Views: 20
Solidernews.com – Membangun keluarga adalah tujuan hidup setiap manusia. Tidak terkecuali masyarakat difabel. Mengemban tanggung jawab sebagai suami dan istri, tentu menjadi hal yang menantang bagi individu difabel. Meski begitu, makna sebuah keluarga juga mendalam bagi perjalanan hidup difabel.
Keluarga bisa dimaknai sebagai tempat pulang, tempat saling memberi kehangatan, sekaligus ruang untuk kembali membangun semangat setelah berjuang di luar rumah. Lebih dari itu, keluarga merupakan elemen krusial dalam tumbuh kembang pribadi difabel. Sebab dari sinilah dukungan, kesempatan, dan dorongan pertama kali hadir bagi individu difabel.
Nubuat, sosok figur ayah difabel yang akrab dipanggil Aat, saat dijumpai Solidernews pada 26 Mei 2025, menjelaskan bahwa keluarga baginya adalah tempat aman, nyaman, serta penuh energi positif saat dirinya kembali ke rumah. Karena keluarga kecil yang kini ia milikilah, semangat berjuang, bekerja, hingga berkontribusi terus kian menyala di usia yang tidak lagi muda.
“Saya kadang diantar istri untuk pentas, diantar anak untuk mengajar, bersepeda bersama, hingga berkarya bersama. Kebetulan anak saya sekolah di bidang informatika. Jadi profesi saya yang selaku guru komputer bicara untuk tunanetra, malahan bisa saling sharing pengetahuan. Intinya keluarga begitu berperan dalam perjalanan hidup saya,” katanya.
Pernikahan Bagi Difabel
Sebagaimana sebuah keluarga non-difabel, difabel pun menikah karena kebutuhan mendasar sebagai makhluk sosial. Selain itu, landasan agama juga menjadi penguat, mengapa difabel juga tetap menikah. Menjadi suami, istri, dan membangun keluarga tetaplah menjadi impian pribadi difabel.
Arief, difabel netra asal Yogyakarta yang mendapat istri dari salah satu daerah di Jawa Barat, mengungkapkan alasannya untuk menikah, ialah petuah agama yang menyatakan bahwa menikah adalah salah satu hal yang menyempurnakan sebagian agama dari seorang muslim. Selain itu, dirinya juga bukanlah pribadi yang menolak sebuah pernikahan. Karena dengan menikah tentu akan banyak warna baru yang ada. Saling belajar, saling memahami, saling berbagi, dan tentunya mendidik pribadi untuk tidak egois dalam sebuah pernikahan.
“Setelah menikah itu saya jadi lebih berhati-hati saat bertutur kata, saling memahami, berbagi peran, dan masih banyak lagi. Istri saya juga kebetulan seorang difabel. Jadi, disini kami justru saling belajar satu sama lain untuk hidup bersama,” ungkapnya, saat dihubungi Solidernews pada 18 Mei 2025.
Menikah juga menjadi sebuah medium untuk mengembangkan diri, belajar untuk saling mendukung, hingga menemukan jati diri. Hal ini diungkapkan oleh Aat yang mengalami kebutaan manakala akan lulus kuliah. Dikala hidup penuh krisis, tantangan, dan juga harus mendamaikan diri, justru dirinya malah dianjurkan menikah oleh sang guru ngaji.
“Waktu itu saya skeptis sekali. Gimana mau memberi makan anak orang, lha wong diri saya saja gonjang ganjing karena baru mengalami kebutaan. Tetapi akhirnya saya coba saran dari guru saya itu. Waktu itu saya hidup dari bisnis pemijahan bibit ikan lele bersama kawan. Syukurnya setelah menikah, saya malah menemukan kekuatan positif, dan berani menatap dunia dengan kepala yang tegak,” jelasnya.
Aat menambahkan, “Saya jadi mulai berani keluar sendiri, menggali potensi, berkarya, dan berkarier untuk mencukupi keluarga. Awal di Yogyakarta saya dan istri sempat berjualan jus di depan rumah. Tapi dibalik kesederhanaan itu, saya banyak memetik hal-hal yang membuat diri ini berdaya dan mampu seperti hari ini.”
Dengan komunikasi, berbagi peran, dan saling menguatkan, Aat yang beristrikan perempuan non-difabel, kini dapat melewati hari dengan penuh pemaknaan. Sehingga menikah bagi Aat merupakan medium untuk terbukanya sebuah energi positif yang tidak pernah terduga sebelumnya.
Menggunakan Kualitas Diri Bukan Rendah Diri
Pernikahan seorang difabel memang tidaklah mudah. Banyak tantangan yang akan dihadapi. Meski begitu, ada beberapa hal yang menjadi catatan manakala seorang difabel memutuskan untuk menikah.
Deni, seorang guru difabel di salah satu SLB Magelang, bersama istri kini hidup bersahaja di Wonosobo. Kesehariannya sebagai seorang ayah dari satu anak perempuan, memberinya banyak arti. Satu hal yang Deni sadari, bahwasannya memperkaya potensi dan terus meningkatkan kualitas diri itu menjadi poin penting mengapa ia bisa sampai di titik ini.
“Istriku itu kan bukan difabel. Sehingga tantangannya tentu di orang tuanya yang melihat diriku sebagai pria tunanetra. Disinilah letak kualitas diri itu dapat dijadikan pondasi untuk meminang seorang perempuan impian. Upaya komunikasi dari calon istri ke calon mertua juga menjadi hal penting, untuk meningkatkan kepercayaan mertua. Maka teruslah belajar dan jangan lelah meningkatkan potensi diri,” jelas Deni, saat dihubungi Solidernews pada 20 mei 2025.
Dengan berbagai kualitas, potensi, dan bukti bahwa kita mampu menafkahi calon istri itu setidaknya menjadi modal penting dalam meyakinkan mertua. Karena setelah menikah bukan soal difabel atau nondifabel. Melainkan siapa yang benar-benar berkomitmen, serius, dan siap mengemban tanggung jawab sebagai pribadi yang akan memiliki keluarga.
Mamik, istri dari Irwan yang merupakan seorang difabel, juga mengungkapkan bahwa kualitaslah yang menjadi alasan mengapa dirinya menerima sosok Irwan Dwi Kustanto. Selain itu, ketangguhan, kegigihan, dan sifat pantang menyerah turut menjadi poin plus dari keputusannya menerima sang suami. Karena baginya kondisi difabel tidak menjadi penghalang untuk menjalin sebuah keluarga.
“Kalau berbicara soal kekurangan, saya yakin semua orang memiliki kekurangannya masing-masing. Bagi saya kondisi kedisabilitasan bukanlah sebuah kekurangan. Melainkan sebuah keragaman dari setiap manusia. Ketika Irwan datang ke rumah saya dengan kesungguhan, kepribadian positif, dan daya juang yang luar biasa, mengapa saya harus menolak? Malah saya yang beruntung mengenal sosoknya,” jelas Mamik, seorang istri dari Irwan, penulis buku, juga seorang pustakawan, saat dijumpai Solidernews pada 21 Mei 2025.
Hal-hal di atas membuktikan bahwa membangun keluarga bagi difabel bukan sekadar mungkin, tapi juga bermakna. Tantangan tentu ada, namun bisa dijawab dengan kualitas diri, komunikasi yang sehat, dan kemauan untuk terus belajar bersama pasangan. Keluarga menjadi ruang aman untuk tumbuh dan berdaya, bukan hanya bagi difabel, tapi juga bagi semua anggotanya. Dalam relasi yang setara, setiap individu punya ruang untuk berkontribusi, saling mendukung, dan bertumbuh. Maka, menjadi difabel bukanlah penghalang untuk mencintai dan dicintai secara utuh. Sebaliknya, justru menjadi jalan untuk menghadirkan cinta yang lebih berdaya dan bermakna.[]
Reporter: Wachid Haman
Editor : Ajiwan







