Views: 7
Solidernews.com – Puasa ramadhan merupakan ibadah wajib untuk seorang muslim yang telah baligh dan berakal. Dalam konteks bagi difabel mental dan intelektual, persoalan puasa masih terus menjadi bahasan yang mendalam.
Dari konteks fiqih atau kecakapan/kebisaan puasa telah diatur dalam aturan agama, konteks lain juga perlu memandang mereka sebagai manusia yang setara dengan lainnya.
Syekh Wahbah az-Zuhaili, ulama fiqih kontemporer dalam karyanya Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu menyampaikan, ‘Al-Ma’tuh’ adalah orang yang kemampuan pemahamannya sedikit, proses pembicaraannya kacau, susah menilai realitas (tadbir) karena gangguan akalnya. Baik dari lahir atau karena penyakit yang datang. Jika gangguan tersebut parah, dan orang yang terganggu itu tidak tamyiz, maka ia dihukumi seperti ‘junun’ dan anak yang belum tamyiz, dan setiap perilaku ibadah maupun muamalahnya tidak sah.
Difabel intelektual ringan angka IQ-nya rentang 79–52. Semakin rendah derajat difabel tersebut semakin berat. Difabel ringan, dalam beberapa hal kadang masih dapat mengurus diri sendiri, hanya biasa memiliki keterlambatan dalam interaksi atau koordinasi bersosial. Namun untuk derajat difabel yang lebih berat, mereka memiliki keterbatasan untuk berkoordinasi dan mengurusi diri sendiri.
Orang tua atau wali dari difabel mental, intelektual yang tidak diwajibkan puasa dapat membayarkan fidyah.
Namun bagi mereka yang masih derajat kedifabelannya ringan, orang tua atau wali wajib menuntun, memberi contoh dan mendukung difabel mental, intelektual untuk puasa. Meskipun pada implementasinya mereka akan menemui kesulitan atau susah mengikuti arahan, setidaknya perlu untuk menghargai nilai kemanusiaan yang ada.
Puasa bagi difabel mental dan intelektual perlu diperhatikan dengan cermat, dan harus memahami kondisi mereka secara individu juga mempertimbangkan kesehatan serta kemampuan mereka dalam berpuasa.
Menjalankan ibadah puasa bagi difabel mental dan intelektual
Ditinjau dari segi ilmiah puasa dapat memberikan kesehatan jasmani maupun rohani. Menurut Dr. Nicolayev, seorang guru besar yang bekerja pada Lembaga Psikiatri (The Moscow Psychiatric Institute) mencoba menyembuhkan gangguan kejiwaan dengan berpuasa, dalam usahanya itu ia menterapi pasien sakit jiwa dengan menggunakan puasa selama 30 hari, persis puasa orang Islam jika dalam jumlah harinya.
Hal serupa juga dilakukan oleh Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Mental (BRSPDM) Dharma Guna Bengkulu.
Menurut Robin Hood, pembina spiritual di BRSPDM, para difabel yang ada di rehabilitasinya diwajibkan berpuasa di bulan ramadhan dan shaalat tarawih, walaupun masih ada juga yang malas untuk berpuasa.
Perlu adanya pendekatan terhadap puasa
Bagi difabel mental, intelektual, pendekatan terhadap puasa harus memperhatikan kemampuan dan kesehatan mereka. Alternatif yang dapat dipertimbangkan seperti;
(1) Konsultasi dengan ahli agama atau dokter untuk menentukan apakah puasa layak bagi mereka. (2) Keringanan. Keluarga dan komunitas dapat membantu dalam memastikan kesejahteraan dan kenyamanan selama bulan ramadhan. (3) Empati dan pengertian. Perlunya memahami bahwa setiap individu itu unik, dan pendekatan terhadap ibadah harus memperhatikan kondisi dan kemampuan secara individu masing-masing.
Praktik puasa pada difabel mental, intelektual juga bisa dilakukan dengan memodifikasi puasa demi kesejahteraan mereka. Misalnya, dengan berpuasa setengah hari atau memastikan mereka cukup tidur dan terjaga kesehatannya.
Meskipun puasa adalah kewajiban bagi sebagian besar orang, konteks individual dan kesejahteraan harus diperhatikan dalam beribadah.
Pandangan fiqih, Q.S. An- Nur, ayat 61 menyampaikan, tidak ada dosa bagi orang-orang yang memiliki uzur dan keterbatasan (termasuk difabel) untuk makan bersama nondifabel. Allah membenci kesombongan dan orang-orang sombong.[]
Reporter: Sri Hartanty
Editor : Ajiwan Arief