Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol bagian kanan bawah sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Menuju Kesetaraan: Penerapan Konsep Inklusi di SMP Negeri 16 Bengkulu Utara

Views: 47

Solidernews.com – Bengkulu Utara, sebuah kabupaten yang dahulu di tahun 2019 pernah saya jelajahi dalam rangka penelitian. Dari penelitian tersebut saya berinteraksi dengan banyak pihak khususnya kepala sekolah di tingkat SMP (Sekolah Menengah Pertama) di Bengkulu Utara. Hampir 4 malam saya menginap di salah satu kepala sekolah yang saat itu sangat ramah dan memiliki pandangan visioner dalam pendidikan. Tepatnya di daerah Ketahun, salah satu kecamatan di Bengkulu Utara yang masih banyak potensi alam dan keindahan pantainya. Tentu permasalahan minimnya sarana transportasi dan lintas jalan yang ekstrim masih menjadi catatan hingga saat ini.

 

Saya bisa bertemu lagi dengan orang yang berjasa bagi saya, Natanael atau Natan, di dalam diskusi online tentang pendidikan inklusi yang dilaksanakan SIGAB beberapa saat lalu. Dari informasi yang dikirimkan melalui pesan whatsapp, kini Natan bertugas sebagai kepala sekolah di SMP 16 yang jarak sekolah sudah dekat dengan rumahnya. SMP Negeri 16 Bengkulu Utara, yang terletak di jalan poros lintas barat Sumatera masuk di dalam desa Urai kecamatan Ketahun. SMP Negeri 16 Bengkulu Utara menjadi salah satu sekolah yang menginspirasi karena upaya yang dilakukan dengan berkomitmen untuk menerima anak-anak difabel walaupun belum masuk kategori sekolah inklusi.

 

Melalui obrolan telepon yang saya lakukan dengan kepala sekolah SMP Negeri 16, Natanael Tri Prasetyo Adi Nugroho atau yang dikenal Natan, menceritakan bahwa SMP ini terletak di pinggir pantai dengan SD pendukung yakni SD 39 Bengkulu Utara, dengan mayoritas penduduk dari suku Rejang bermata pencaharian mayoritas sebagai nelayan. Jumlah tenaga pendidikan saat ini di SMP 16 ialah PNS 2 orang, guru PPPK 4 orang, guru bantu daerah 3 orang, guru honorer 2 orang, honorer Tata Usaha 2 orang dan total keseluruhan siswa ada 59 orang.

“Memang sedikit muridnya mbak dan belakang sekolah ini sudah pantai Mbak”, jelas Natan sambil tersenyum. Saya bisa bayangkan anak-anak sekolah merasakan hembusan angin pantai yang sepoi-sepoi.

 

SMP 16 bukan sekolah besar, sekolah yang baru berdiri di tahun 2009 cukup menjadi pusat perhatian karena mereka mau menerima anak-anak difabel fisik dengan tetap menciptakan lingkungan belajar yang inklusif bagi anak-anak difabel. Jumlah difabel yang yang masuk di sekolah ini baru 2 orang dengan ragam difabel fisik, 1 laki-laki di kelas 9 dan 1 perempuan yang duduk di kelas 7.

 

Dedikasi dan dukungan dari Natan, yang baru menjabat sebagai kepala sekolah di tahun 2022 (sebelumnya menjabat kepala sekolah di SMP 63 Bengkulu Utara), didukung oleh guru-guru, serta staf administrasi yang peduli, bahwa SMP ini telah mengambil langkah-langkah konkret untuk memastikan bahwa anak-anak difabel fisik merasa diterima dan didukung di lingkungan sekolah. Pihak sekolah menyadari bahwa inklusi bukan hanya tentang menerima keberadaan anak-anak difabel fisik, tetapi juga tentang menciptakan peluang bagi mereka untuk berkembang secara penuh.

 

Pembangunan jalan penghubung ini dibangun sejak masuknya anak difabel di SMP 16. Hal ini diakui Natan karena melihat minat belajar yang tinggi dari kedua siswa tersebut. Kepala sekolah dan guru memahami aturan dari Kemendikbud tentang penerimaan anak difabel di sekolah umum apapun kondisinya dan tidak dibedakan dengan yang lain. Komitmen ini yang telah dijalani SMP 16 sejak 3 tahun terakhir, memang tidak luput dari tantangan yakni kurangnya sumber daya dan fasilitas yang memadai untuk mendukung anak-anak difabel fisik. Namun, dengan kreativitas dan semangat kolaboratif, sekolah ini berhasil mengatasi hambatan walaupun secara bertahap.

“Sekarang kami hanya baru bisa menyediakan akses dari kelas 7 ke kelas 8 dan 9, ke perpustakaan dan ke laboratorium IPA. Ada semacam jalan penghubung, kami hubungkan dengan cor semen untuk jadi penghubung antar kelas. Kami terkendala pembiayaan dan kami memang belum ada akses yang layak dari jalan ke kelas, kelas ke toilet”, terang Natan.

 

Penjelasan Natan tentang belum adanya pelatihan tentang pendidikan inklusi atau isu difabel bagi guru dan tenaga pendidik di SMP 16, mau tidak mau pemahaman yang benar tentang isu difabel didapat dari seminar atau zoom online yang diikuti secara mandiri. Selanjutnya, kolaborasi antara sekolah dan orang tua dilakukan dengan pertemuan setiap bulan dengan menyampaikan kondisi bahwa SMP 16 juga menerima anak difabel. Bagi sekolah yang jauh dari pusat kota, membangun aksesibilitas hanya dapat dilakukan pelan-pelan dengan dukungan orang tua dan masyarakat setempat.

 

Sebelum beranjak ke pertanyaan lain, saya menanyakan kepada Natan, apabila anak difabel di Ketahun, apakah ada sekolah luar biasa yang terdekat yang bisa dijangkau oleh masyarakat.

 

“Paling dekat SLB ya di Arga Makmur, kurang lebih satu jam setengah jam dari Ketahun”, jawab Natan.

 

Tentu jarak yang cukup jauh dan tingginya resiko perjalanan, tidak memungkinkan apabila anak difabel harus bersekolah menempuh jarak dari Ketahun ke Arga Makmur (pusat kabupaten Bengkulu Utara). Saya masih mengingat jalanan di tengah kebun karet, kebun sawit yang berkelok-kelok, naik dan turun tentu akan sangat memberatkan bagi keluarga difabel, selain ongkos tentu kesehatan dan keamanan dari anak difabel tersebut.

 

Sementara itu, informasi yang saya peroleh dari Natan, dua anak difabel fisik yang bersekolah di SMP 16 cukup bisa mengikuti pelajaran dan senang karena memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang secara penuh. Lebih dari sekadar menyediakan akses fisik, SMP ini telah selangkah lebih maju untuk menjadi contoh bagi sekolah-sekolah lain di Bengkulu dalam penerapan inklusi.

 

“Saya melihat anak difabel ini memiliki keinginan tinggi ini, saya trenyuh, Mbak. Kami menyadari sarpras belum lengkap, tapi kami berupaya untuk benar-benar menciptakan situasi inklusi, membuka wawasan sekolah ini mau menerima anak difabel”, ungkap Natan pelan.

 

Natan yang saat ini menjabat wakil ketua MKKS (Musyawarah Kerja Kepala Sekolah) ikut menyuarakan bahwa sekolah negeri juga bisa menerima semua siswa dengan segala kondisi. Di lain kesempatan, seperti di kelompok MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran), Natan menginformasikan di dalam rapat-rapat bahwa jika menemui anak difabel yang di usia sekolah untuk didukung masuk ke sekolah-sekolah terdekat.

 

“Saya sangat senang kalau ada pelatihan pendidikan inklusi yang bisa diberikan kepada kami, namun sejauh ini belum ada”, terang Natan.

 

Di tengah obrolan kami, juga tergabung dengan Zaskia salah satu siswa difabel fisik yang kini duduk di bangku kelas 7 SMP 16 Bengkulu Utara. Sebagai siswa difabel berkursi roda, ia mantap untuk memutuskan sekolah di SMP negeri dengan pertimbangan akses jarak tempuh dari rumah ke sekolah. Semangat belajarnya tinggi dan memang secara prestasi, Zaskia mampu seperti anak-anak lainnya.

 

“Senang sekolah di sini karena guru dan teman baik, sering bantu kayak misal beliin jajan. Guru juga bantu dalam pelajaran” jelas Zaskia.

 

Sekolah belum sepenuhnya mengakomodasi kebutuhan Zaskia, namun ia belajar untuk mengatasi hambatan-hambatan fisiknya dengan ketekunan. Pihak sekolah juga mendorong Zaskia untuk menjadi peserta OSN (Olimpiade Sains Nasional) mewakili SMP 16. Zaskia senang sudah dipercaya untuk dilibatkan dalam ajang OSN, tentu dengan keterlibatan mewakili SMP 16 akan menambah kepercayaan diri Zaskia untuk dapat beradaptasi dengan dunia luar.

 

Meskipun belum menjadi sekolah inklusi, keberadaan Zaskia menjadi pembelajaran bersama seluruh anggota di sekolah bahwa pentingnya kesetaraan, inklusi, dan empati di lingkungan sekolah. Zaskia dengan suaranya yang lembut, mengaku tidak pernah mengalami perlakuan diskriminasi atau bully dari teman-temannya. Dari ceritanya pun disampaikan bahwa teman-teman di kelas mau sigap membantu ketika Zaskia membutuhkan pertolongan.

 

“Saya besok juga pingin sekolah di SMA di dekat sini”, ungkap Zaskia yang akan meneruskan sekolah di tingkat atas.

 

Di Indonesia, saya yakin masih banyak anak seperti Zaskia yang ingin meneruskan pendidikan hingga jenjang tertinggi. Sekolah-sekolah negeri dan umum yang belum berlabel sekolah inklusi seperti SMP Negeri 16 Bengkulu Utara memang masih menanti kebijakan. Setidaknya langkah nyata ditunjukkan dengan komitmen menerima siswa difabel dan memfasilitasinya sudah menjadi cerminan tentang implementasi inklusi di sekolah. Tentu kita semua sepakat, diterimanya anak difabel di sekolah negeri merupakan bentuk kesadaran bahwa setiap anak memiliki potensi untuk sukses ketika diberikan kesempatan yang setara.[]

 

Reporter: Erfina

Editor     : Ajiwan

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air