Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol bagian kanan bawah sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Menghadapi Risiko Bencana dengan PRB Inklusi dan Pendekatan HAM

Views: 9

Solidernews.com Mengacu kepada Undang-Undang Nonor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Menurut United Nations Office for Disaster Risk Reduction (UNDRR) yaitu badan PBB untuk Pengurangan Risiko Bencana, bencana didefinisikan sebagai suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat, sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia dari segi materi, ekonomi, atau lingkungan dan melampaui kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk mengatasi dengan menggunakan sumber daya mereka sendiri.

“Isu bencana saat ini belum menjadi isu prioritas dalam pembangunan,” demikian kendala yang diakui dirasakan Doddy Kaliri, penggiat difabel dari Difagana yang juga merupakan inovator lokal YEU.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mendefinisikan HAM sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Masyarakat difabel juga memiliki hak asasi yang sama dengan masyarakat lainnya, sehingga HAM difabel tidak dapat disangkal dan dihilangkan keberadaannya.

 

Difabel, orang lanjut usia dan inklusi

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, difabel muncul akibat hambatan individu ketika berinteraksi dengan lingkungan dalam berpartisipasi secara penuh dan aktif. Hambatan individu dan lingkungan ini dapat dihilangkan untuk meningkatkan kapasitas difabel.

Ada empat jenis hambatan, yaitu: (1) Hambatan fisik, hambatan yang terkait akses pada bangunan dan lingkungan fisik. (2) Hambatan komunikasi, hambatan yang meliputi cara serta media yang digunakannya. (3) Hambatan sosial dan budaya, hambatan yang didalamnya ada prilaku negatif seperti prasangka, rasa kasihan, overprotectif dan stigma. (4) Hambatan institusional, hambatan yang mengacu pada kebijakan, legislasi, dan faktor institusi yang tidak memberikan dukungan bagi hak semua orang di satu masyarakat.

Hal penting yang dapat diupayakan agar masyarakat difabel menikmati hak mereka, diantaranya:

(1) Lingkungan. Faktor lingkungan yang tidak aksesibel menjadikan seseorang jadi difabel karena menghambat partisipasi mereka dan menghambat inklusi. Lingkungan bisa diubah melalui proses legislasi, perubahan kebijakan, peningkatan kapasitas ataupun pengembangan teknologi. (2) Pengetahuan dan sikap. Ini berkolerasi langsung dengan penyediaan layanan dan kehidupan sosial, menjadi difabel berkaitan erat dengan pengetahuan lingkungan yang tidak memadai. (3) Stigma dan diskriminasi. Cara pandang yang negatif dari masyarakat bisa menjauhkan mereka dalam berpartisipasi dan terlibat aktif dalam kehidupan bermasyarakat.

Ragam difabel yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 meliputi: (1) Difabel fisik, yaitu terganggunya fungsi gerak. (2) Difabel intelektual, yaitu kekurangan secara intelektual dan keterbelakangan secara mental. (3) Difabel mental, yaitu terganggunya fungsi pikir, emosi dan perilaku. (4) Difabel sensoris, yaitu terganggunya salah satu fungsi pancaindra seperti pendengaran dan atau penglihatan. (5) Difabel ganda, yaitu memiliki dua atau lebih kedifabelan.

Orang lanjut usia dan difabel memiliki identitas lain, sehingga mereka memiliki dimensi keberagaman sebagai identitas manusia. Keberagaman kepribadian, internal mereka, eksternalnya, hingga keorganisasian.

Pelibatan orang dengan lanjut usia menjadi salah satu inovasi yang digagas tim inovator Ngudi Mulyo melalui inovasi irigasi kabut. Sebelumnya irigasi yang dilakukan masih manual, petani perlu membuka keran-keran air untuk mengairi sawah. Lalu dikembangkan dengan teknologi pertanian berbasis internet yang dioperasikan melalui smartphone.

“Kalau mau benar-benar inklusi harus dilihat dari karakteristiknya secara individu. Tidak bisa digeneralisasikan, karena tiap individu berbeda,” ungkap Ida Putri, Inclusion Advisor Ideaksi.

Sedangkan yang disebut inklusi bagi difabel yaitu bila memiliki delapan prinsip: (1) Penghormatan pada martabat yang melekat, otonomi individu, termasuk kebebasan menentukan pilihan, dan kemerdekaan perseorangan. (2) Non-diskriminasi. (3) Partisipasi penuh dan efektif dan keikutsertaan dalam masyarakat. (4) Penghormatan pada perbedaan dan penerimaan difabel sebagai bagian dari keragaman manusia dan kemanusiaan. (5) Kesetaraan kesempatan. (6) Aksesibilitas. (7) Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. (8) Penghormata atas kapasitas yang terus berkembang dari difabel anak dan penghormatan pada hal difabel anak untuk mempertahankan identitas mereka.

 

Washington Group Short Set of Disability Questions (WGQ)

WGQ merupakan pertanyaan singkat kelompok Washington yang dikembangkan untuk mengidentifikasi ragam difabel.

Dalam mendorong penanggulangan bencana inklusif, WDQ berguna dalam: (1) Membantu memahami kesulitan fungsi tubuh tanpa pelabelan atau kategorisasi difabel. (2) Membantu memahami kesulitan fungsional, sehingga dapat berguna dalam mengidentifikasi kerentanan di berbagai situasi, seperti melakukan evakuasi, berpartisipasi aktif, mengakses informasi keselamatan, mengakses layanan dan fasilitas, dan mengidentifikasi orang dengan keterbatasan fungsional secara spesifik. (3) Membantu identifikasi terpilah dari kebutuhan dan kapasitas masing-masing orang dengan hambatan fungsional. (4) Membantu mengidentifikasi layanan dan fasilitas yang dibutuhkan orang dengan keterbatasan fungsional. (5) Membantu mengidentifikasi kegiatan dan program yang disesuaikan dengan keterbatasan fungsional yang dimiliki.

Survei Sosial Ekonomi Nasional 2020, di Indonesia terdapat 8,26% atau 21,9 juta penduduk yang hidup dengan kedifabelan dan membutuhkan satu alat bantu seperti kursi roda, tongkat atau alat bantu dengar.

Indonesia juga merupakan negara di Asia Tenggara yang memiliki jumlah penduduk difabel paling banyak, 76% disebabkan oleh penyakit dan kecelakaan, 17% faktor bawaan lahir. Dengan tingginya kejadian bencana, lebih dari 300 kejadian dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, Indonesia termasuk negara dengan pertumbuhan masyarakat difabel tertinggi.

 

Prinsip HAM dalam mewujudkan inklusi

Setiap orang di Indonesia HAM mereka telah dijamin negara, termasuk difabel.  Tiga prinsip utama penyelenggaraan HAM yaitu: kesetaraan dan non-diskriminasi, partisipasi dan pemberdayaan, serta transparansi dan akuntabilitas.

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) mencantumkan hak dasar sebagai berikut: hak untuk hidup, memperoleh kewarganegaraan, memiliki harta milik, menikah dan berkeluarga, tidak terganggu privasinya.

Selain itu hak dalam perlindungan hukum, kesetaraan didepan hukum, bebas dari kekerasan/penganiayaan. Bebas dalam berpikir, berkesadaran dan beragama. bebas berpendapat dan berekspresi, berkumpul dan berserikat secara damai.

Hak untuk memperoleh proses peradilan oleh pengadilan yang independen dan tidak memihak. Hak ambil bagian dalam pemerintahan di negaranya. Hak mendapat jaminan sosial, bekerja, memperoleh hari libur, mendapat pengan-sandang-papan dan kesehatan yang layak, memperoleh pendidikan, berpartisipasi dalam kehidupan budaya di dalam masyarakat, hak memperoleh pemulihan efektif apabila haknya dilanggar.

Isu difabel adalah isu HAM. Difabel masih alami ketidaksetaraan dalam jangka waktu lama. Mereka juga menjadi sasaran kekerasan yang menjatuhjan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Masih ada difabel yang tidak diberi kesempatan untuk menentukan keerdekaan dirinya.

Ketimpangan dapat dikurangi dengan cara menghargai difabel dan orang lanjut usia sebagai elemen dari keberagaman manusia, mengakui mereka sebagai pemegang hak setara dengan orang lain, memandang jajaran pemerintah sebagai pemangku kebijakan yang bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan yang mendukung inklusi penuh, mempromosikan dialog antara mereka dengan pemangku kepentingan yang relevan.

Akomodasi dan adaptasi yang dibutuhkan dalam PRB yang inklusi

Kerangka Sendai untuk PRB (2015-2030) yang diluncurkan PBB untuk PRB dan disahkan negara di dunia menggarisbawahi pergeseran mindset dari berfokus pada tanggap darurat, saat ini berfokus pada pengelolaan risiko bencana.

Dalam kaitannya dengan sudut pandang HAM ketimpangan kuasa yang dialami difabel dan kelompok marginal lainnya menempatkannya sebagai kelompok dengan kerentanan tinggi dalam konsep bencana.

Ada empat prinsip inklusi yaitu: kesadaran, pelibatan, aksesibilitas, dan dukungan.

Kesadaran menjadi penting untuk memastikan para pihak terlibat dalam program PRB memiliki pengetahuan memadai untuk mengakui hambatan difabel, orang lanjut usia untuk bisa berpartisipasi aktif. Pelibatan mereka dalam program PRB secara bersama-sama belajar untuk memastikan inklusivitas, dimana semua orang tanpa terkecuali dapat terakomodir di dalamnya.

PB Palma salah satu inovator yang mengembangkan early warning system (EWS) yang bersifat efektif dan inklusif. EWS mampu memprediksi potensi banjir yang dapat terjadi setiap saat dan berguna terutama di malam hari. Inklusif karena menggunakan pendekatan sensitivitas terhadap warga difabel dan kelompok rentan.

Aksesibilitas atau penyediaan sarana prasarana memungkinkan difabel dan orang lanjut usia dapat berpartisipasi. Seperti desain universal dalam PRB, semua orang yang terlibat di dalamnya bisa menggunakan dan mendapatkan manfaatnya. Juga akomodasi yang layak dapat memberikan kesempatan yang seyara pada difabel dan orang lanjut usia terlibat aktif dalam program PRB, dengan tidak mengubah fungsi esensial dari tempat, program maupun produk.

“Akses sarana prasarana yang direncanakan dan dibuat dari awal hanya memakan biaya tambahan sekitar 7% saja dibandingkan merenopasi untuk menjadi akses yang dapat mengeluarkan tambahan biaya hingga 20%,” terang Ida Putri.

Dukungan khusus tidak sama dengan perlakuan khusus. Dukungan melekat pada aspek pemenuhan hak sedangkan saat berada di masyarakat, difabel dan orang lanjut usia tetap mendapat perlakukan yang setara dengan masyaraat lain.

“Banyak gedung bertingkat yang pengelolanya masih minim terhadap aspek respon darurat. Seperti pintu darurat gedung belum terinformasikan dengan baik. Padahal saat ada gempa atau kebakaran akan berdampak sekali, terlebih bagi difabel,” ungkap Misbahul Arifin, Ketua ULD Bencana kota Surakarta.

 

Program yang inklusi

Mendorong program yang inklusi diawali dengan mengidentifikasi dan mendata para difabel serta orang dengan lanjut usia. Langkah selanjutnta yaitu meningkatkan kapasitas mereka agar mampu bersuara dan menyampaikan pendapatnya. Meningkatkan partisipasi mereka tanpa batasan standarisasi. Membangun rasa kepemilikan terhadap program, karena akhirnya masyarakat lokal dan pemerintahan setempat yang akan banyak berperan aktif dalam PRB, mereka menjadi bagian dari aktor lokal. Mengoptimalkan peran kader perempuan dalam pendataan difabel di desa.

“Dalam proses pendataan yang banyak berperan adalah kader PKK desa dengan arahan pemerintah desa. Dengan adanya data difabel, kinerja pemerintah desa menjadi lebih baik, perhatian bagi difabel pun meningkat,” kata Arni Suwarni, Staff program Ciqal, inovator YEU. []

 

Reporter: Srikandi Syamsi

Editor    : Ajiwan Arief

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content