Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol simbol biru bagian kanan agak atas sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Musisi Jay Afrisando, Ciptakan Musik yang Bisa Didengar Melalui Mata

Views: 5

Solidernews.com. BERANGKAT dari rasa ingin tahu, bagaimana tuli menikmati musik. Jay Afrisando, seorang komposer, peneliti, dan musisi asal Bantul, Yogyakarta, menekuni seni musik dengan pendekatan multisensory, atau multiindera. Ia mempertunjukkan karya-karyanya di Washington D.C. dan New York, pada Juni tahun ini. Meningkatkan kesadaran masyarakat, bahwa musik bisa dinikmati semua orang, terlepas dari berbagai kondisi dan cara, menjadi tujuan.

Jay menggagas lokakarya Embodied Music Club, pada Festival Audio Interaktif Sound Scene, di Museum Hirshhorn, Washington D.C. (4/6/2024). Di sini, peserta lokakarya dapat membaca notasi gambar taktil (timbul) berwarna hitam-putih. Ada yang berbentuk garis, bulatan, hingga emoji yang dicetak timbul. Melalui sentuhan jari, peserta dapat menginterpretasikan sendiri, bagaimana notasi berbunyi.

Kali ini merupakan kali kedua Jay berpartisipati dalam festival Sound Scene. Sebelumnya pada 2022, ia memamerkan karyanya yang berjudul “In Which to Trust?”. Berupa instalasi lima layar berisi film yang sama, namun diberi caption atau takarir oleh lima orang dengan kondisi pendengaran yang berbeda. Sehingga, pengunjung instalasi dapat memahami adanya persepsi beragam atas video-audio yang sama.

“Saya belajar dari teman-teman tuli, juga teman-teman yang pendengarannya cukup beragam. Bahwa musik itu tidak hanya berbentuk satu yang didengar lewat kuping saja. Tapi bisa didengar lewat mata (visual listening) gitu. Didengarkan lewat perabaan, dalam bentuk sentuh, dalam bentuk getaran yang kita tangkap lewat tubuh kita, lewat kulit kita,” ujar Jay dalam sesi presentasinya.

Intinya, lanjut Jay. “Bahwa kita semua mendengarkan dengan cara yang berbeda-beda. Karena kondisi pendengaran kita semua berbeda. Ada yang ‘normal’, ada yang juga teman-teman tuli, half of hearing atau kesulitan dalam mendengar. Ada pengguna implant cochlea, pengguna hearing aids atau alat bantu dengar.”

 

Memupuk empati

Dengan memahami bahwa, setiap orang mendengar dengan cara dan kondisi yang berbeda, Jay berharap, rasa empati terhadap sesama semakin terpupuk. Agar, orang-orang dengan beragam kondisi pendengaran bisa saling berinteraksi, dan berbagi ruang yang lebih inklusif. Festival Sound Scene menjadi salah satu ruang tersebut.

Kurator Festival Scene Jocelyn Frank mengatakan, bahwa menciptakan acara yang aksesibel amatlah penting. “Bagi yang tak mendengar, seolah jadi bisa mendengar. Yang tak bisa melihat, seolah bisa melihat. Dan bila anda memiliki kondisi indera dan neurologi berbeda, anda bisa datang ke acara seperti ini.  Dan menemukan sesuatu yang bermakna dalam dan bermanfaat bagi anda,” ujarnya.

Tak hanya itu, lanjut dia, Jay juga merangkul orang dengan kondisi penglihatan beragam. Pengunjung bisa mendengarkan rekaman suara dengan headphone, sambil membaca caption (tulisan) secara visual maupun dengan huruf braille.

Leah Atwa, seorang Intepreter ASL Embodied Music Club, dia mengatakan, Jay membuat gebrakan dengan apa yang dilakukan. Dan betapa aksesibel ciptaannya. Saya telah berkeliling di festival sound scene hari ini. Dan saya mendengar, festival ini favorite para pengunjung.

Marie Mainil, salah satu pengunjung yang hadir di lokakarya Embodied Music Club, mendapat pencerahan setelah mengikuti workshop itu. “Lokakarya ini, memberi cara berbeda dalam menciptakan musik. Membantu saya melihat lebih dari sekadar proses penciptaan musik yang biasa dilakukan. Menciptakan musik dengan orang dan cara yang berbeda. Dan ini sangat keren,” kata dia.

Seorang seniman difabel netra Andy Slater yang terlibat dalam proses creative embodied music club, mengapresiasi upaya Jay menciptakan notasi gambar yang aksesibel dan inklusif.

Pendiri Society of Visually Impaired Sound itu mengatakan, bahwa cara tersebut akan membuat orang tertarik menggunakannya. Terutama karena diperkenalkan dengan cara yang ramah dan menyenangkan. Sehingga tidak membuat peserta kewalahan, layaknya partitur musik yang rumit dan banyak.

 

Meningkatkan kesadaran

Jay, yang mengawali karir sebagai komposer pada 2009 dan menekuni musik jazz, mengantongi gelar posdoktoral dari University of Minnesotta Twin Cities dalam bidang komposisi musik. Jay telah meraih beberapa penghargaan, diantaranya Ambassador’s Award for Excellence 2019 dan Minnesota Emerging Composer Award 2016. Jay juga sempat memberikan kelas gratis bagi para komposer Indonesia yang baru meniti karir.

Terlepas dari antusiasme penikmat karya-karyanya, Jay mengungkapkan bahwa upaya meningkatkan kesadaran tentang musik yang inklusif masih menjadi tantangan tersendiri, salah satunya di tanah air.

Menurut Jay, konsep keragaman aural sebenarnya cukup awam di kalangan masyarakat Indonesia, misalnya melalui lagu yang diterjemahkan ke dalam bahasa isyarat oleh interpreter di acara musik. Di sisi lain, publik juga perlu meninggalkan prasangka terhadap orang-orang dengan pendengaran ataupun tubuh yang berbeda. Faktor lainnya adalah seni dianggap bukan kebutuhan pokok dan hanya sebagai hiburan semata, padahal menurutnya seni juga bisa menjadi sarana edukasi yang menarik bagi masyarakat untuk mendapatkan pengetahuan lebih banyak tentang disabilitas.[]

 

Reporter: Harta Nining Wijaya

Editor     : Ajiwan

 

Catatan:
Artikel ini ditransfer dari salah satu video youtube Jay Afrisando, dengan alamat surel
: https://www.youtube.com/c/JayAfrisandoWorks.

 

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content