Views: 2
Solidernews.com, Yogyakarta. CAFE atau coffee shop berjamuran di mana-mana. Namun, cafe dengan barista difabel netra, jarang dijumpai. Sementara, difabel netra pun butuh tempat untuk berkarya dan bekerja, agar berdaya dan mandiri.
Kabar gembira. Kini cafe dengan barista difabel netra telah lahir di Yogyakarta. Egalita Kopi. Dengan pemiliknya Irwan Dwi Kustanto seorang difabel netra total (tottaly blind). Di coffee shop ini, tengah berproses membidani lahirnya barista difabel netra sebagian (low vision). Keberadaannya menginspirasi Mahasiswa Modul Nusantara (MN) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Program Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) 4.
Sejumlah 27 mahasiswa dengan pendampingan dosen modul nusantara, memaknai kebinekaan dalam keberagaman, di Kopi Egalita. Membranding kelompoknya dengan BAYANAKA [bahasa sansekerta: luar biasa], menyadari begitu pentingnya kesempatan dan kesetaraan yang dihadirkan. Begitu bermaknanya teknologi, ketika mampu mengadaptasi keberagaman dalam desain produknya.
Hal di atas mengemuka dari Igo Prasetya, Ketua kelompok Mahasiswa MN BAYANAKA UGM Yogyakarta. Mahasiswa Politeknik Negeri Bandarlampung itu mengaku baru kali itu, berjumpa difabel netra dengan potensi keahlian sebagai barista. “Ini pengalaman pertama, baru tahu juga ternyata ada coffeee shop yang baristanya orang-orang tuna netra,” kata dia.
Dengan mengunjungi Kopi Egalita, secara pribadi Igo mendapat pengetahuan terkait difabel, terutama difabel netra. Ternyata difabel netra bisa juga membuat kopi dengan teknik barista. Di Lampung, kata Igo, difabel netra menjual suara melalui berpuisi.
“Ini pengetahuan baru bagi saya. Ternyata mereka juga bisa melakukan hal yang orang awam lakukan. Ini karena selain ada kemauan dari diri sendiri. Juga butuh kesempatan dan dukungan dari lingkungan,” ujar Igo.
Igo pun merasa perlu menghimbau masyarakat, khususnya mahasiswa untuk membuka mata, menggeser pandangan tentang difabel. “Banyak orang yang menganggap sebelah mata pada diufabel. Mulai sekarang membuka matalah. Bahwa mereka bisa melakukan apapun sebagaimana orang pada umumnya lakukan,” pungkasnya.
Pemikiran senada. Putri Iqlima dan Rendi Kurnia Illahi. Keduanya mahasiswa dari Politeknik Pertanian Padang itu memiki pemahaman sama. Bahwa berbeda-beda dalam keberagaman ditangkap keduanya, dalam kunjungannya ke Kopi Egalita.
Memaknai kebinekaan, menciptakan pemahaman komprehensif tentang kebinekaan, inspirasi, refleksi, dan kontribusi sosial, didesain dalam kunjungan singkatnya, Kamis (20/6). Sebagai rangkaian program akhir PMM 4, Kelompok Modul Nusantara BAYANAKA menyerahkan mesin kopi giling (glinder) kepada Egalita Kopi.
Kontribusi sosial
Pada kesempatan yang sama, solidernews.com berkesempatan mewawancarai Dosen Modul Nusantara dr. Widyandana, MHPE,.PhD.,SpM(K). Dia menerangkan, bahwa PMM MN 4 ini merupakan program Kementerian Pendidikan saat ini. Dengan konsep, mahasiswa itu merdeka belajar. Tiap-tiap kelompok ada pembimbingnya. Dokter Doni demikian nama panggilannya, adalah pembimbing Kelompok BAYANAKA. Selanjutnya mengarahkan kegiatan weekend (di luar jam kuliah), untuk belajar keberagaman sekaligus menyerahkan mesin penggiling kopi, untuk Kopi Egalita.
Lanjutnya, mesin kopi itu bagian dari kontribusi sosial mahasiswa MN. Kopi Egalita ini bagus karena mendukung difabel. Di mana-mana difabel itu tidak terpikirkan. “Ini menginspirasi mahasiswa MN bahwa difabel butuh kontribusi. Karenanya sepakat membekli mesin kopi (glider). Mahasiswa juga akan menyumbang pemikirannya. Semoga bermanfaat untuk Kopi Egalita,” ujar pak dosen.
Dokter Doni juga menggarisbawahi, bahwa mahasiswa itu potensinya besar. Mereka sudah sekolah, mereka sudah pinter. Alangkah baiknya, sebelum lulus mempraktikkan ilmunya. Mengkontribusikannya tak menunggu lulus.
“Ini pembelajaran yang sangat bagus. Langsung mengimplementasikan ilmunya. Bahwa antara teori dan prkatik, pasti ada bedanya. Sehingga, mahasiswa bisa belajar dari pengalaman praktiknya.
Dengan praktik, akan dapat rasa, sehingga mereka siap bekerja. Ketika, membangunnya di lokasi yang tepat, maka akan membangun kepedulian lebih.
“Kita tidak pernah tahu, bisa jadi, pada masa mendatang mereka aktif sebagai membela difabel. Gara-gara terinspirasi dari program ini. Ini bisa dari semua lini, bisa dari semua tingkatan mahasiswa. Ini harus disadari oleh seluruh masyarakat dan semua akademisi. Tidak harus mahasiswa yang tergabung dalam MN,” pungkas dokter Doni.
Pendekatan kritis
Kepada para mahasiswa Setia Adi Purwanta memaparkan, adanya tiga pendekatan memandang difabel. Pertama, masyarakat dengan pendekatan berpikir magis. Kelompokl ini mengatakan cacat ada, disabilitas itu ada, orang tidak normal ada. Mengapa? Karena cacat itu kehendak Tuhan. Kelompok ini disebut dengan kaum konservatif.
Kedua, kesadaran naif. Cacat ada. Terjadi karena penyakit, kecelakaan, penuaan, keturunan. Adapun pendekatan ketiga ialah pendekatan kritis. Kelompok ini mengatakan cacat, tidak normal, tidak sempurna itu tidak ada. Semu orang sempurna atau normal. Semua ciptaan Tuhan sempurna. Cacat itu ada, karena ada proses pencacatan, pendisabilitasan. Ketidaknormalan atau penidaksempurnaan melalui labelisasi. Tak hanya labelisasi, tetapi juga mendapatkan stigma. Akibatnya, lahir diskriminasi sosial.
Pendekatan kritis, adalah pemenuhan hak difabel. Dari sini anda bisa meletakkan di mana diri anda. Silahkan memberikan sikap. Model, jenis, tindakan apa yang anda gunakan ketika bergaul dengan difabel. Sosial relation model. Tugas kita sama-sama memperluas bidang, bergerak dengan saling memahami apa kebutuhan kita. Relasi sosial akan terjadi kalau ada saling memberi. Contoh pelatihan barista kopi untuk tuna netra kali ini.[]
Reporter: Harta Niniing Wijaya
Editor : Ajiwan