Views: 29
Solidernews.com -Yogyakarta. KEBIJAKAN pendidikan inklusi, dirumuskan berdasarkan prinsip kesetaraan. Dengan tujuan, anak berkebutuhan berbeda (difabel), dapat mengakses pendidikan sebagaimana anak lain, di sekolah reguler.
Namun, tantangan atau hambatan yang dihadapi dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi, masih saja menghantui. Di antaranya, minim sarana penunjang (aksesibilitas), terbatas pemahaman dan kompetensi para guru, sistem kurikulum belum mengakomodir kebutuhan siswa difabel, stigma, serta manajemen dan sumber daya sekolah kurang memadai.
Dengan istilah lain, ketiadaan (nir) ideologi inklusif, pada akhirnya menghadirkan berbagai tantangan. Ketika nir ideologi inklusif tersebut, tak segera diperbaiki, maka implementasi mewujudkan sekolah inklusi, terhambat dan tersendat.
Berbagai tantangan di atas, sejatinya dapat disiasati atau diperbaiki. Ada strategi yang dapat diterapkan guna mengatasi hambatan atau tantangan. Strategi tersebut ialah: 1) meningkatkan kualitas guru dengan mau praktik langsung, kurikulum inklusi; 2) family support atau dukungan keluarga; 3) mengkontekstualisasi proses pembelajaran; 4) kehadiran negara dalam penyediaan aksesibilitas untuk kebutuhan beragam; serta 5) kolaborasi dengan berbagai stakeholders, dalam skala regional, nasional, hingga internasional.
Refleksi pendidikan inklusi
Dewan pembina SIGAB Indonesia Suharto. Dia mengajak peserta webinar untuk melakukan refleksi tentang pendidikan inklusi. Pendidikan inklusif, kata dia, sebaiknya sudah dimulai sejak dini atau sedini mungkin. Dari keluarga, yang kemudian dikembangkan di sekolah dan lingkungan.
Karena, pendidikan inklusif, berupaya mengidentifikasi semua hambatan terhadap pendidikan dan menghilangkan serta mencakup segala hal. Mulai dari kurikulum, hingga pedagogi dan pengajaran (UNESCO).
Pendidikan inklusif. Berarti semua siswa menghadiri dan disambut oleh sekolah di lingkungan sekitar mereka. Di kelas reguler yang sesuai dengan usia mereka dan didukung untuk belajar, berkontribusi dan berpartrisipasi dalam semua aspek kehidupan sekolah.
Bagaimana mengembangkan dan merancang sekolah, ruang kelas, program dan kegiatan, sehingga semua siswa belahar dan berpartisipasi bersama. Dari sini pendidikan inklusif itu dikembangkan.
Sebab, pendidikan inklusif memastikan akses terhadap pendidikan berkualitas, bagi semua siswa secara responsif, menerima, menghormati dan mendukung. Siswa berpartisipasi dalam program pendidikan di lingkungan belajar yang sama, dengan dukungan. Hal ini untuk mengurangi dan menghilangkan hambatan yang dapat menyebabkan eksklusi.
Pendidikan inklusif dilaksanakan dalam lingkungan belajar bersama; yaitu suatu lingkungan pendidikan, ketika siswa dari berbagai latar belakang dan kemampuan berbeda, belajar bersama dalam lingkungan inklusif (Inclusive Education Canada).
Menurut Suharto, ada beberapa indikator yang terlihat, ketika pendidikan inklusif dinyatakan gagal. Indikator tersebut di antaranya: 1) tidak didasari ideiologi, filosofi dan etiket baik’ 2) tidak ada aksesibilitas alat bantu dan teknologi adaptif; 3) tidak ada profile and need assesment bagi calon peserta didik; 4) metode pembelajaran tidak sesuai dengan profile and need assesment.
Profile assesment, atau data disabilitas dengan berbagai menyertai pada peserta didik difabel, akan menentukan tindakan (treatment), juga metode yang tepat dalam pembelajaran. Karenanya, hal ini menjadi bagian penting.
Indikator ke: 5) stigma dan stereotype dalam lingkungan pendidikan; 6) komunitas sekolah (guru, murid, tenaga didik, orangtua) tidak menerima difabel; 7) keberadaan guru pembimbing khusus (GPK) yang tidak diakui dan belum mencukupi untuk peserta didik difabel; 8) UU Sisdiknas belum menjadikan pendidikan inklusif sebagai sistem pendidikan nasional; serta 9) Program studi FKIP belum memiliki kurikulum pendidikan inklusif dan tidak menyiapkan mahasiswanya menjadi guru sekolah inklusif.
Melihat situasi saat ini, untuk mencapai idealisme pendidikan inklusif, bukanlah perkara mudah. Banyak celah berlubang, yang harus segera ditangani, agar lubang tidak semakin menganga.
Terjebak mindset
Inklusi. Adalah upaya mengubah sistem sekolah dan sistem pendidikan menerima anak dengan kondisi apa pun. Menurut Setia Adi Purwanta, selama ini masyarakat masih terjebak pada pandangan keliru. “Selama ini kita fokus hanya pada anak. Cara pandang hanya pada sekitar anak bisa tidak, merata tidak, serta jenis disabilitas,” ujarnya.
“Peran guru penting. Bahkan sangat penting, telebih di sekolah inklusi,” ujar Direktur Eksekutif Dria Manunggal itu. Tetapi, pada dasarnya sekolah inklusi bukan untuk mengubah anak. Melainkan mengubah sistem sekolah. Yakni, perubahan akses, cara guru mengajar, kesiapan guru. Diimbangi dengan kesadaran bahwa sekolah dan guru harus berubah.
Menurut saya, kata Setia Adi, “Salah satu problem implementasi pendidian inklusif, justru pada cara pandang yang tidak tepat. Yang menempatkan peserta didik, masih menjadi fokus ideologi inklusi. Untuk itu perlu sekali melakukan mawasdiri, terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusi”.
Tambahnya, ada butir-butir yang perlu diperhatian terkait pendidikan inklusi. Pertama, ketika kita bicara pendidikan, maka kita terjebak pada bagaimana anak menguasai pelajaran tertentu, ini sudah beda.
“Pengajaran itu bagian dari pendidikan. Belajar itu bertujuan memerdekan manusia, membangun kebudayaan. Pendidikan merupakan proses ideologisasi kebangsaan. Pendidikan itu merupakan proses pemanusiaan manusia,” terang Setia Adi.
Kedua, ketika kita bica tentang pembelajaran, pendekatannya adalah formal dan struktural. Ketika bicara pendidikan, maka pendekatannya adalah budaya. Ini jelas sangat beda, lanjut Setia.
“Selama ini penjebakan pendidikan nasional itu dilakukan. Pendidikan hanya pada penguasaan anak pada pengetahuan. Bukan membangun budaya, memanusiakan manusia, memerdekakan manusia, memerdekan hati, pikiran dan keahlian,” tandasnya.
Budaya, berasal dan budi dan daya. Budi, menurut Ki Hajar Dewantara terdapat tiga komponen. Rasa, cipta, karsa. Ki Hajar Dewantara menekankan pada perasaan. Di dalamnya ada noor, noor Illahi. Karenanya, indikator keberhasilan seseorang menempuh pendidikan, adalah budi atau perasaannya yang terdidik. “Yang mebedakan manusia terdidik dan tidak terdidik adalah pada perasaannya, bukan pada titelnya,” aktivis isu disabilitas kawakan itu menggarisbawahi.
“Jangan-jangan, kita hanya dijebak. Kemudian sebagai sumber daya manusia, yang ujungnya dijadikan skrup industri. Jika begini, ketika nir ideologi inklusif tak segera disadari, maka terhambatlah sudah implementasi pendidikan inklusi,” demikian pikiran kritis Setia Adi Puwanta, pada webinar “Pendidikan Inklusif” yang dihelat Sigab Indonesia, Rabu (12/3).[]
Reporter: Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan Arief