Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol bagian kanan bawah sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Misbahul Arifin, Belajar dan Menekuni Agama Islam Jadi Jalan Hidupnya

Views: 16

Solidernews.com – Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, terkadang kita menemukan cahaya yang bersinar begitu terang di tengah gelapnya tantangan. Di kota Solo, terdapat kawan baik saya yang saya kenal dengan nama Misbahul Arifin seorang mahasiswa S3 yang memiliki kemampuan mumpuni. Misbah biasa saya panggil namanya dan yang membuatnya begitu istimewa adalah ketekunan dan semangatnya dalam mendalami agama Islam, meskipun ia mengalami hambatan visual.

 

Kisah hidup Misbah sangat berkesan bagi saya sejak pertama kali mengenalnya di tahun 2019. Meski mengalami hambatan visual, dia tak pernah membiarkan dirinya terpuruk dalam bayang-bayang keputusasaan. Sebaliknya, dia memilih untuk menghadapi tantangan dengan penuh semangat dan tekad yang kuat. Sejak awal, Misbah tahu bahwa belajar dan mendalami agama Islam akan menjadi fokus utamanya dalam hidup. Jalan ini tentu tidak jauh dari didikan kedua orang tua yang keras dan disiplin dalam hal pendidikan. Terbukti gairah belajar Misbah masih terus berlanjut hingga sekarang.

 

“Sudah berapa lama tinggal di Solo?”, tanya saya pada Misbah.

“Wah sudah 9 tahun saya, saya menangi Solo yang sejuk, sekarang rada panas”, jawabnya.

 

 

Pria yang ingin selalu berjiwa muda ini, tengah berjibaku dengan studi doktoral di UNS juga masih aktif di kegiatan keagamaan. Kesibukan yang ia tekuni ini tentu tak kalah padat dengan mahasiswa lainnya. Namun, yang membedakan dengan mahasiswa pada umumnya adalah bagaimana Misbah menyempatkan diri untuk aktif di masjid sebagai takmir, muadzin, dan bahkan penceramah.

 

Bagi kebanyakan orang, mungkin menjadi takmir atau muadzin adalah tugas yang sudah cukup menantang. Namun, bagi Misbah, itu hanyalah sebagian kecil dari panggilan hatinya. Dia ingin memberikan kontribusi lebih banyak lagi bagi masyarakat, terutama dalam hal agama. Sebagai seorang yang memiliki kepekaan mendalam terhadap kebutuhan spiritual orang-orang di sekitarnya, Misbah merasa bahwa menjadi takmir adalah cara terbaik baginya untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman spiritualnya.

 

Di sela-sela obrolan kami, sempat Misbah menyinggung penelitian untuk S3 nya yang berdasarkan pada keresahan dan pengalaman teman-teman difabel netra. Tentu hasil penelitian yang rencana akan dilakukan pada tahun ini sangat dinanti sebagai pembaharuan dan inovasi bagi pergerakan difabel di Indonesia. Saya senang mendengar terobosan yang akan Misbah lakukan yang tidak hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri namun juga bagi banyak difabel seperti Misbah.

 

Meski tak dapat melihat dunia dengan mata fisiknya, Misbah memiliki penglihatan yang tajam terhadap kebutuhan spiritual untuk mendalami Islam. Pada bulan Ramadhan lalu, ia aktif menjadi imam di masjid Sawunggaling (kampung sewu), masjid Jami’ Tegalharjo (Jebres), masjid Al Huda (Boyolali), sementara untuk tugas bilal juga ia lakukan di masjid raya Sheikh Zayed Solo.

 

“Saya juga ada kegiatan kecil-kecilan untuk pelatihan di SLB untuk Braille bagi guru dan PLB”, ucap Misbah bersemangat.

 

Hal ini menginspirasi banyak orang dengan semangatnya yang terus memberikan edukasi dan sensitisasi difabel ke banyak orang. Bagi saya, Misbah tidak pernah menjadikan penghalang dan keterbatasan untuk berkarya dan memberikan manfaat bagi orang lain dibuktikan dengan kegiatan yang ia gagas sebelumnya telah dilaksanakan pada tanggal 4 dan 5 April 2024 lalu. Keterlibatannya di organisasi difabel seperti TAD, ITMI, ULD Kebencanaan Surakarta, Jangka Jati, Takmir Masjid Nurul Huda UNS, Takmir Masjid Masjid Raya Syekh Zahed Solo, Ponpes Mangku Candi Alas Lami Klaten menjadi kesibukan lain di sela aktivitasnya sebagai mahasiswa S3 UNS.

 

Sejak kecil, Misbah terdidik untuk bisa dan paham Al Quran. Kedisiplinan dalam hal beragama sudah dipahami sejak Misbah usia dini. Keluarga yang agamis dan rumah yang dekat dengan pondok pesantren sehingga memungkinnya untuk berkegiatan keagamaan secara rutin dan mendalam.

 

“Saya dari kecil sekolah di tempat yang agama, MI, MTS dan MA hanya kuliah saja saya umum”, ungkap Misbah sambil terkekeh.

 

Cerita kisah masa kecilnya, Misbah di usia sekolah dasar (SD) memang sudah menghafal Al Quran. Misbah menyampaikan bahwa dirinya di usia SD hingga SMA, ia tidak pernah mengenal tulisan braille. Pertama kalinya Al Quran-Braille ia pegang saat kelas 12 MA (setingkat SMA) di Klaten. Menurutnya, memegang dan mempelajari Al Quran Braille perlu upaya khusus.

 

Kisah Misbah mengingatkan kita bahwa cahaya keberanian dan keteguhan hati dapat bersinar begitu terang di tengah kegelapan ketidakpastian. Kisahnya menjadi bukti nyata bahwa kondisi berbeda bukanlah penghalang bagi seseorang untuk mencapai impian dan memberikan kontribusi bagi masyarakat. Dalam dunia yang sering kali dipenuhi dengan pandangan negatif dan stereotip terhadap difabel, Misbah adalah contoh nyata bahwa setiap individu memiliki potensi yang luar biasa untuk meraih impian mereka, asalkan mereka memiliki tekad yang kuat dan keyakinan yang teguh.

 

“Membaca Alquran Braille bagi kawan difabel netra merupakan budaya yang tetap diadakan dan berkesinambungan tidak hanya pada bulan ramadhan”, tegasnya.

 

Di ujung obrolan saya, Misbah memiliki keinginan yakni mulai terbukanya lembaga TPA/TPQ (Taman Pendidikan Al Quran) untuk dapat menerima siswa difabel. Memang saat ini TPQ inklusi belum banyak ditemukan di Indonesia. Dari obrolan saya melalui sambungan telepon sejam lamanya, pesan yang cukup dalam bagi saya bahwa tidak dapat menilai seseorang berdasarkan penampilan fisiknya, tetapi melihat nilai sejati seseorang dari ketekunan dan kelebihannya. Misbah adalah bukti bahwa dalam setiap kegelapan, selalu ada cahaya yang siap memandu kita menuju ke arah yang lebih baik.[]

 

Reporter: Erfina

Editor     : Ajiwan

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air