Views: 51
Solidernews.com – Memperluas wacana kegiatan sosial, seperti buka bersama (bukber), Halal BilHalal, santunan, dan lain-lain, untuk menyambut kehadiran difabel telah menjadi sorotan penting dalam upaya meningkatkan inklusi sosial. Namun, di balik langkah-langkah progresif ini, terdapat ironi yang tak dapat diabaikan. Terlalu sering, partisipasi difabel dalam acara-acara sosial hanya menjadi momen aksi belas kasihan atau strategi promosi bagi pihak-pihak terkait, baik itu lembaga pemerintah maupun swasta. Dalam konteks ini, kehadiran difabel cenderung dijadikan sebagai simbol representatif atau sebagai alat pemasaran untuk memperbaiki citra lembaga.
Namun, perspektif semacam ini jelas melupakan esensi inklusi yang sejati, yang seharusnya menghormati hakikat dan kebutuhan riil difabel. Sebagai alternatif, pendekatan yang lebih terbuka dan inklusif diperlukan. Dalam hal ini, difabel perlu dilibatkan secara aktif dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan sosial, sambil memberikan dukungan substansial untuk memastikan bahwa kehadiran mereka diakui dan diperlakukan dengan penuh penghargaan. Upaya semacam ini akan menciptakan atmosfer yang lebih inklusif dan menghargai keberagaman masyarakat secara menyeluruh.
Perlunya Inklusi Difabel dalam Kegiatan Sosial
Ajiwan Arief, seorang redaktur di Solider News, mengemukakan pandangannya terhadap fenomena budaya charity yang sering terjadi dalam undangan bagi teman-teman difabel. Baginya, budaya ini memiliki sisi dua. Di satu sisi, undangan tersebut memberikan bantuan yang sangat dibutuhkan bagi teman-teman difabel. Namun, di sisi lain, budaya ini cenderung membesarkan kesenjangan antara difabel dan nondifabel. Baginya, acara bukber seharusnya menjadi momen yang menyenangkan bagi difabel, bukan sekadar sebagai objek belas kasihan atau kesempatan untuk amal.
Ketika berkumpul dengan teman difabel, kebahagiaan mereka sangat terlihat, karena bisa saling bersilaturahim. Dengan keseharian yang rumit, hari-hari yang seringkali dihabiskan sendirian, kemudian berkumpul dengan teman difabel membawa perasaan senang tersendiri. Namun, bagi Ajiwan dan teman-teman lain yang sudah berpengalaman, melihat difabel diundang hanya untuk berdoa atau sebagai objek charity, membuat mereka merasa prihatin.
“Penting untuk diingat bahwa mereka juga manusia yang pantas diperlakukan dengan hormat dan martabat yang sama. Meskipun tidak menafikan setelah acara akan mendapatkan sesuatu, artinya tidak menafikan kebermanfaatan, tapi jika itu diperlanggengkan, maka berakibat, stigma bahwa difabel itu sebagai objek belas kasihan. Dan bahkan stigma lainnya, bahwa difabel itu orang yang suci yang doanya selalu diterima akan terus langgeng. Budaya ini harus sedikit demi sedikit dihilangkan,” ujar Ajiwan.
Menanggapi masalah ini, Imaduddin Abil Fida, Patriot Desa, Dinas Pemberdayaan Desa Provinsi Jabar, menyatakan pandangannya. “Penting, jika ada kegiatan sosial, seperti bukber, santunan, dll, diharapkan siapapun tidak membedakan difabel dengan orang lainnya,” ungkapnya. Menyoroti kekhawatiran akan perlakuan difabel sebagai objek belas kasihan semata, Imaduddin memberikan saran konkret.
“Tanamkan pada diri bahwa difabel adalah manusia yang tidak berbeda dengan semua orang. Berikan ruang interaktif inklusif agar difabel juga merasa dihargai dan tergali potensinya. Saya sangat menghargai segala kegiatan yang melibatkan difabel. Mereka tidak hanya manusia yang layak diperlakukan, tetapi juga memberikan kontribusi yang berharga bagi masyarakat,” ujarnya.
Dengan demikian, langkah-langkah konkret seperti memberikan ruang untuk difabel berpartisipasi dalam kegiatan sosial dapat membantu meningkatkan inklusi dan partisipasi mereka dalam masyarakat secara menyeluruh. Mari bersama-sama memperluas pemahaman dan dukungan terhadap teman-teman difabel, sehingga mereka tidak hanya dilihat sebagai objek belas kasihan, tetapi juga sebagai individu yang memiliki potensi dan kontribusi berharga.[]
Reporter: Hasan Basri
Editor : Ajiwan