Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol simbol biru bagian kanan agak atas sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Petugas stasiun yang membantu difabel kursi roda dan difabel netra.

Menyoal Kartu Disabilitas KRL Jabodetabek: Solusi atau Simbolisasi Pencitraan Semata?

Views: 40

Solidernews.com – Tatkala PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) meluncurkan Kartu Disabilitas KRL Jabodetabek pada 14 Februari 2025 lalu, harapan para difabel sempat membuncah. Di Stasiun BNI City, Jakarta, kartu yang digadang sebagai bukti nyata keberpihakan pada kelompok rentan itu diserahkan secara simbolis kepada sejumlah difabel oleh Direktur Utama KAI, Asdo Artriviyanto. Di hadapan para pemangku kebijakan dan komunitas difabel, ia menjanjikan inklusi yang bukan sebatas retorika.

Namun beberapa bulan berselang, kenyataan di lapangan jauh dari janji manis seremoni. Alih-alih menjadi alat pemudah akses, kartu disabilitas justru menjelma simbolisme kosong tanpa keistimewaan apa pun dibanding kartu biasa. Para difabel  tetap harus mengantre di loket untuk isi ulang saldo, tetap membayar tarif reguler, dan ironisnya masih harus menghadapi tatapan abai dari sesama penumpang di gerbong KRL. Di dalam kereta, kartu itu pun gagal menjadi tanda yang menggerakkan kesadaran sosial. Tanpa intervensi petugas, kursi prioritas kerap diduduki oleh mereka yang sebenarnya tidak berhak. Singkatnya, kartu ini belum berfungsi efektif sebagai alat identifikasi kebutuhan khusus – lebih sering luput dari perhatian, nyaris tak ada bedanya dengan kartu biasa.

Peluncuran kartu ini digadang sebagai wujud inklusi difabel dalam layanan KRL. “Tidak ada bedanya dengan Kartu Multi Trip (KMT). Kecuali warna dan tulisan ‘Disabilitas’, semua fungsi sama saja. Tidak ada perlakuan istimewa di sistem, apalagi di lapangan,” ujar Iyehezkiel Parudani – aktivis difabel netra yang akrab dipanggil Yen – mengomentari kartu disabilitas KRL (25/06/2025).

 

Retorika Inklusi yang Tak Menyentuh Realitas

Peluncuran kartu disabilitas KRL tersebut sebelumnya diklaim melalui proses panjang dengan melibatkan masukan komunitas difabel. Bahkan, pihak KAI Commuter menyebut telah melakukan uji sensitivitas untuk menghindari potensi “ketersinggungan”. Namun kebijakan tersebut akhirnya tak menyentuh kebutuhan paling dasar para difabel. Yen memandang peluncuran ini justru memunculkan pertanyaan besar: apakah kartu ini lahir dari niat menyelesaikan persoalan nyata, atau sekadar menambah daftar program seremonial demi citra inklusif semata?

Dalam studi kebijakan publik, istilah “symbolic policy” kerap disematkan pada program yang lebih mementingkan pencitraan ketimbang dampak nyata. Sayangnya, Kartu Disabilitas KRL sejauh ini belum melampaui tahap itu. Ia tercatat secara administratif sebagai bentuk keberpihakan, tapi secara praktis gagal menjadi pembeda yang bermakna. Jika benar inklusi menjadi arah kebijakan PT KCI, pertanyaan mendasar pun muncul: mengapa kartu ini tidak otomatis menggratiskan akses naik KRL bagi difabel?

Dari sisi layanan untuk kemudahan bagi penumpang difabel, KRL tertinggal dalam Inklusi Transportasi. Jika dibandingkan dengan TransJakarta, yang dalam beberapa tahun terakhir justru memberikan akses gratis bagi difabel, lansia, veteran, hingga petugas jumantik. Kebijakan gratis ini bahkan telah diperluas lintas moda hingga mencakup layanan MRT dan LRT Jakarta. Hal ini merupakan sebuah bukti konkret bagaimana negara bisa hadir melalui kebijakan transportasi publik yang inklusif. Di wilayah Jabodetabek yang sama, PT KCI seolah berjalan di rel berbeda. Jika TransJakarta bisa, mengapa KRL tidak? Padahal, membangun sistem transportasi yang benar-benar inklusif taklah sulit bila disertai kemauan politik yang sungguh-sungguh berpihak pada kaum rentan.

Kehadiran Kartu Disabilitas KRL seharusnya dapat menjadi pintu masuk menuju perbaikan layanan yang menyeluruh. Bukan hanya soal akses fisik di stasiun dan gerbong, tetapi juga mencakup pembenahan sistem digital serta peningkatan kesadaran sosial dalam layanan. Edukasi publik mengenai awareness bagi difabel, pelatihan khusus bagi petugas, desain sistem yang mampu membedakan kebutuhan pengguna, hingga integrasi data masyarakat difabel dengan Dinas Sosial – semuanya harus menjadi satu paket transformasi yang menyertai peluncuran kartu ini. Tanpa langkah-langkah konkret semacam itu, kartu ini hanya akan menjadi pajangan belaka — sekadar kenang-kenangan seremoni 14 Februari, hari kasih sayang yang ironisnya tak benar-benar menyentuh mereka yang paling membutuhkan.

Keadilan sosial bagi difabel bukan urusan belas kasihan, melainkan hak yang wajib dijamin oleh negara dan seluruh penyedia layanan publik. Dalam konteks ini, BUMN bagian  transportasi seperti KAI memikul tanggung jawab yang lebih besar. Hal ini tak cukup hanya menghadirkan produk kebijakan, tetapi juga memastikan produk tersebut membawa manfaat nyata. Kartu Disabilitas KRL mungkin bisa dianggap langkah awal, namun jelas masih jauh dari garis akhir. Kartu ini perlu dibarengi sejumlah fitur kunci – mulai dari pembebasan tarif bagi difabel, kemudahan isi ulang saldo, percepatan proses naik-turun, hingga edukasi bagi penumpang umum untuk menghormati ruang prioritas kelompok rentan. Tanpa semua itu, kartu ini akan tetap menjadi hiasan kebijakan semata — bukan jembatan menuju inklusi.

Di peron-peron stasiun saat ini, para difabel masih berdiri menunggu keadilan. Mereka tak butuh simbol; yang mereka butuhkan adalah sistem yang berpihak. Satu kartu saja tak akan pernah cukup — jika tak ada perubahan kebijakan yang benar-benar berjalan di rel yang sama.

 

Suara Difabel Pengguna KRL

Marsel, seorang difabel netra asal Nusa Tenggara Timur yang setiap hari menggunakan KRL rute Rangkas Bitung–Tanah Abang dan Tanah Abang–Cikarang, mengaku berharap agar beban hidupnya sebagai difabel bisa sedikit diringankan. “Kalau kami bisa naik KRL gratis, tentu pengeluaran kami bisa berkurang dan bisa dialokasikan untuk keperluan lain seperti makanan, transportasi lanjutan, atau pulsa komunikasi,” ujarnya, mengungkap betapa akses gratis KRL akan sangat membantu kehidupan sehari-harinya.

Hal senada disampaikan oleh Kasri, difabel netra netra lainnya. Ia menegaskan bahwa menggratiskan perjalanan KRL bagi difabel sebenarnya bukanlah pengeluaran besar bagi PT KCI. “Paling-paling hanya sekitar satu miliar rupiah dalam setahun. Itu tidak seberapa jika dibandingkan dengan keuntungan perusahaan,” ucap pria asal Sulawesi Selatan tersebut, membandingkan potensi biaya konsesi dengan laba KCI.

Perlu disadari pula, masyarakat difabel hidup dengan apa yang dikenal sebagai biaya tambahan (extra cost). Mereka sering harus mengeluarkan ongkos lebih untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari – mulai dari alat bantu dan pendamping, transportasi yang aksesibel, hingga mendapatkan informasi yang sering belum ramah difabel. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dengan tegas mengamanatkan bahwa negara harus memberikan konsesi atau keringanan kepada difabel untuk mengurangi beban ekonomi tersebut. Sayangnya, hingga kini aturan pelaksana berupa Peraturan Pemerintah tentang konsesi yang diamanatkan UU tersebut belum juga terbit. Ketiadaan regulasi teknis ini membuat banyak institusi, termasuk BUMN semacam PT KCI, berdalih tidak memiliki dasar hukum kuat untuk menerapkan kebijakan afirmatif bagi difabel. Padahal, semangat Undang-Undang 8/2016 itu jelas: menghadirkan kesetaraan melalui tindakan nyata, bukan sekadar wacana.

 

Praktik Baik di ASEAN sebagai Cerminan

Yen kemudian bercerita, di Thailand misalnya, setiap difabel secara otomatis menerima tunjangan hidup sekitar 600 Baht setiap bulan dari pemerintah. Dalam sebuah forum internasional yang dihadirinya di negara tersebut, Yen mendengar salah seorang tokoh difabel lokal mengatakan bahwa persoalan utama bukanlah jumlah uang yang diterima, melainkan bagaimana negara hadir dan menunjukkan kepedulian langsung kepada warga difabelnya. Di sana, kebijakan publik dijalankan dengan semangat kemanusiaan – tidak sekadar simbolisme atau pencitraan belaka.

Kartu Disabilitas KRL Jabodetabek seharusnya tidak berhenti sebagai gimmick atau simbol komitmen semu bagi kelompok rentan. Kartu itu harus menjadi alat nyata yang memberikan kemudahan mobilitas, keringanan biaya transportasi, serta pengakuan atas hak-hak sipil difabel. Selama hal-hal tersebut belum terwujud, kartu ini tak lebih dari “janji kosong” yang menambah panjang daftar kebijakan yang gagal memahami realitas hidup difabel di Indonesia.

Pemerintah – dalam hal ini Kementerian BUMN, Kementerian Perhubungan, bersama manajemen KAI dan KCI – perlu duduk bersama organisasi difabel untuk merumuskan kebijakan yang benar-benar menjawab kebutuhan nyata. Tidak cukup hanya melibatkan komunitas difabel dalam seremoni peluncuran; mereka harus dilibatkan penuh dalam perumusan manfaat, evaluasi kebijakan, hingga implementasinya di lapangan. Kebijakan inklusi harus dibangun secara substansial, bukan sekadar kosmetik.

Menutup pembicaraan, Yen memberikan pernyataan mendalam yang menggugah semua pihak untuk berbenah:

“Para difabel bukan objek belas kasihan. Mereka adalah warga negara yang punya hak – termasuk hak atas transportasi yang terjangkau, aman, nyaman, dan non-diskriminatif. Kebijakan yang baik harus memastikan tak ada kelompok yang tertinggal, termasuk yang difabel. Difabel dengan segala kebutuhan dan kemampuannya yang berbeda sering kali harus mengeluarkan extra cost dalam hidup sehari-hari.

Jika PT KCI benar-benar ingin menjadikan kartu disabilitas ini sebagai wujud keberpihakan dan bukan sekadar pencitraan, maka sudah saatnya kartu disabilitas digratiskan, sistem aksesibilitas KRL diperbaiki, dan petugas dilatih agar lebih responsif terhadap hak serta kebutuhan masyarakat difabel . Hanya dengan langkah-langkah konkret seperti itulah, kartu disabilitas benar-benar menjadi simbol penghormatan terhadap hak.[]

 

Reporter: Fajrin Syam

Editor     : Ajiwan   

 

 

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

berlangganan solidernews.com

Tidak ingin ketinggalan berita atau informasi seputar isu difabel. Ikuti update terkini melalui aplikasi saluran Whatsapp yang anda miliki. 

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content