Views: 79
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa kota-kota besar di Indonesia masih belum sepenuhnya ramah terhadap pelancong difabel. Kota-kota seperti Singapura, Las Vegas, Sydney, dan London telah menonjol sebagai contoh kota-kota yang lebih inklusif bagi pelancong difabel, sementara kota-kota besar di Indonesia masih memiliki tantangan dalam meningkatkan aksesibilitas dan pelayanan bagi mereka.
Solidernews.com – Di persinggahan yang ketat antar kota untuk menarik minat pelancong, sering kali satu kelompok terlupakan, para pelancong difabel. Mereka bukan hanya mencari tempat yang memukau secara visual, tetapi juga kota yang memahami dan memenuhi kebutuhan mereka dengan ramah dan inklusif. Pertanyaan mendasar pun muncul: Apa yang menjadi prioritas para pelancong difabel saat memilih destinasi kota? Ini bukan hanya soal kenyamanan individu, tetapi juga bagaimana kota-kota dapat memperluas pangsa pasar pariwisata mereka dengan memperhatikan kebutuhan yang lebih luas ini.
Pada tahun 2018, kontribusi golongan difabel terhadap industri pariwisata Inggris mencapai angka fantastis sebesar £15,3 miliar. Sementara di Amerika Serikat, 27 juta pelancong dengan difabel melakukan 81 juta perjalanan dan menghabiskan dana sebesar $58,7 miliar pada tahun yang sama. Data ini menunjukkan potensi besar dalam industri pariwisata yang inklusif.
Di tengah upaya industri turisme untuk pulih dari dampak pandemi Covid-19, argumen bisnis untuk memperhatikan kebutuhan 1,3 miliar orang dengan difabel — yang setara dengan seperenam populasi dunia — semakin menguat. Data ini menggambarkan betapa besar pangsa pasar pariwisata bagi pelancong difabel, mencerminkan potensi yang signifikan dalam industri pariwisata yang inklusif. Angka-angka menggambarkan gambaran yang mengesankan; kontribusi golongan difabel terhadap industri pariwisata di Inggris dan Amerika Serikat mencapai angka yang fantastis.
Meskipun kesadaran akan kebutuhan pelancong difabel semakin meningkat di seluruh dunia, realitas di lapangan menunjukkan bahwa kota-kota besar di Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam menjadi ramah terhadap kelompok ini. Berbeda dengan kota-kota seperti Singapura, Las Vegas, Sydney, dan London yang telah menonjol sebagai contoh kota-kota inklusif, kota-kota besar di Indonesia masih terkendala dalam meningkatkan aksesibilitas dan pelayanan bagi pelancong difabel. Ketidakmampuan untuk menyediakan infrastruktur yang memadai dan pelatihan yang cukup bagi pelaku industri pariwisata menjadi beberapa faktor utama yang menyebabkan kesenjangan ini.
Meskipun demikian, terdapat kesempatan besar bagi kota-kota di Indonesia untuk belajar dari pengalaman kota-kota terdepan dan mengadopsi praktik terbaik dalam meningkatkan inklusi bagi pelancong difabel. Dengan komitmen yang kuat dari pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat umum, kita dapat bergerak menuju visi di mana setiap orang, termasuk pelancong difabel, dapat menikmati keindahan dan kekayaan budaya Indonesia tanpa hambatan.
Tantangan-tantangan yang dihadapi oleh para wisatawan difabel dalam menikmati tempat-tempat wisata menyoroti pentingnya meningkatkan aksesibilitas dan kenyamanan bagi mereka di destinasi pariwisata. Ini menegaskan perlunya kesadaran akan inklusi dalam sektor pariwisata di Indonesia. Upaya untuk menciptakan destinasi wisata yang lebih ramah bagi difabel merupakan langkah positif yang telah diambil oleh beberapa kota di Indonesia.
Seperti yang dilansir dari media BBC, terungkap bahwa kota-kota besar di Indonesia belum sepenuhnya ramah terhadap pelancong difabel. BBC hanya menyoroti Singapura, Las Vegas, Sydney, dan London sebagai contoh kota-kota yang lebih inklusif bagi mereka. Hal ini menunjukkan perlunya upaya lebih lanjut untuk meningkatkan aksesibilitas dan pelayanan bagi pelancong difabel di Indonesia, serta menegaskan pentingnya kesadaran akan inklusi dalam sektor pariwisata.
Menjejak Inklusivitas Pariwisata Kota-kota Indonesia
Meskipun begitu, ada upaya ke arah itu, seperti yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Kulon Progo. Dengan mengakomodasi kebutuhan difabel, langkah-langkah konkret telah diambil untuk meningkatkan aksesibilitas di destinasi pariwisata di Bumi Menoreh.
Melalui upaya yang dilakukan oleh Dinas Pariwisata, difabel diajak secara langsung untuk mencoba sejumlah destinasi wisata di wilayah tersebut. Dari puluhan destinasi yang ada, pemerintah kabupaten memprioritaskan pengembangan destinasi yang dikelola secara langsung serta yang dinilai sudah berkembang, sementara juga mendorong pengelola destinasi lain untuk lebih memperhatikan aksesibilitas bagi difabel.
Namun, tantangan bagi wisatawan difabel tetap ada. Mulai dari keterbatasan diri, fasilitas yang belum memadai, hingga kurangnya komunikasi yang memudahkan interaksi dengan mereka, semuanya menjadi hal yang perlu ditangani secara serius. Upaya meningkatkan aksesibilitas dan kenyamanan bagi para wisatawan difabel di destinasi pariwisata menjadi sebuah keharusan, menandakan komitmen pemerintah dalam menciptakan pariwisata yang inklusif dan ramah bagi semua kalangan.
Selain itu, menurut sumber dari Kemenparekraf, berbagai kota di Indonesia telah menunjukkan komitmen dalam mewujudkan destinasi wisata yang ramah bagi difabel. Jakarta, sebagai salah satu kota metropolitan, telah memperlihatkan upaya nyata dengan menyediakan fasilitas yang memperhatikan kebutuhan mereka. Monumen Nasional (Monas), contohnya, tidak hanya menyediakan kursi roda, tetapi juga petugas yang siap membantu di beberapa titik. Selain itu, tersedia fasilitas lain seperti ramp untuk menuju toilet khusus difabel dan lift khusus untuk menjangkau lantai tertinggi.
Bandung juga telah menunjukkan komitmennya dengan peluncuran bus ramah difabel pada tahun 2019. Selain itu, destinasi wisata seperti Taman Inklusi, Babakan Siliwangi, dan Fairy Garden telah memperhatikan kebutuhan aksesibilitas. Fairy Garden, sebagai contoh, menyediakan toilet khusus, ramp, dan gerbang masuk khusus bagi difabel.
Yogyakarta juga berhasil menjadi kota yang ramah bagi difabel dengan menyediakan fasilitas di tempat-tempat umum dan destinasi wisata. Destinasi seperti Benteng Vredeburg, Malioboro, dan Gembira Loka telah mengambil langkah untuk memastikan aksesibilitas bagi semua orang.
Malang juga dikenal dengan fasilitas pelayanan publiknya yang ramah bagi difabel. Destinasi wisata seperti Taman Wisata Pinus Bendosari, Batu Secret Zoo Jatim Park 2, Batu Night Spectacular, dan Museum Angkut telah memperhatikan kebutuhan aksesibilitas. Museum Angkut, sebagai contoh, dilengkapi dengan toilet dan lift khusus untuk difabel.
Dengan tersedianya destinasi wisata yang ramah bagi difabel, diharapkan pengalaman liburan mereka menjadi lebih inklusif. Konsep barrier free tourism, yang memungkinkan semua orang menikmati pariwisata tanpa hambatan fisik atau mental, semakin ditekankan. Melalui standar fasilitas yang telah diatur dalam peraturan, diharapkan pengalaman wisata bagi difabel akan semakin nyaman dan aman, tanpa ada kesenjangan dengan masyarakat pada umumnya. Termasuk saat mereka menikmati liburan Nataru dengan berwisata yang ramah difabel.
Pariwisata Inklusif di Indonesia, Menghadapi Tantangan Menuju Destinasi Ramah Difabel
Dalam upaya merangkul inklusi, penulis mengidentifikasi kesenjangan yang signifikan antara kebutuhan pelancong difabel dan kesiapan kota-kota Indonesia dalam memenuhinya. Meskipun beberapa kota seperti Kulon Progo, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Malang telah berusaha meningkatkan aksesibilitas, tantangan besar masih terjadi dalam menciptakan destinasi wisata yang sepenuhnya ramah bagi pelancong difabel.
Masalah-madalah itu, akan meningkatnya kesadaran dari pemerintah dan industri pariwisata untuk meningkatkan aksesibilitas dan pelayanan bagi pelancong difabel. Diperlukan dorongan lebih lanjut untuk melibatkan mereka dalam proses perencanaan dan pengembangan destinasi wisata, serta memperluas standar aksesibilitas di seluruh Indonesia.
Penulis berharap akan ada pengakuan lebih lanjut dari stakeholders pariwisata akan manfaat ekonomi yang signifikan dari pariwisata inklusif, serta implementasi kebijakan dan program yang mendukung pengembangan destinasi ramah difabel di Indonesia. Adalah bahwa upaya-upaya yang dilakukan oleh kota-kota terdepan ini dapat menjadi contoh dan dorongan bagi kota-kota lainnya di seluruh dunia untuk mengadopsi praktik yang serupa. Dengan demikian, wisatawan difabel akan merasa lebih diterima dan dihargai di mana pun mereka pergi, serta dapat menikmati pengalaman wisata yang tanpa hambatan. Semoga kedepannya, aksesibilitas menjadi standar yang tidak hanya diikuti, tetapi juga dijunjung tinggi oleh semua pemangku kepentingan dalam industri pariwisata global.[]
Penulis: Hasan Basri
Editor : Ajiwan