Views: 15
Solidernews.com – Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang selalu diperingati pada 2 Mei merupakan momentum penting bagi bangsa Indonesia. Perkembangan pendidikan yang berkualitas, inklusif, dan merupakan kebutuhan dasar bagi warga Indonesia, seiring waktu terus berkembang. Pada momen inilah refleksi, renungan, dan perbaikan dapat dilakukan dengan penuh kesadaran oleh semua lapisan masyarakat.
Pelajar difabel memiliki hak yang sama dengan peserta didik yang lain, untuk mendapatkan pendidikan bermutu, pengajar yang berkualitas, serta lingkungan pendidikan yang suportif bagi pertumbuhan pelajar difabel. Sebagaimana amanat UU. No. 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas, pasal 10, menjelaskan bahwa masyarakat difabel berhak untuk mendapatkan layanan pendidikan. Hak tersebut meliputi hak untuk mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan layanan pendidikan yang bermutu di semua jenis, jalur dan jenjang pendidikan.
Project officer Gerakan Optimalisasi Orgnisasi Difabel (GOOD) dari Sigab Indonesia, Agung Prabowo, dalam acara Indonesia Bisa “Suara Disabilitas” bersama Pro1 Rri Samarinda, menjelaskan bahwa pendidikan itu merupakan kebutuhan dasar bagi masyarakat Indonesia, tak terkecuali difabel. Pemenuhan hak, penyiapan pendidikan bermutu, dan tenaga ajar juga guru pendamping khusus (GPK), turut menjadi tugas pemerintah. Agar memastikan pendidikan dapat diakses lapisan masyarakat difabel, secara menyeluruh dengan ragamnya.
“Sehingga pendidikan itu merata untuk semuanya. Namun, hal-hal itu masih menjadi perjuangan bersama. Kualitas pendidikan di Indonesia belumlah merata. Apalagi bila berbicara soal persebaran SDM pengajar murid difabel. Kita harus terus membenahi,” ungkap Agung, Sabtu 3 Mei 2025.
Tantangan Pendidikan Bagi Difabel
Pada Hardignas tahun ini, tema yang diangkat adalah “semangat partisipasi semesta mewujudkan pendidikan bermutu untuk semua,” dari tema ini tentunya ada spirit besar yang terkandung didalamnya. Poin bermutu menjadi aspek penting yang harus dikembangkan di lini pendidikan anak berkebutuhan khusus dan sekolah inklusif. Sehingga peserta didik difabel dapat menerima pendidikan dan pengajaran dengan maksimal.
Meski begitu, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi pelajar difabel. Mulai hambatan mengakses sekolah—karena orang tua melarang—penolakan dari sekolah, serta problematika lainnya. Hal tadi, tentunya menghambat difabel untuk mendapat akses pendidikan yang bermutu.
Ketua Dewan Pengurus Sigab Indonesia, Suharto, menjelaskan bahwa kurangnya tenaga ajar yang mampu mendidik difabel, dengan kemampuan pendidikan inklusif itu masih kurang. Selain itu, persebaran perguruan tinggi dengan jurusan pendidikan bagi anak difabel itu belum merata ke seluruh provinsi di Indonesia. Sehingga aspek tersebut menjadi perhatian bersama untuk dikaji sekaligus mencari strategi untuk mengatasinya.
“Hambatan akses juga kadang terjadi karena anak difabel itu sendiri kurang melihat pendidikan sebagai hal penting. Selain itu, kurangnya tenaga ajar, jurusan yang mencetak tenaga ajar dengan kemampuan mengampu anak difabel, menjadi beberapa tantangan yang kini dihadapi. Dengan negara maju, Indonesia itu tertinggal 45 tahun untuk kualitas dan akses pendidikan yang merata. Maka itu menjadi tugas kita untuk mengejarnya,” jelas Suharto, dalam acara diskusi pro1 Rri Samarinda, 3 Mei 2025.
Refleksi Untuk Pendidikan Difabel yang Bermutu dan Inklusif
Menciptakan pendidikan yang bermutu dan inklusif bagi pelajar difabel merupakan tugas bersama-sama. Tidak hanya dari pihak sekolah dan pemerintah saja. Melainkan tugas orang tua, pelajar difabel, dan sosial masyarakat di lingkungan pendidikan. Atau bisa dibilang tugas kita semua tanpa terkecuali.
Hal awal yang harus dilakukan adalah mendorong anak difabel untuk memiliki semangat belajar. Hal ini dibarengi kesadaran penuh dari orang tua, bahwasannya pendidikan dan pengetahuan, juga merupakan kebutuhan dasar anak difabel. Lihat potensi, kembangkan, dan peran aktif orang tua, turut menjadi pondasi yang kuat untuk menyemangati anak di lingkungan pendidikan.
Reny Indrawati, pengurus Wahana Keluarga Cerebral Palsy (WKCP), menjelaskan bahwa peran aktif orang tua difabel itu sangat penting. Utamanya dalam mendorong akses ilmu pengetahuan bagi anak difabel. Ia menceritakan pengalaman pribadinya, yang memiliki anak difabel. Dengan mendorong potensi anaknya yang memiliki cerebral palsy dan difabel intelektual. Meski begitu, ia tetap mengusahakan pendidikan yang baik untuk anaknya.
Mulai memodifikasi cara belajar, mengenalkan dengan lingkungan, dan juga melibatkan sang anak di sekolah inklusif. Selain itu, berkolaborasi dengan guru di sekolah untuk menemukan metode belajar yang sesuai dengan anak, juga menjadi strategi agar pendidikan yang diterima anak difabel itu berkualitas. Sehingga inklusif itu diwujudkan juga dari dalam orang tua siswa.
“Saya terus mendampingi anak saya. Meski guru pendamping khusus itu belum disediakan oleh sekolah. Saya mendorong diri untuk terus mencari strategi, berkolaborasi dengan sekolah, juga berkomunikasi dengan teman-teman Adnan, agar bisa turut menyemangati anak saya,” jelas Reny, 19 April 2025.
Deni Septyan, seorang guru di SLB di Magelang, juga mengungkapkan bahwa inklusif itu juga tidak hanya soal sistem. Melainkan kesadaran dan memahami potensi anak. Sehingga anak bersekolah itu sesuai pada tempat yang dapat lebih mengembangkan kualitas si anak difabel.
“Misal anak tersebut lebih berkembang di SLB, tetapi karena orang tua malu, lantas memaksakan kehendak untuk memasukkan anak di sekolah umum, lalu si anak tidak nyaman dan kurang maksimal, itu malah menjadi tidak baik bagi si anak,” ujar Deni, saat dihubungi via telepon, 5 Mei 2025.
Mendorong pendidikan tinggi untuk membekali calon guru dengan kemampuan pendidikan ABK juga penting. Pemerataan jurusan pendidikan luar biasa di seluruh kampus juga dapat meningkatkan sumber daya yang berkualitas. Hal ini dapat dilakukan pemerintah dan perguruan tinggi, untuk menyadari bahwasannya pendidikan bermutu itu juga hak difabel, sebagaimana amanah undang-undang.
Dengan spirit Hari Pendidikan Nasional ini, diskriminasi, penolakan, dan pemisahan murid difabel itu harusnya tidak terjadi. Amanah undang-undang, peraturan daerah, instruksi presiden, itu dapat menjadi landasan. Sehingga institusi pendidikan harus terus berbenah.
Sofyan Sukmana, difabel netra sekaligus Pendiri Bimbingan Belajar Lentera Inklusif, menyoroti makna penting dari peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2025 yang mengusung tema “Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua”. Menurutnya, tema ini menekankan pentingnya kolaborasi dari seluruh elemen masyarakat—termasuk pemerintah, pendidik, peserta didik, orang tua, hingga dunia usaha—dalam membangun sistem pendidikan yang inklusif, adil, dan berkualitas.
“Semangat ini sejalan dengan nilai-nilai Ki Hadjar Dewantara, pelopor pendidikan nasional, yang memperjuangkan akses pendidikan tanpa diskriminasi bagi seluruh rakyat Indonesia. Saya berharap, ke depannya tidak ada lagi diskriminasi di dunia pendidikan, baik terhadap penyandang disabilitas maupun masyarakat umum di seluruh Indonesia,” jelas Sofyan, saat dihubungi via telepon, 5 Mei 2025.
Hardiknas sejatinya bukan hanya seremoni saja. Melainkan momen untuk kembali menyadari akan pentingnya pendidikan yang bermutu. Pendidikan yang dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat, tak terkecuali difabel. Momen ini, menjadi ajang untuk kembali berangkulan, berkolaborasi, dan bersama-sama menciptakan Indonesia inklusif makin nyata.[]
Reporter: Wachid Hamdan
Editor : Ajiwan







