Views: 33
Solidernews.com –Kesiapsiagaan bencana adalah hal yang perlu dimiliki bagi semua orang, bahkan bagi para difabel. Pengetahuan dan persiapan yang baik dapat menjaga keselamatan dan keamanan difabel. Dengan meningkatkan kesadaran akan resiko yang tinggi. kerentanan ganda, tentu bagi difabel perlu dibekali dengan kesiapsiagaan bencana. Difabel memiliki kerentanan secara fisik, mental, atau sensorik, seringkali dihadapkan pada tantangan tambahan dalam menghadapi situasi darurat atau bencana alam. Hal yang paling krusial bagi mereka yakni untuk memiliki pemahaman yang kuat dan mampu bersikap saat menghadapi bencana.
Atas dasar kesadaran tersebut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengadakan diskusi pada bulan Februari dan Maret untuk pembahasan Peraturan Kepala (PERKA) BNPB Nomor 14 Tahun 2014 yang menjadi landasan penegakan prinsip-prinsip dasar penanganan, perlindungan dan partisipasi difabel dalam Penanggulangan Bencana. PERKA ini menyatakan penghormatan terhadap martabat atas keberagaman dan kesetaraan manusia, non diskriminasi, partisipasi aktif dan bermakna, kesamaan kesempatan dan kemudahan akses bagi setiap penyandang disabilitas, penghargaan atas kapasitas penyandang disabilitas, serta perlindungan terhadap identitas mereka dalam penanggulangan bencana.
Kesadaran Akan Resiko Tambahan
Difabel mungkin memiliki kebutuhan khusus yang harus dipertimbangkan dalam situasi darurat. Misalnya, seorang difabel dengan mobilitas terbatas mungkin kesulitan dalam evakuasi dari lokasi bencana. Oleh karena itu, memiliki pemahaman yang kuat tentang potensi risiko dan cara mengatasinya adalah penting untuk meminimalkan dampak negatif dari bencana.
Penting untuk diakui bahwa difabel merupakan bagian integral dari masyarakat yang perlu mendapatkan perhatian khusus dalam perencanaan dan respon terhadap bencana. Kesiapsiagaan bencana bagi difabel bukan hanya masalah kemanusiaan, tetapi juga merupakan kebutuhan mendesak dalam memastikan kesetaraan dan keadilan dalam situasi darurat.
Aksesibilitas Informasi dan Sumber Daya
Tanggal 6 Februari 2024, BNPB telah melaksanakan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Pertama untuk pengkajian relevansi penerapan PERKA BNPB No. 14 Tahun 2014 dalam konteks terkini dan mengidentifikasi kebutuhan lainnya guna menyempurnakan inklusi terhadap difabel. Sementara untuk FGD Kedua dilaksanakan di Jakarta pada hari Senin, 25 Maret 2024 melalui hybrid yang dihadiri dari perwakilan kedutaan besar Australia, BNPB, dan jaringan organisasi difabel di Indonesia. FGD menghadirkan narasumber yakni Dante Rigmalia (KND), Edi Supriyanto (ULD BPBD Jawa Tengah), Bahrul Fuad (Komnas Perempuan) dan Gita Yulianti selaku moderator.
Perwakilan dari kedutaan besar Australia, Catherine Meehan turut hadir dan menyampaikan dukungannya kepada Indonesia melalui program SIAP SIAGA yang telah dilakukan di beberapa wilayah program di Indonesia. Hadirnya program SIAP SIAGA diharapkan mampu memberikan dampak yang luas bagi seluruh elemen masyarakat dalam menghadapi bencana.
“Kegiatan hari ini diharapkan mengkaji peraturan yang ada secara komprehensif sehingga ke depan dapat merumuskan aksi nyata yang dilakukan di lingkup BNPB dan BPBD”, terang Catherine Meehan dalam sambutannya di Jakarta.
Dalam situasi bencana, aksesibilitas informasi dan sumber daya bisa menjadi tantangan bagi difabel. Mereka perlu mengetahui sumber daya yang tersedia untuk mereka dan memiliki rencana tindakan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Pengetahuan tentang lokasi tempat evakuasi yang dapat diakses serta fasilitas medis atau dukungan tambahan juga krusial untuk keselamatan mereka.
Peningkatan Kemandirian
Dengan pengetahuan yang baik tentang kesiapsiagaan bencana, difabel dapat meningkatkan kemandirian mereka dalam menghadapi situasi darurat. Mereka dapat mengembangkan rencana tindakan pribadi yang mempertimbangkan kebutuhan dan keterbatasan mereka. Selain itu, pengetahuan ini juga memungkinkan mereka untuk dapat membantu orang lain dalam situasi darurat, menciptakan komunitas yang lebih tangguh dan saling dukung.
Melibatkan Diri dalam Perencanaan
Difabel memiliki pengalaman dan pemahaman yang baik tentang kebutuhan mereka sendiri. Dengan terlibat dalam perencanaan kesiapsiagaan, mereka dapat memastikan bahwa perspektif mereka diakui dan kebutuhannya dapat dipertimbangkan dalam rencana darurat. Hal ini tidak hanya meningkatkan keselamatan mereka sendiri, tetapi juga memperkuat ketahanan komunitas secara keseluruhan.
Sekretaris Utama BNPB, Rustian menghimbau dengan adanya kegiatan pembahasan PERKA menjadi landasan penegakan prinsip dasar penanganan, perlindungan dan partisipasi difabel dalam penanganan bencana. Penghargaan kepada difabel dalam wujud PERKA tentu perlu adanya pembaharuan konteks penjabaran sesuai dengan pengalaman yang dihadapi saat penanganan bencana secara langsung.
“FGD ini akan menghasilkan tindak lanjut revisi dan harmonisasi terhadap PERKA dan diselaraskan dengan undang-undang”, ungkap Rustian.
Menghormati Hak Asasi Manusia
Difabel bukan hanya penerima manfaat dari upaya kesiapsiagaan bencana, tetapi juga dapat menjadi kontributor berharga dalam respons terhadap bencana. Mereka dapat memberikan wawasan yang berharga tentang kebutuhan dan tantangan yang mereka hadapi, serta membantu dalam upaya evakuasi dan pemulihan komunitas.
Perlunya kolaborasi antara pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat umum yakni mencakup penyediaan pelatihan tentang kesiapsiagaan bencana bagi difabel, pemantauan dan evaluasi. Selanjutnya, juga mempersiapkan sarana infrastruktur yang didukung melalui integrasi kebutuhan difabel setiap tahap perencanaan hingga respons darurat bencana. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa tidak ada yang tertinggal dalam upaya kita untuk melindungi dan mendukung seluruh anggota masyarakat, termasuk difabel, dalam menghadapi bencana.
Kepala Biro Perencanaan BNPB, Andi Eviana menyampaikan secara detail tentang PERKA BNPB Nomor 14 Tahun 2014 yang memiliki ruang lingkup antara lain a) peningkatan kapasitas, b) identifikasi dan data terpilah penyandang disabilitas, c) perencanaan dan pelaksanaan, d) akses informasi, e) keterlibatan masyarakat, f) aksesibilitas fisik dan komunikasi, dan g) perlindungan dan dukungan psikososial.
“Pengarusutamaan disabilitas dalam PERKA Nomor 14 Tahun 2014 bahwa setiap penyandang disabilitas berhak mendapatkan perlindungan, pemenuhan, hak dan kebutuhan penyandang disabilitas”, terang Andi Eviana.
Penjabaran dari PERKA Nomor 14 Tahun 2014 bahwa penanganan bencana dilakukan saat pra bencana, tanggap darurat dan pasca bencana. Hal yang paling penting dalam penanggulangan bencana adalah aktivitas yang tidak menimbulkan disabilitas baru. Hasil dari FGD Pertama menghasilkan beberapa kesepakatan yang perlu untuk ditindaklanjuti sebagai berikut: (1) Revisi dan harmonisasi perlu dilakukan terhadap Perka BNPB Nomor 14/2014 mengingat beberapa hal yang perlu diselaraskan dengan UU Nomor 8/2016; (2) Identitas penyandang disabilitas sangat penting dimunculkan dalam dokumen primer sehingga antisipasi dini dapat dilakukan; (3) Perlindungan dan pelibatan terhadap disabilitas ini penting untuk diintegrasikan dalam seluruh rencana pembangunan; (4) Peran dan fungsi penyandang disabilitas perlu dipilah dalam revisi Perka 14/2014 (subyek/obyek); (5) Dalam perubahan yang akan dilakukan, nomenklatur yang dituangkan dalam Perka harus sudah menyesuaikan dengan regulasi atau pedoman terbaru; (6) Pokja dan penggerak pengarusutamaan gender BNPB menjadi pertimbangan untuk dapat diberdayakan untuk mengembangkan dan memfungsikan Unit Layanan Disabilitas.
Tantangan Aksesibilitas
Infrastruktur dan fasilitas yang tidak ramah difabel dapat menjadi hambatan serius dalam situasi darurat. Rintangan seperti tangga yang curam, fasilitas toilet yang tidak ramah difabel, dan kurangnya transportasi yang dapat diakses menyulitkan difabel untuk menghindari bahaya atau mendapatkan bantuan.
Bahrul Fuad menyampaikan masukan bahwa PERKA ini belum membedakan jenis disaster/bencana bahwa pasti ada situasi yang berbeda dalam siklus penanganan bencana berdasarkan dengan jenis bencananya. Ia berbagi pengalaman terkait data pilah tentang disabilitas dari jenis kelamin, tipe disabilitas menjadi poin penting. Saat tanggap darurat akan kesulitan apabila data terpilah ini tidak disiapkan sebelumnya. Isu gender juga sangat diperlukan dalam situasi bencana, apalagi masa rekonstruksi, tanggap darurat dan rehabilitasi. Perlu lokasi aman bagi perempuan yang hamil dan yang sedang menyusui. Perempuan sebagai kelompok rentan yang harus diperhatikan keamanan dari tindakan pelecehan dan kekerasan seksual.
“Ketika fase rehabilitasi rekonstruksi perlu penanganan lebih. Secara psikis beberapa korban yang kehilangan anggota tubuhnya, disertai dengan kehilangan saudara atau sanak keluarga. Maka orang tersebut akan melakukan penyesuaian yang cukup lama, maka dalam PERKA ini perlu diatur dan diturunkan dalam SOP lebih applicable”, jelas Bahrul Fuad.
Sejalan dengan pernyataan Bahrul Fuad, Dante Ragmalia dari Komisi Nasional Disabilitas (KND), menitikberatkan tentang adanya data terpilah untuk mendukung dalam kesiapsiagaan bencana. Catatan untuk PERKA Nomor 14 Tahun 2014 diantaranya pelibatan difabel secara bermakna dalam setiap proses penanganan bencana, mengusulkan adanya terminologi dengan tepat dan benar untuk penyebutan difabel di dalam PERKA, kurikulum kebencanaan yang harus sudah diajarkan di sekolah, dan yang tidak kalah pentingnya adalah pedoman teknis dari revisi PERKA agar dapat diimplementasikan dengan baik.
Edi Supriyanto dari LIDI Jawa Tengah melihat PERKA Nomor 14 Tahun 2014 belum memasukkan aspek inklusif yang sebenarnya dapat diadopsi dari dokumen aksi kemanusiaan. Jika dibandingkan dengan PP 42 Tahun 2020, aspek inklusif sudah ada penjabarannya maka perlu harmonisasi dari kedua aturan tersebut sehingga perubahan pada aturan yang akan dilakukan nantinya sesuai dengan kondisi dan kebutuhan.
“Penanganan bencana saat ini harus didukung aksesibilitas, ada atau tidak adanya disabilitas. Akomodasi yang layak ini harus dibutuhkan saat terjadi situasi beresiko di mana kondisi ini melekat pada kondisi disabilitas dan ini diperlukan komunikasi dan koordinasi yang matang”, jelas Edi.
Dalam situasi darurat, komunikasi yang efektif sangat penting untuk memperoleh informasi terkini dan instruksi evakuasi. Namun, difabel yang bergantung pada alat bantu atau dukungan komunikasi tambahan mungkin tidak dapat mengakses informasi tersebut dengan mudah. Oleh karena itu, perlu disediakan sistem komunikasi alternatif yang mempertimbangkan kebutuhan mereka.[]
Reporter: Erfina
Editor : Ajiwan