Views: 10
Solidernews.com – Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang disahkan pada 9 Mei 2022 sudah mengatur banyak mandat yang berpihak pada korban, termasuk pada difabel yang tersangkut dalam kasus berhadapan dengan hukum.
Namun, berdasarkan pengalaman layanan Rumah Cakap Bermartabat Direktur Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) dalam pendampingan kasus kekerasan seksual terhadap masyarakat difabel, implementasi UU TPKS di lapangan masih menyimpan banyak catatan.
Menurut Nurul Saadah Andriani, Direktur SAPDA, meski undang-undang tindak pidana kekerasan seksual sudah disahkan, tetapi harus dilihat kembali sejauh mana implementasinya pada perempuan difabel.
Ia menambahkan, perempuan difabel yang mengalami tindak kekerasan seksual, harus mendapatkan penanganan yang sesuai berbasis akomodasi yang layak dan juga penghormatan terhadap perempuan difabel sebagai individu yang bermartabat.
Beberapa catatan antara realita implementasi dan mandat UU TPKS
Penambahan masa hukuman. Poin ini telah dimandatkan pada pasal 15 dalam UU TPKS yaitu: ‘Hukuman pidana bagi pelaku kekerasan seksual ditambahkan satu per tiga jika korbannya anak dan penyandang disabilitas.’
Realita temuan, belum ditemukan pelaku yang mendapatkan pemberatan. Hal ini patut disayangkan mengingat penerapan pasal tambahan masa hukuman pada dasarnya adalah pengejawantahan kerentanan ganda pada korban difabel.
Kesaksian hukum disabilitas. Pasal 25 dalam UU TPKS telah memberi mandat, ‘Kesaksian penyandang disabilitas memiliki kekuatan hukum yang sama dengan kesaksian non disabilitas.’
Pada realitanya, secara umum aparat penegak hukum mau mendengarkan keterangan dan cerita dari difabel korban kekerasan seksual. Namun, belum semua aparat penegak hukum menyesuaikan teknik pertanyaan dan model komunikasinya sesuai dengan hambatan yang dimiliki oleh korban difabel.
Penyediaan pendamping. Mandat dari pasal 27 dalam UU TPKS adalah: ‘Korban kekerasan seksual berhak didampingi oleh orang tua, wali yang telah ditetapkan pengadilan atau pendamping.’
Secara realita, penyediaan pendamping tidak begitu menjadi persoalan karena sudah otomatis masuk ke dalam penanganan kasus. Namun, masih dirasakan kekurangan pendamping yang tidak hanya memiliki perspektif korban, tetapi juga perspektif pada difabel.
Selain itu, perlu ada batasan kerja bagi pendamping karena masih ditemukan pendamping yang menggantikan difabel sebagai pengambil keputusan.
Pemenuhan restitusi. Poin ini dimandatkan pada pasal 30 dalam UU TPKS yaitu: ‘Korban kekerasan seksual berhak mendapatkan restitusi dan layanan pemulihan.’
Realitanya pemberian restitusi karena sebagian besar pelaku kekerasan seksual termasuk dalam masyarakat miskin dan tidak dapat membayar restitusi.
Peraturan Pemerintah (PP) turunan tentang dana bantuan korban perlu digodok untuk mengakomodasi restitusi terutang. Pada lembaga pendampingan pun terkadang menjadi sebuah dilema untuk menjelaskan restitusi. Satu sisi ini menjadi hak korban, tetapi sering kali mustahil dalam eksekusinya.
Akomodasi yang layak (AYL). Pasal 66 dan pasal 70 dalam UU TPKS memiliki mandat terkait AYL, ‘Korban kekerasan seksual berhak mendapat aksesibilitas dan akomodasi yang layak dalam proses peradilan.’
Temuan secara realita, belum semua sumber daya manusia (SDM) memahami dan akomodasi yang layak sebagai hak yang harus dipenuhi oleh negara, dan juga belum semua lembaga memiliki peraturan internal terkait pemenuhan akomodasi yang layak.
Jika pun ada, belum tentu tersosialisasikan hingga ke tingkat pelaksana. Perspektif terhadap difabel juga masih perlu ditingkatkan, karena akan berpengaruh pada kualitas proses pemeriksaan.
Kasus tindak pidana kekerasan seksual layaknya fenomena gunung es, bisa terjadi pada siapa pun, dimana pun dan kapan pun. Yang terjadi saat ini adalah pelaku biasanya merupakan orang yang dikeanal atau bahkan yang dekat dengan korbannya.[]
Penulis :Sri Hartanty
Editor : Ajiwan