Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol simbol biru bagian kanan agak atas sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Ilustrasi Nessie (samaran)

Nessie: Antara Keinginan Belajar dan Kurikulum Yang Belum Memadai

Views: 10

Solidernews.com – Melalui laman ptinklusif.kemdikbud.go.id, solidernews berusaha untuk mengakses daftar perguruan tinggi yang menerima mahasiswa difabel. Jika merujuk pada data yang tersedia, ternyata sudah cukup banyak perguruan tinggi yang menyatakan diri siap menerima. Beberapa contoh di antaranya seperti Akademi Tata Boga Bandung, IKIP PGRI Pontianak, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Siliwangi, serta UIN Sunan Kalijaga. Ini menunjukkan trend positif tetapi di sisi lain, juga menunjukkan trend mengecewakan. Di mana kenyataannya, belum semua kampus dengan label inklusi tercantum di dalam data tersebut dan menyatakan diri menerima mahasiswa difabel tanpa terkecuali. Masih ada stigma kultural yang mau tak mau harus disandang oleh difabel pembelajaran, terlebih dalam ranah pendidikan. Sampai dengan sekarang, memang menyediakan pendidikan yang mampu mengakomodasi kebutuhan difabel pembelajaran masih menjadi tantangan yang harus dilalui oleh negara untuk memenuhi hak belajar setiap masyarakat, tanpa terkecuali.

Learning disability (British English) is a condition in the brain that causes difficulties comprehending or processing information and can be caused by several different factors. Given the “difficulty learning in a typical manner”, this does not exclude the ability to learn in a different manner. Therefore, some people can be more accurately described as having a “learning difference”, thus avoiding any misconception of being disabled with a possible lack of an ability to learn and possible negative stereotyping.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia: Learning disability (Bahasa Inggris Britania) adalah suatu kondisi di otak yang menyebabkan kesulitan memahami atau memproses informasi dan dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang berbeda. Mengingat “kesulitan belajar dengan cara yang khas”, hal ini tidak mengecualikan kemampuan untuk belajar dengan cara yang berbeda. Oleh karena itu, beberapa orang dapat digambarkan dengan lebih tepat sebagai memiliki “perbedaan belajar”, sehingga menghindari kesalahpahaman tentang ketidakmampuan dengan kemungkinan kurangnya kemampuan untuk belajar dan kemungkinan stereotip negatif.

Penulis sengaja menggunakan penjelasan dalam bahasa Inggris yang diambil dari Wiki Pedia berbahasa Inggris untuk menjelaskan peristilahan difabel pembelajaran, atau yang dalam bahasa Inggris disebut learning disability, karena informasi dan bacaan mengenai terminologi itu masih sangat minim digunakan di Indonesia. Padahal, kedua istilah ini (difabel intelektual dan difabel pembelajaran) memberikan stigma dan label yang jauh berbeda antar satu sama lain.

Di Indonesia, fenomena difabel pembelajaran masuk ke dalam kampus dan berkuliah seperti mahasiswa non difabel masih menjadi hal yang jarang ditemui. Adanya egoisme keilmuan yang mengagungkan keintelektualitasan suatu jurusan, atau bahkan gengsi kelembagaan membuat difabel pembelajaran tersisih dalam ranah perguruan tinggi. Difabel pembelajaran yang dalam tanda kutip “dianggap tidak pintar”, memuat kampus-kampus menjadi sangat mungkin menolak mereka untuk masuk dan belajar bersama mahasiswa-mahasiswa lain yang dianggap pintar.

Seorang mahasiswa difabel pembelajaran di kota Makassar, yang namanya disamarkan oleh solidernews menjadi Nessie, berhasil menggemparkan pihak Universitas tempatnya diterima masuk. Belum adanya regulasi yang secara spesifik mengatur SOP pelayanan bagi mahasiswa difabel pembelajaran dari Kementerian Pendidikan dan minimnya pengalaman pihak kampus mengenai penanganan mahasiswa dengan ragam tersebut, membuat keadaan yang dihadapi Nesie menjadi sangat pelik. Dosen-dosennya tak tahu bagaimana harus memberikan nilai dengan mengacu pada capaian pembelajaran yang dimiliki oleh Universitas. Lebih lanjut, tiga dari enam dosennya mengeluhkan perilaku Nessie yang mereka anggap tidak kooperatif.

Menurut tiga dosen tersebut, Nessie adalah pribadi yang sangat pendiam. Dia tak pernah ingin menjawab pertanyaan dosen di dalam kelas. Bahkan, hanya ditanyai namanya saja, dia tak ingin angkat suara. Masih menurut ketiga dosennya tadi, Nessie tak pernah bisa mengerjakan tugas-tugasnya dengan baik dan benar. Kertas tugas atau ujiannya selalu berada dalam kondisi yang tak jauh berbeda. Kosong, atau dihiasi coretan yang tak nyambung dengan pertanyaan. Kendala berikutnya yang membuat dosen-dosennya cemas adalah beberapa waktu di mana Nessie mengganggu proses perkuliahan karena dirinya kerap  histeris di dalam kelas.

Sebenarnya, keluhan-keluhan yang dilontarkan oleh sejumlah dosen tersebut bisa dijelaskan jika mengingat status Nessie sebagai  individu autisme. Autisme  adalah kondisi neurodevelopmental yang biasanya mempengaruhi interaksi sosial, minat, kemampuan berkomunikasi dan juga perilaku seseorang. Menurut SiloamHospital.co.id, individu autis memiliki kemungkinan yang terbilang cukup besar dalam mengalami kondisi-kondisi tertentu. Seperti kesulitan kontak mata, memahami sinyal pembahasan sampai dengan menangkap maksud gerak tubuh seseorang. Individu autis juga kesulitan untuk memahami pola interaksi masyarakat. Tingkat sensitivitas yang berbeda, bisa saja lebih tinggi dan bisa juga lebih rendah, membuat individu autistik rentan atas perubahan suasana hati dan perilaku di tengah masyarakat. Hal-hal ini yang mungkin dihadapi oleh Nessie, tapi belum bisa dipahami oleh beberapa dosen yang menjadi pengampu mata kuliahnya. Dan ketidaktahuan dosen yang kemudian berbuah keheranan, keputusasaan dan bahkan kejengkelan masih sangat bisa dipahami. Terbiasa menghadapi mahasiswa non difabel dengan perilaku yang nyaris seragam, membuat para dosen memerlukan waktu untuk menyesuaikan dengan perbedaan-perbedaan yang akhirnya muncul setelah Nessie masuk dan menjadi mahasiswa mereka.

Kepala prodi (kaprodi) Nessie, dalam pertemuan itu ikut memberikan pendapat. Katanya, ia telah beberapa kali bertemu dengan Nesie di dalam kelas, di dalam ruangannya sampai dengan di luar kelas dan ruangan.

“Kalau di dalam kelas dan ruangan, Nesie itu diam. Tidak pernah mau bicara. Seperti orang yang ketakutan. Tapi beberapakali, saat saya ketemu di luar kelas, dia menegur saya duluan. Bahkan saya tak tahu bahwa Nesie ada di sana. Tapi dia menegur saya dengan kalimat-kalimat sederhana seperti assalamualaikum, Bu. Atau selamat siang, Bu. Kalau saya tanya kabarnya, dia sudah belajar atau belum, dia mau ke mana. Asal di luar kelas, itu dia pasti jawab. Ya meski memang untuk mendepskripsikan sesuatu itu sepertinya belum bisa. Pernah juga sekali waktu di dalam ruangan saya, waktu itu ada ibunya Nesie juga. Ibunya bilang ke Nesie, Nesie cukup satu semester saja kuliahnya. Dia tidak beri sanggahan, tapi dia menangis. Itu kan bentuk respon ya? Bahwa dia mau kuliah, dia benar-benar mau.”

 

Nyaris senada dengan kaprodi, beberapa dosen pengampuh mata kuliah yang diikuti Nesie pun menyuarakan hal yang sama. Bahwa Nesie memang tidak dapat mendepskripsikan sesuatu apalagi berdebat oleh orang lain, tetapi setidaknya dia bisa terlihat enjoy di luar kelas. Ini menunjukkan adanya celah yang bisa diisi oleh Universitas, fakultas, prodi dan juga dosen-dosen untuk membantu Nessie dalam proses pembelajaran.

Masuknya individu dengan neuro diversity ke dalam kampus ini adalah fenomena yang tak lazim, fenomena yang baru, yang masih membutuhkan penyesuaian demi penyesuaian. Faktanya di Indonesia, sistem segregasi yang memisahkan anak difabel dan anak nondifabel di ranah pendidikan dasar, menengah pertama dan menengah atas telah meminggirkan individu difabel dalam waktu yang sangat panjang. Membuat orang-orang tak terbiasa dengan keberagaman yang dimiliki oleh siswa dan atau mahasiswa difabel. Masuknya difabel pembelajaran ini menyebabkan terjadinya dekonstruktisasi di dalam kampus. Mau tak mau, hal yang selama ini dianggap ideal oleh kampus, di mana standar untuk masuk ke perguruan tinggi adalah standar kepintaran tertentu, ternyata tak benar-benar ideal. Ada kelompok-kelompok tertentu yang tidak diakomodir oleh pemberlakuan itu. Sesuatu yang awalnya dianggap ideal, mulai diragukan. Sebagian yang agak sulit menerima, akan membuat perlawanan dan membentengi diri. Sebagiannya lagi mau legowo membenah diri. Tapi apapun respon yang ditunjukkan, perubahan itu harus dan akan tetap dilakukan.

“Ini bukan hanya komitmen kampus kita, tapi juga komitmen dunia. Tidak ada satupun orang yang bisa tertinggal. Kita sudah sepakat untuk menerima mahasiswa dengan ragam apapun. Langkahnya tentu bukan hanya sampai di tahap menerima dan memasukkan mereka ke fakultas. Harus ada proses lain yang harus ditempuh lagi, tentu saja bersama-sama, untuk memastikan semuanya clear sampai ke akar-akarnya. Bagaimana mahasiswa difabel ini kemudian belajar, bersosialisasi, mengakses setiap fasilitas kampus dan lain sebagainya. Itu menjadi tanggung jawab kita bersama. Menerima mahasiswa difabel adalah mandat dari rektor, yang harus saya teruskan. Dan tentu saja, harus semua orang di dalam kampus teruskan juga,” jelas dekan fakultas tempat Nessie tercatat sebagai mahasiswa.

Individu autistik sendiri memiliki dua hitungan usia. Yaitu usia kalender, dan usia mental. Usia kalender adalah usia yang lebih lazim dikenali oleh masyarakat. Dihitung dari hari lahir seseorang, sampai dengan waktu di mana usia itu dipertanyakan. Sedangkan usia mental adalah usia berdasarkan kemampuan emosional, kognitif dan sosial seorang individu, yang mana untuk persoalan usia mental ini, psikolog menjadi pihak yang dianggap kompoten untuk menentukan usia mental seseorang. Pada Nessie, misalnya. Ia memiliki usia kalender dan mental yang berbeda. Jika kemudian individu autistik masuk ke dalam kampus, tentu saja kampus memerlukan standar dan metode-metode yang baru. Yang disesuaikan dengan usia mental dan cara belajar yang dapat mengakomodasi kebutuhan Nessie sebagai individu autistik.

Mengapa masih ada saja orang yang berpikir bahwa difabel pembelajaran tak dapat atau tak cocok untuk ikut masuk ke Universitas? Apakah perguruan tinggi diciptakan benar-benar hanya untuk manusia dengan tingkat IQ tertentu? Rata-rata 100, misalnya?

 

Padahal, tujuan-tujuan didirikannya perguruan tinggi yang dijelaskan di dalam buku berjudul Filsafat ilmu pendidikan: suatu pengantar tidak sama sekali menolak individu autistik untuk bisa berkuliah. Beberapa tujuan di antaranya seperti mengembangkan potensi individu, menciptakan pengetahuan baru dan mengabdi kepada masyarakat. Difabel pembelajaran, jika kemudian masuk ke dalam perguruan tinggi, juga dapat mengembangkan potensinya secara individu.

“Dulu sebelum kuliah, Nessie itu ke mana-mana harus ditemani. Harus diantar. Tapi makin ke sini, dia makin mandiri. Kalau ke kampus sudah tidak mau diantar lagi. Kepercayaan dirinya terlihat jauh lebih meningkat,” sebut orang tua Nessie.

Potensi diri yang dipertimbangkan seharusnya bukan hanya menjadi mampu membuat artikel ilmiah, misalnya. Atau menjadi juara Pimnas, debat bahasa Inggris, Olimpiade Kimia. Tetapi hanya sekadar peningkatan kepercayaan diri seorang Nessie, pun adalah bukti pengembangan potensi mahasiswa neuro diversity yang tak bisa dianggap sepele. Juga soal tujuan perguruan tinggi untuk menemukan pengetahuan baru. Jika kampus menerima mahasiswa pembelajaran, pengetahuan baru mengenai keberagaman neuro diversity saat mereka berada di dalam lingkup Universitas akan berkembang dengan pesat. Difabel pembelajaran bukan hanya bisa menjadi objek penelitian, tetapi bahkan bisa turun langsung dalam memberi gambaran mengenai diri mereka. Tubuh, interaksi, keinginan, kebutuhan dan keberagaman yang mereka miliki. Selain itu, dalam konteks tujuan perguruan tinggi untuk mengabdi kepada masyarakat. Memberi kesempatan bagi semua orang untuk berkuliah ini, bahkan, adalah sebaik-baiknya pengabdian yang bisa diusahakan oleh Universitas.

Jika sebuah Universitas mengikrarkan diri sebagai kampus inklusi, berarti mereka harus menerima mahasiswa pembelajaran. Juga bukan hanya menerima, tetapi menyediakan fasilitas pendukung. Baik itu bagi mahasiswa pembelajaran agar mendapat metode yang sesuai dengan cara belajar mereka, juga kepada dosen agar dapat menyesuaikan diri. Tidak punya capaian pembelajaran bagi ragam difabel tertentu, berarti Universitas harus segera merakit metode dan standar-standar yang disesuaikan, untuk mempertanggungjawabkan ikrar mereka yang menyebut diri kampus inklusi. Inklusi tentu saja bukan hanya bagi difabel Tuli, netra, fisik dan mental. Difabel pembelajaran juga adalah bagian dari kelompok difabel, dan mereka sangat pantas, untuk juga masuk ke Universitas.[]

 

Reporter: Nabila May

Editor      : Ajiwan

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content