Views: 5
Solidernews.com – Ada gap atau kesenjangan selama dua puluh minggu atau sekitar lima bulan yang tidak didapatkan oleh pasien rumah sakit jiwa yang sudah dirawat untuk kembali ke masyarakat. Padahal mereka harus dirawat selama enam bulan sebelum dikembalikan ke masyarakat. Mereka biasanya pasien pasung atau pasien yang dianggap mengganggu masyarakat karena psikotik yang dialaminya berakibat destruktif/merusak atau menganggu. Namun di saat yang sama, negara belum bisa menyediakan fasilitasnya.
Konsep “Rumah Antara” berdasarkan penelusuran solidernews.com, sudah ada di Kabupaten Mojokerto sejak tahun 2021, yakni di bawah naungan Yayasan Pendidikan dan Sosial Darul Ihsan di Desa Pesanggrahan, Kecamatan Kutorejo, Kabupaten Mojokerto. Cita-cita utama didirikannya Rumah Singgah itu diciptakan sebagai shelter workshop (bengkel kerja terlindungi) bagi difabel mental psikososial pasca perawatan di rumah sakit jiwa. Rumah singgah memiliki caregiver perawat dan guru ngaji. Pelayanan yang diberikan meliputi cognitive, behaviour dan spiritual.
Ternyata ada “Rumah Antara” juga di Gunung Kidul . Tetapi karena menghindari penolakan nomenklatur, supaya operasional dibiayai oleh negara, akhirnya namanya diganti bukan “Rumah Antara”. Demikian dikatakan oleh Aspi Kristiati, pegiat isu difabel dari Yayasan Nawakamal yang menjadi narasumber pada talkshow yang diselenggarakan oleh Center for Indigenous and Cultural Psychology (CICP) Universitas Gadjah Mada, Jumat 18/10 di webinar Angkringan seri 13, bertema kesehatan masyarakat : perspektif konsumen dan aksi komunitas.
Menurut Aspi Kristiati pihaknya sudah pernah mengupayakan tetapi negara belum menyediakan, “kita sudah ada inisiasi tapi gaungnya saat ini sudah tidak terdengar lagi. Kami nyebutnya bukan rumah “antara” tetapi dicarikan nama lain supaya tidak masuk nomenklatur, “terang Aspi.
Kiat Kolaborasi dengan Masyarakat atasi Kesenjangan
Sebagai penggerak isu kesehatan mental di masyarakat terkait apa saja yang telah dilakukan, Aspi mengakui bahwa penyediaan “rumah antara” tidak murni idenya sebab ketika harus bergerak justru yang dikawinkan adalah permasalahan di masyarakat dan peran akademisi. Menurutnya jangan sampai akademisi S2, S3 menulis penelitian, masuk jurnal lantas selesai begitu saja. Idealnya, menurutnya S2 dan S3 ini berkesinambungan dengan yang dilakukan oleh masyarakat sehingga akan didapatkan di mana letak kekurangan-kekurangannya. Sebagai seorang praktisi, ia butuh evaluasi seperti itu. Yang terjadi saat ini, ia tidak mendapat feedback dari akademisi. Menurutnya, sebagai praktisi dan akademisi tidak boleh bertindak egois dengan bermain aman hanya untuk kepuasan pribadi sebab itu sangatlah egois.
Aspi menambahkan sangat bagus jika beberapa puskesmas siap untuk menjadi tetangga dekat bagi masyarakat sehingga masyarakat diedukasi bahwa ini si A sedang mengalami seperti ini, maka harusnya masyarakat meresponnya seperti ini. Tantangannya pada saat ini tidak terkomunikasi, maka jika ada seorang psikosis berat melakukan aksi membunuh, lantas dia pulang dari dirawat di RSJ, pulangnya ke masyarakat ditolak.
Menurut pengalaman, yang sudah bergerak di isu kesehatan jiwa harus paham dan telah menyiapkan ketika masyarakatnya akan berkata “Pokoknya kalau si A kembali, maka kami di desa akan bergolak, “. Mereka tidak bisa disalahkan sebab tidak mendapatkan edukasi dengan baik, tidak ada pendekatan dari person ke person. Aspi bahkan pernah menjalani pengalaman setiap sore bertanya langsung kepada masyarakat sepulang mereka kerja, bertanya tentang apa yang mereka pahami tentang si A. Dan apa yang membuat mereka takut jika nanti menghadapi si A. Selama ini Aspi sudah menjalani praktik pendekatan kepada masyarakat terhadap empat hingga lima kasus pembunuhan yang dilakukan oleh difabel mental psikotik. Dan hasil survey menunjukkan bahwa mereka (masyarakat) belum teredukasi secara literasi.
Bahkan pernah Aspi mendampingi kasus seorang psikotik yang sudah dibawa ke kepolisian dan ia diserang oleh aparat desa. Pasien psikotik biasanya karena tersinggung sebab hati terluka misalnya yang kecenthok (tersakiti). Lantas juga ada kasus karena alat pacul dipinjam sudah berpuluh tahun dan tidak dikembalikan.
Menurut Aspi, di Yogyakarta diuntungkan karena ada komunitas-komunitas seperti KPSI Simpul Jogja, Nawakamal, dan project Dignity dari YAKKUM. Ada sebuah kiat menurutnya bisa dijadikan sebuah program tanpa mengeluarjan biaya signifikan dan nempel pada program lainnya yakni Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang dilakukan oleh mahasiswa, dimanfaatkan saja untuk melakukan sosialisasi bisa lewat sarasehan-sarasehan tentang pemahaman kesehatan jiwa kepada masyarakat.Gerakan melayani masyarakat ini bisa dijejaringkan dengan Puskesmas setempat.[]
Reporter: Astuti
Editor : Ajiwan