Views: 4
Solidernews.com – Hari Rabu malam bagi saya sangat terasa berbeda, tepat di jam 18.35 saya masuk ke ruang utama GKI (Gereja Kristen Indonesia) Kutoarjo dengan sambutan tepuk tangan yang luar biasa dari jemaat. Di ruang pertemuan gereja, ada sekitar tujuh puluhan jemaat berkumpul dengan antusias untuk mengikuti kegiatan sensitivitas isu difabel. Tentu hal ini bukan sekedar diskusi biasa, karena kegiatan ini menghadirkan difabel dengan berbagai ragam seperti difabel fisik, difabel netra dan anak dengan down syndrome.
Permintaan dari salah satu kawan lama saya yang aktif sebagai pengurus GKI Kutoarjo saya penuhi walau ini menjadi pengalaman pertama. Bagi saya acara ini bukan hanya memberikan wawasan, tetapi juga salah satu langkah baik untuk mengenalkan isu difabel di lingkungan gereja. Tentu tujuan besarnya untuk membuka mata terhadap pentingnya gereja yang inklusif.
Hadirnya Difabel Membawa Kesaksian Nyata
Setelah acara dibuka dengan perkenalan oleh Agneis Yulianawati, waktu kurang lebih 40 menit diserahkan pada saya untuk memberikan pertanyaan pemantik bagi narasumber. Hadir pasangan suami istri difabel netra, Udin dan Umi yang saat ini aktif sebagai mahasiswa. Udin menceritakan bagaimana kecintaannya pada dunia musik sehingga mengantarkan pada bakat bermusik di Difa Netra Irama.
Cerita lanjutan disampaikan oleh Slamet seorang difabel fisik yang juga menjadi pengurus DPO (Disability People Organization) Purworejo yang menjadi pengusaha jamur tiram. Usahanya kini lambat laun dikenal orang dan membantu perekonomian rumah tangga. Ada pula Dwi, selaku orang tua dari anak down syndrome yang senantiasa bangga dengan sosok putrinya yang memiliki kondisi istimewa.
“Materi yang disampaikan sangat bagus, jelas, dan menarik, sangat membantu kami untuk memahami rekan-rekan kami yang disabilitas, serta dapat menambah ilmu bagi saya pribadi dan jemaat GKI Kutoarjo,” ungkap Agneis.
Cerita-cerita yang dihadirkan ketiga narasumber memang nyata, sehingga tak sedikit yang ikut bertepuk tangan setiap narasumber menyampaikan kalimat demi kalimat bagaimana perjuangan dan titik balik dari kehidupan mereka.
Belajar Melalui Interaksi
Selain mendengar cerita, jemaat juga diajak untuk terlibat langsung melalui simulasi. Salah satu peserta turut mencoba untuk membantu difabel netra turun dari panggung. Ada satu anak muda yang menanyakan bagaimana sikap saat bertemu dengan difabel?
“Kalau mau bantu misalnya menyeberang ya ditanyakan dahulu apakah berkenan untuk dibantu,” jawab Slamet.
Tak lupa Slamet juga menyampaikan kepada jemaat GKI bahwa difabel tidak ingin dikasihani, justru memberikan ruang dan kesempatan untuk berdaya adalah bentuk penghormatan kepada difabel.
“Pengalaman ini mengubah pandangan dari beberapa orang jemaat bahwa mereka terbuka untuk melihat difabel subjek. Hal ini menjadi isu yang saat ini mulai dibahas di GKI, mungkin sebelumnya kurang aware kali ini dihadirkan agar lebih terbuka,” jelas Andheta selaku pendeta GKI Kutoarjo.
Menciptakan Ruang yang Ramah Difabel
Kegiatan sensitivitas isu difabel ini tidak hanya berakhir pada pemahaman, tetapi juga menggerakkan gereja untuk mengambil langkah nyata. Pendeta GKI Kutoarjo, Andheta, menyampaikan bahwa gereja berkomitmen untuk terus meningkatkan aksesibilitas.
“Materi yang disampaikan sangat bagus, jelas, dan menarik, sangat membantu kami untuk memahami rekan-rekan kami yang disabilitas, serta dapat menambah ilmu bagi saya pribadi dan jemaat GKI Kutoarjo,” terang Agneis.
Kegiatan ini meninggalkan kesan mendalam bagi jemaat. Tidak sedikit yang mengaku bahwa pengalaman ini mengubah cara pandang mereka terhadap difabel. Lebih dari itu, acara ini menjadi awal dari komitmen GKI Kutoarjo untuk terus memperjuangkan inklusi, menjadikan gereja sebagai ruang yang benar-benar mencerminkan kasih Tuhan. Tentu langkah GKI Kutoarjo dapat ditiru oleh gereja-gereja lain yang ada di Purworejo. Harapannya gereja tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga ruang untuk menciptakan realitas inklusi yang sesungguhnya.[]
Reporter: Erfina
Editor : Ajiwan