Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol simbol biru bagian kanan agak atas sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Menyoroti Hak Kawan Autisme dalam Pendidikan Tinggi

Views: 18

Solidernews.com, Yogyakarta – Tanggal 2 April setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Autisme Sedunia. Sebuah momentum global yang penting bagi kita untuk lebih meningkatkan kesadaran, pemahaman, dan penghormatan terhadap hak-hak individu dengan autisme. Peringatan ini bukan sekadar simbolik semata, melainkan juga ajakan bagi masyarakat dan institusi, termasuk pendidikan tinggi, untuk lebih berpihak pada kebutuhan dan potensi teman-teman autis.

Perlu disadari bersama bahwa autisme bukanlah sebuah hambatan sosial dan belajar, melainkan salah satu spektrum dari keragaman manusia yang disebut sebagai neurodiversity—keragaman neurologis yang harus dipandang sebagai bagian dari keragaman latar belakang.

Dalam konteks Indonesia, autisme dikategorikan sebagai salah satu ragam difabel mental menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Ini berarti negara telah menjamin berbagai hak yang melekat pada setiap individu autistik.

Maka dari itu, peringatan Hari Autisme Sedunia seharusnya juga menjadi pengingat bagi institusi pendidikan, khususnya perguruan tinggi, untuk terus membuka ruang, membangun sistem pembelajaran, dan menghapus hambatan bagi mahasiswa autis agar mereka bisa belajar dan berkembang dengan optimal.

Tema peringatan tahun ini yang diangkat oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah Memajukan Neurodiversity dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG). Tema ini mengisyaratkan bahwa mewujudkan masyarakat yang inklusif, bukan hanya isu sosial semata, tetapi juga bagian dari agenda global untuk pembangunan berkelanjutan. Akses terhadap pendidikan tinggi yang setara adalah salah satu kunci untuk mencapai SDG poin keempat: Quality Education, dan juga poin kedelapan: Decent Work and Economic Growth.

Riani Wulan Sujarrivani, mahasiswi autistik dari Jurusan Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, merupakan salah satu gambaran nyata mengenai bagaimana seorang autis memperjuangkan pendidikan. Gagal pada tahun pertamanya mendapatkan kursi sebagai mahasiswa di perguruan tinggi. Ia mencoba kembali setahun setelahnya pada 2024 lalu dengan persiapan yang lebih matang. Syukurnya pada tahun tersebut ia dinyatakan lolos lewat jalur Ujian Masuk Computer Based Test Universitas Gadjah Mada (UM CBT UGM), buah manis dari usahanya selama ini.

Bagi Wulan, tantangan sebenarnya baru ia rasakan saat mulai berkuliah. Kondisi autistik yang dialaminya membuatnya harus mengeluarkan fokus dan tenaga ekstra untuk mengerjakan tugas sesuai masa tenggatnya. Selain itu, praktikum di laboratorium bukan hal mudah, tetapi semua itu terbantu berkat dukungan dari lingkungan akademik yang mendukung serta ditambah dari pendampingan dari Unit Layanan Disabilitas.

“Saya ingin melanjutkan studi S2 karena ada teman autis yang bisa lanjut juga. Semangat belajar saya besar sejak sekolah,” tuturnya penuh semangat. Ia juga menekankan pentingnya pendidikan inklusif berbasis Universal Design for Learning (UDL) yang memungkinkan gaya belajar individu autistik bisa difasilitasi dengan fleksibel.

Pandangan serupa datang dari Muhammad Rhaka Katresna, seorang autisme yang saat ini sedang melanjutkan studi pascasarjana di UGM. Ia menyampaikan realitas pahit bahwa belum banyak dunia kerja yang siap menerima tenaga kerja autistik.

“Sudah dua tahun saya tidak dapat pekerjaan. Studi S2 jadi satu-satunya jalan untuk menyambung hidup dan merajut asa,” katanya. Meski menghadapi tantangan, Rhaka tetap percaya bahwa minat khusus orang autis, meskipun spesifik, bisa memberi kontribusi besar bagi masyarakat. Ia berharap pendidikan tinggi bisa mempercepat adopsi kurikulum yang inklusif berbasis UDL agar semua mahasiswa, termasuk yang autistik, bisa berkembang sesuai keunikannya.

Baik Wulan maupun Rhaka berharap agar semakin banyak kawan autisme yang mengenyam pendidikan tinggi. Seperti yang pernah diungkapkan Nelson Mandela, pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia. Dengan akses dan sistem yang inklusif, perguruan tinggi bukan hanya tempat belajar, tetapi juga ladang untuk memulai perubahan.

Wuri Handayani, Ketua Unit Layanan Disabilitas UGM sekaligus Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis, menyampaikan bahwa pihaknya terus berupaya menciptakan ekosistem pembelajaran yang inklusif bagi mahasiswa autisme. Ia menegaskan bahwa dosen memiliki peran penting dalam mendukung kenyamanan dan keberhasilan belajar mahasiswa autistik, termasuk dengan menyesuaikan metode pengajaran.

“Kami mendorong dosen untuk tidak mengajar dengan suara keras atau cara yang bisa membangkitkan emosi negatif, karena sebagian mahasiswa autis sensitif terhadap rangsangan suara,” ungkap Wuri.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa karena autisme termasuk difabel yang tidak tampak secara fisik, ULD UGM secara aktif memberikan informasi kepada fakultas dan program studi melalui wakil rektor terkait keberadaan mahasiswa autisme di kelas mereka. “Early warning ini penting agar dosen dapat menyesuaikan pendekatan pengajarannya sejak awal,” imbuhnya.

Dalam rangka mengurangi tekanan akademik, Wuri juga menuturkan bahwa pihaknya juga memberikan rekomendasi penyesuaian, seperti perpanjangan waktu ujian sebesar 30% dari durasi normal serta fleksibilitas tenggat penugasan yang disesuaikan berdasarkan kesepakatan dengan si mahasiswa autisme. Upaya-upaya ini menjadi bentuk komitmen kampus untuk menjamin hak-hak mahasiswa autisme.[]

 

Reporter: Bima Indra

Editor       : Ajiwan

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content