Views: 10
Solidernews.com. Yogyakarta. DUDUK di sisi timur pintu masuk utama pasar Ngasem, dua orang difabel netra. Satu pria, satunya lagi perempuan. Membawa sendiri kursi yang didudukinya, mereka memposisikan duduknya menghadap ke arah matahari tenggelam. Si pria memangku speaker dengan ukuran cukup besar. Tangan kanannya memegang kantong dengan bahan sintetis, sedang ransel digendong di punggung. Perempuan yang duduk di sisi kirinya, memegang mic, dan tas ransel yang diletakkan di depan dada.
Mereka Suroyo (41) dan Novita Sofiani (42). Dua sahabat itu berpartner untuk mengais rejeki, dengan menjual suara merdu mereka. Sudah dua tahun terakhir, keduanya mengamen di pasar tradisional, yang berlokasi tak jauh dari Keraton Yogyakarta itu.
Tak berapa lama, diiringi musik karaoke lagu demi lagu dilantunkan. Secara bergantian, terkadang berduet, suara Soroyo dan Vita terdengar. Tampak terhibur para pedagang dan pembeli di Pasar Ngasem. Pagi itu, Sabtu (12/10), terlihat ada pengunjung yang turut bernyanyi. Ada juga yang sekededar memesan lagu lalu mendengarkannya.
Sudah dua tahun terakhir, Suroyo dan Vita mengamen di Pasar Ngasem. Bagi keduanya, mengamen adalah pilihan sementara, untuk sekedar bisa bertahan (survive) hidup dan menghidupi keluarga mereka. Pilihan terpaksa, demikian diakui oleh keduanya. Sulitnya lapangan kerja dan minim support system ketika akan berwirausaha, dirasakan keduanya.
“Sebenarnya, kami ini ya terpaksa. Bukan kami tak punya potensi lain, tapi memang karena tidak ada kesempatan. Menjadi pegawai, kesempatan itu sempit. Mau berusaha, kami tak ada support sistem. Makanya ya terpaksa mengamen,” ujar Suroyo.
Suroyo dan Vita, keduanya pernah mendapatkan pelatihan di PSBN Usaha Dewa. Beragam pelatihan keterampilan didapatkan, dalam tiga tahun (2002 – 2005) masa pelatihan. Memijat salah satunya. Latihan lainnya, bidang usaha home industry atau industri rumahan. Yaitu, meracik bahan minuman jahe wangi, membuat telur asin, juga kerajinan membuat sapu.
Vita menuturkan, bahwa pada 2003 – 2005, masih dalam masa pelatihan, dia sudah mempraktekkan pengetahuan yang didapatnya. Bersama teman-temannya mengemas bahan minuman jahe wangi, lalu dititipkan di angkringan sekitar tempat pelatihan. Yang menurut ibu dua anak itu, cukup laris.
“Selama dua tahun (2003-2005) sudah langsung dipraktekan bersama teman-teman. Alhamdulillah laku. Waktu itu dititipkan di angkringan, di sekitar BRTPD Pundong, Bantul. Cukup laris waktu itu,” terang Vita.
Namun, pasca keluar dari pelatihan usaha tersebut tak bisa dilanjutkannya. Tapi, Vita kerepotan. Karena, tidak ada orang yang membantu mengantarkan barang dagangannya. Mau menjualnya secara online. Tetap saja terkendala dengan ketiadaan asisten di rumah.
Keinginannya mengembangkan usaha home industry, masih disimpannya. Vita yang bersuamikan penyiar Radio Swadesi, Arjo Sentono, terpaksa mengamen. Dia mengaku harus membantu suaminya, untuk menghidupi dan menyekolahkan anak mereka.
Keberpihakan itu dibutuhkan
Sedang Suroyo, dia mengatakan sementara masih akan bertahan di Pasar Ngasem. Dia juga menyampaikan, bahwa secara umum yang paling mudah itu ngamen. Tapi, kata Suroyo, kami para tuna netra sebetulnya punya potensi apapun. Yang membatasi adalah lampu perjalanan dan marketing. Misalnya, mbak Vita bisa buat makanan (home industry), tapi sulit pemasaran dan pengantarannya. Nah lampu lalu lintas itu maksud saya marketing dan mobilitas.
Lanjutnya, “Pemangku kepentingan masih melihat kami sebagai objek penyaluran bantuan. Bukan tidak baik sih. Tapi akan lebih baik, ketika kami ini ditanya kebutuhannya. Atau, kami diberikan lahan, agar kami bisa berusaha dengan penghasilan layak per bulannya. Atau modal usaha, paska pelatihan keterampilan. Jadi keterampilan harus ada kelanjutan, sampai pemasarannya,” ujar Suroyo.
“Sebetulnya kita bukan tidak mau berusaha. Tapi, bagi kami membangunnya sulit. Terkadang, kita mau bangkit sudah dicegat orang nondifabel, karena kami dianggap tidak bisa. Keberpihakan itu sungguh kami butuhkan,” imbuhnya.
Suroyo juga berkisah. Bahwa jauh sebelumnya dirinya adalah pengamen Malioboro. Pada 2013, sempat terjadi penggarukan pengemis dan gelandangan. Dia dan kawan-kawan difabel netra lain yang mengamen di Malioboro, terkena dampaknya. Ditertibkan satpol PP Kota Yogyakarta, dan dibuang ke Panggungharjo.
“Kami ini hanya ngamen bukan mengemis. Kami tidak membuat kisruh. Tapi tetap saja kami dianggap gepeng (gelandangan dan pengemis). Gitar kami dianggap sebagai kedok saja. Lalu kami, 5 orang tuna netra ditertibkan. Kami dibuang ke Sewon. Satu hari dikasih makan 1 bungkus nasi,” kenang Suroyo.
Berikutnya, Suroyo pernah mengadu nasib di Klaten. Mengamen di sebuah resto. Kebetulan mendapat kesempatan dikontrak di resto tersebut selama 5 tahun. Mulai 2016. Penghasilan per bulan Rp740 ribu. Namun lama-lama menurun menjadi Rp500 ribu, pasca ada konflik internal resto yang disusul pandemi corona.
Selepas corona, Suroyo lagi-lagi ke Jogja. Karena masih ada ikatan dengan Jaya Musik, Suroyo menuju Malioboro. Ketika itu sudah mulai ada relokasi.
“Sempat di postkan di titik tertentu. Setelah corona malioboro anjlog, mati. Lalu masuk ke pasar-pasar mulai 2021. Akhirnya bertemu mbak Vita ini, Kami ngamen dari pasar ke pasar. Pernah di pasar Pundong, pasar Godean, Jejeran, Pleret. Kini, sudah dua tahun, kami di sini, di pasar Ngasem,” ujarnya.
Sambutannya warga pasar baik, diakui Suroyo dan Vita. Keduanya berharap seterusnya aman. Terkait penghasilan, mereka mengaku tak tentu. Kini berkaitan dengan konflik dan perekonomian negara, penghasilan mengamen kami pun menurun. Maksimal pendapatan kotor per hari Rp200 ribu. Lalu dibagi dua.[]
Reporter: Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan