya dan kerja-kerja yang dilakukan oleh pegiat difabel dan inklusi. Pada debat tersebut, ketiga pasangan calon presiden membahas berbagai tema terkait pendidikan, kebudayaan, ketenagakerjaan, kesehatan, informasi, toleransi dan inklusi. Joni Yulianto, selaku host pada live streaming debat mengatakan bahwa sebelum pelaksanaan pemilu pada tanggal 14 Februari, sebagai pegiat difabel harus kritis melihat topik-topik tersebut, “sejauhmana ketiga pasangan calon melihat topik tersebut dari sisi pemenuhan hak difabel di negara kita kedepan”.
Sebelum debat berlangsung, Soeharto, Ketua Dewan Pengurus Sigab Indonesia dan sekaligus Pengajar di UIN Sunan Kalijaga mengatakan bahwa dari perspektif difabel sebenarnya di debat sebelumnya para kandidat sudah menyampaikan soal difabel tapi masih umum dan masih normatif serta belum ketahuan apakah mereka sudah mendalami isunya dan apakah sudah punya ide dan gagasan yang progresif untuk mengatasi masalah atau tidak. “Kepedulian hanya sebatas kepedulian. Kali ini ada tema inklusinya maka diharapkan lebih memperdalam keberpihakan mereka atas isu-isu inklusif. Tapi kita juga tidak tahu akan seperti apa. Paling tidak kita juga menunggu komitmen dari kandidat yang terpilih agar bisa sering-sering berdialog dengan kita. Jangan sampai agar di didukung oleh difabel mereka berjalan sendiri dan tidak produktif. Jangan seperti UU Cipta kerja yang masih muncul kata-kata penyandang cacat padahal kita sudah punya UU 8/2016 tentang penyandang disabilitas.
Sementara itu, menanggapi visi misi yang disampaikan oleh ketiga pasangan calon, Tri Noviana dari Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS) menyampaikan debat kali ini tidak spesifik membahas inklusif tetapi justru menggabungkan antara kesejahteraan sosial dan inklusif. Tentu ini sangat berbeda karena kalau bicara Kesejahteraan Sosial banyak hal yang perlu dibahas tidak hanya bagi-bagi Bansos tetapi bagaimana kesejahteraan masyarakat dan pendidikan dan sebagainya. Sedangkan inklusi ini maknanya beragam di mana negara menciptakan otonomi daerah yang perspektifnya inklusi dan tidak terlihat pada oligarki. Mari kita melihat bagaimana investasi dan saat gejala teknologi informasi juga banyak bicara industrial dan investasi. Tapi tidak bicara bagaiimana undang-undang ITE yang masih banyak pasal-pasal karet di dalamnya. Bicara inklusif juga yang banyak dibicarakan hanya disabilitas padahal inklusi mempunyai makna yang lebih besar dari itu.
Lebih lanjut, menanggapi debat, Novi mengungkapkan bahwa prinsip keberagaman dan inklusivitas bahwa para calon menawarkan hal-hal di luar nalar yang sebetulnya masyarakat membutuhkan soal kualitas pendidikan kepada masyarakat Jadi bukan mendapatkan bantuan atau bersekolah di luar negeri. Sebenarnya kita harus melihat demokrasi kita hari ini tidak baik-baik saja dan represi semakin sering terjadi. Saat ini ada petisi yang disebarkan oleh perguruan tinggi dan jaga masyarakat sosial tetapi sayangnya pada diskusi hal ini toleransi tidak disebutkan padahal sebelumnya “Ketika kami audiensi ke KPU RI salah satu temanya adalah toleransi akan dimasukkan dan juga hoaks. Karena informasi hoax ini banyak sekali menyerang personal dan juga menggunakan identitas agama dan keyakinan. Tetapi saatnya kita dipertontonkan dengan sosok-sosok yang itu dilihat dari kebiasaan warga dan bukan kebutuhan warga Tetapi lebih pada karakter kartun yang dimainkan”.
Di akhir diskusi, Muhammad Syamsudin, salah satu peserta nonton bareng mengungkapkan bahwa debat tadi tidak ada yang secara real mengatakan isu difabel secara tepat dan inklusif secara tuntas. Lalu tidak menyinggung tentang kelompok rentan dan kelompok terpinggirkan secara tuntas. Lalu tidak menyinggung juga tentang keluarga difabel agar anaknya bisa kuliah dan mendapatkan pendidikan yang layak. Kalau tadi bicara pendidikan itu keluarganya dijamin dengan program satu keluarga miskin satu sarjana yang diunggulkan oleh salah satu pasangan calon, jika keluarga difabel ini tidak dijamin pendidikannya maka akan memunculkan kemiskinan baru. Lalu soal kekerasan dan juga bagaimana korban terdampak sama sekali tidak disinggung. Jadi yang saat ini jalan adalah bagaimana mendorong daerah untuk menjamin difabel bisa mengakses pendidikan dan lain-lain. Rekam jejak Gubernur perlu dilihat ketika di Jakarta dan seperti apa di jawa tengah seperti apa. Soal inklusivitas tidak dibahas secara detail dan hanya retorika. Jadi perlu dilihat rekam jejak Gubernur di Jawa Tengah dan Gubernur di Jakarta.
Soeharto, ketua Dewan Pengurus Sigab Indonesia nanggapi isu inklusi dalam debat bahwa setelah menyaksikan debat terakhir ini, ternyata paslon belum bisa mengarusutamakan isu difabel dan kelompok maraginal ke dalam tema-tema debat. Jadi PR ke depan adalah mainstreaming inklusif ini harus diperkuat. “jangan-jangan mainstreaming inklusi ini belum dimiliki oleh para penyelenggara pemilu dan para panelis. Jadi perlu menyebarkan prinsip-prinsip inklusi kepada semua pihak lainnya”.[]
Reporter: Sri Hartanty
Editor : Ajiwan