Views: 14
Solidernews.com – Perdebatan mengenai layak atau tidak layaknya difabel ragam tertentu misalnya seperti sebut saja autistik, sindroma down, ADHD dan semacamnya untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi, masih terus bergulir. Khususnya di dalam badan Universitas Hasanuddin (Unhas) sebagai salah satu dari sedikitnya universitas yang menerima mahasiswa dengan kondisi neuro diversity. Dalam konteks lembaga penalaran sebesar universitas, perdebatan mengenai aspek-aspek krusial seperti ini sebenarnya bisa menunjukkan dua hal besar. Kemajuan, atau malah kemunduran para akademisi dalam mengkaji fenomena sosial.
“Neurodiversitas dan Neurodivergensi, disingkat ND, adalah suatu konsep yang menjelaskan variasi dalam otak manusia mengenai kemampuan bersosialisasi, pembelajaran, perhatian, suasana hati, dan fungsi mental lainnya dalam arti non-patologis.” (1). Secara sederhana, neuro diversity bisa diartikan sebagai keberagaman cara bekerja otak manusia.
Seorang siswa autistik yang belum bisa membaca, menulis dan menghitung tetapi memiliki keterampilan menggambar yang sangat akurat jika dibandingkan dengan seorang lelaki dewasa pekerja kantoran yang bisa membaca, menulis dan menghitung tetapi tidak memiliki keterampilan menggambar bisa menjadi contoh sederhana dari keberagaman cara kerja otak manusia itu sendiri. Sayangnya, keberagaman manusia ini dibatasi oleh standar-standar kenormalan yang dibentuk oleh para ableis dalam kontruksi sosial. Kontruksi sosial normal dan tidak normal inilah, yang menjadi hambatan terbesar bagi pemenuhan hak setiap warganegara.
Seolah kemampuan yang dihitung dan memiliki harga dalam kehidupan sosial hanyalah kemampuan membaca, menulis, menghitung dan bersosialisasi. Kemampuan lain seperti menghafal, menggambar, menyanyi dan macam-macam lain yang masih sangat beragam, tidak menjadi pertimbangan. Fakta inilah yang menjadi pemantik Pusat Disabilitas (Pusdis) Unhas, bersama para orang tua yang memiliki anak neuro diversity dan para mahasiswa yang memiliki ketertarikan pada isu neurologis ini berkumpul untuk merayakan hari ADHD pada Kamis, 31 Oktober 2024.
Dalam acara bertajuk “Rayakan Keberagaman Dalam Nuansa Inklusi” itu, Pusdis menyediakan ruang bagi tiga mahasiswa neuro diversity Unhas bernama Girandi, Alif dan Fikar untuk menampilkan keahlian mereka masing-masing. Yaitu Girandi dengan kemampuan melucu yang ia kemas melalui stand up comedy, Alif dengan kemampuan menghafalnya yang ia tunjukkan melalui tebak surah, ayat dan bahkan halaman Al-Quran. Dan juga Fikar, yang menebak nama-nama negara berdasar bendera yang ditampilkan. Pusdis juga mengadakan talk show dengan menghadirkan narasumber dengan back ground yang berbeda-beda seperti ahli neurologis, psikoloh klinis, psikiatri dan satu orangtua dari mahasiswa ADHD Unhas untuk mendengar cerita dari banyak prespektif. Dari talk show ini, Unhas lebih terbuka lagi untuk memahami konsekuensi sosial yang dihadapi oleh individu neuro diversity akibat dari kontruksi ableis yang menjadi hegemoni di Indonesia. Perayaan ini diharapkan dapat mengundang semua orang untuk mulai membahas peluang bagi individu neuro diversity untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.
indonesia adalah negara dengan toleransi terhadap perbedaan yang cukup tinggi, mengingat masyarakat ibu pertiwi pun berasal dari latar belakang yang beragam. Perbedaan warna kulit, suku, agama, bahasa dan kebudayaan dirangkul dalam satu simbol, pancasila. Tetapi ada satu keberagaman yang sampai dengan sekarang belum diberi ruang dalam pembicaraan akademisi dan masyarakat luas. Yaitu perbedaan cara bekerja otak manusia. Orang-orang dengan kemampuan yang berbeda seperti individu autistik, ADHD, skizofrenia, diksleksia dan lain-lain adalah warganegara. Bagian dari Indonesia yang tak dapat ditinggalkan. Seluruh hak mereka, tidak hanya menjadi tanggungjawab keluarga mereka saja, tetapi juga menjadi tanggungjawab negara.
Melalui pasal 28 dan Pasal 31 UUD 1945, Pemerintah menetapkan UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dari 77 Pasalnya, UU ini secara spesifik juga mengatur hak-hak anak (peserta didik) dalam pendidikan. Dan mengakui kewajiban negara untuk memenuhi hak pendidikan bagi seluruh masyarakat tanpa terkecuali (2). Tanpa terkecuali ini seharusnya juga berarti berlaku untuk individu neuro diversity yang meski seringkali tak mahir dalam kemampuan-kemampuan yang dijadikan standar masyarakat ableis, tetapi memiliki kemampuan-kemampuan lain yang bisa dimanfaatkan dalam profesi-profesi tertentu. Misalnya Alif dan Fikar yang memiliki daya ingat yang sangat tinggi, yang bisa dimanfaatkan dalam ilmu farmasi untuk menghafal rumus kimia, zat yang aman dikonsumsi manusia, atau ragam jenis obat-obatan dan fungsinya.
Sayangnya, meski Unhas telah membuka dua kali penerimaan khusus jalur afirmasi, tepatnya pada tahun ajaran 2023 dan tahun ajaran 2024, kesadaran mengenai keberagaman cara bekerja otak manusia ini belum masif diobrolkan dan apalagi diterima oleh keseluruhan tenaga pendidik. Unhas melalui Pusdis, memang berkomitmen untuk menciptakan dunia pendidikan yang inklusif untuk semua orang tanpa terkecuali. Tetapi ibarat sebuah kapal, Unhas adalah kapal raksasa yang berjalan dengan banyaknya ruang-ruang sistem kendali, dan semangat mengubah dunia menjadi dunia yang inklusif bagi individu neuro diversity ini belum masuk merata ke semua sistem kendali universitas.
“Kenapa ada orang yang begini diterima di Unhas,” ucap seorang dosen yang namanya dirahasiakan pada mahasiswa difabel dalam salah satu sesi kelas.
Ungkapan bernada negatif itu mungkin saja tak sengaja terucap, karena keterkejutan yang dirasa oleh seorang pendidik yang baru kali ini mendapati individu neuro diversity dalam ruang kelas perguruan tinggi. Tetapi alih-alih hanya mengendap, keterkejutan itu sebaiknya juga terkonfrensi menjadi bibit diskursus di kalangan dosen, terkait bagaimana cara kampus, selaku perpanjangan tangan negara dalam memberi hak pendidikan bagi masyarakat, untuk mengakomodir kebutuhan mahasiswa neuro di dalam kampus. Sudah saatnya para akademisi turun tangan untuk menyentuh isu keberagaman cara bekerja otak manusia. Lebih bagus lagi, jika Unhas bisa menjadi kampus pertama yang berhasil mempelopori pendidikan yang benar-benar inklusi bagi semua bentuk keberagaman, tidak terkecuali bagi mahasiswa neuro diversity.[]
Penulis: Nabila May
Editor : Ajiwan
Daftar Pustaka
- https://images.app.goo.gl/ViqygSVuYDy372Jh6
- https://bali.kemenag.go.id/bangli/berita/37839/setiap-orang-berhak-memperoleh-pendidikan